Minggu, 30 Januari 2011

AFIKS BAHASA TIDUNG

AFIKS BAHASA TIDUNG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester
LINGUISTIK



Oleh :
Tri Endang Kustianingsih
NIM 10745012


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
2011




ABSTRAK
Kata kunci : Afiks

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan afiks bahasa Tidung. Dalam hal ini adalah mengenai bentuk afiks bahasa Tidung dan fungsinya khususnya di Kota Tarakan. Afiks dalam bahasa Tidung hanya ditemukan bentuk prefiks, sufiks, dan infiks. Sedangkan simulfiks sementara ini belum ditemukan. Untuk itu perlu penelitian lanjutan yang lebih mendalam. Bentuk afiks bahasa Tidung mempunyai beragam alomorf, fungsi, dan arti. Keragaman alomorf tersebut disebabkan adanya proses peluluhan dan tidaknya fonem yang diikuti kata dasar atau morfem bebas.
Afiks dalam bahasa Tidung terdiri dari 22 prefiks yaitu prefiks /n/, /ŋ/, /ŋə/, /ŋən/, /ή/, /be/, /beg/, /pe/, /k/, /ke/, /kek/, /kel/, /m/, /men/, /ge/, /gen/, /i/, /in/, /im/, /se/, /sen/. Prefiks /n/ menjadi /ŋ/ bila bertemu dengan vokal /a, i, u/. Prefiks /n/ berubah menjadi /ŋə/ bila bertemu dengan konsonam /d, j, l/. Prefiks /n/ berubah menjadi /ŋən/ bila bertemu dengan konsonan /t, d/. Prefiks /n/ menjadi /ny – ή/ bila bertemu dengan konsonan /s/. Prefiks /be/ bila bertemu dengan konsonan /t, d, j, b, s/. Prefiks /be/ berubah menjadi /beg/, bila bertemu dengan vokal /a, i, u/. Prefiks /pe/ bila bertemu dengan konsonan /r, t/. Prefiks /k/ bila bertemu dengan vokal /a/. Prefiks /k/ akan berubah menjadi /ke/ bila bertemu dengan /i/ dan /t/. Prefiks /k/ menjadi /kek/ dan /kel/, bila bertemu fonem /m/. Prefiks /m/ berubah menjadi /men/, bila bertemu fonem /d/. Prefiks /ge/ bila bertemu dengan fonem /b/. Prefiks /ge/ menjadi /gen/ bila bertemu fonem /t, s/. Prefiks /i/ menjadi /in/, bila bertemu konsonan /s, t/. Prefiks /i/ menjadi /im/, bila bertemu fonem /b/. Prefiks /se/ menjadi /sen/, bila bertemu fonem /u/. Sufiks hanya ada satu yaitu /-an/. Selanjutnya infiks juga hanya ada satu yaitu /-em-/.
 











BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai alat komunikasi. Hal ini nampak dari berbagai aktivitas yang dilakukan manusia, bahasa senantiasa dijadikan kerangka untuk mencapai tujuan. Dengan bahasa kita dapat mengkomunikasikan berbagai aspek kehidupan dalam arti yang luas.
Bahasa, selain sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial, juga mempunyai peranan sebagai alat untuk melakukan kegiatan- kegiatan kebudyaan yang sekaligus juga merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Bahasa di samping dapat menentukan jalan pikiran pemakainya, masyarakatnya, dan kebudayaannya, pada waktu yang sama ditentukan pula oleh para pemakainya, masyarakatnya, dan kebudayaanya.
Salah satu wujud kebudayaan daerah adalah bahasa daerah. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di Sekolah Dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar mata pelajaran bahasa Indonesia , (3) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah (Halim dalam Soegianto, 1986;2).
Mengingat pentingnya fungsi dan kedudukan bahasa daerah dalam kaitannya dengan pertumbuhan, perkembangan dan pembakuan bahasa nasional serta kepentingan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai salah satu unsur kebudayaan, maka bahasa-bahasa daerah di Indonesia perlu pendokumentasian agar dapat diselamatkan, dipelihara dibina dan dikembangkan sebagai salah satu upaya untuk memperkaya perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia dan khasanah kebudayaan nasioanal.
Pengenalan bahasa-bahasa daerah melalui berbagai upaya penelitian sangat penting artinya dalam masa pembangunan dewasa ini, karena selain untuk memperkaya perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia juga merupakan salah satu peletak dasar bagi persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat menanamkan rasa saling menghargai di antara sesama warga negara. Hal ini senada dengan pernyataan Keraf (1987:20) bahwa “faktor pengenalan daerah-daerah melalui bahasa-bahasa daerah, turut pula meletakan dasar kesatuan dan persatuan bangsa, serta dapat menanamkan rasa saling menghargai yang sedalam-dalamnya.”.
Bahasa daerah merupakan salah satu warisan budaya nasional maka jelas negara berkewajiban untuk ikut serta mengembangkan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sejalan dengan paparan ini maka diperlukan penelitian–penelitian yang berupa pendokumentasian hasil garapan terhadap bahasa daerah dengan maksud agar nilai–nilai luhur budaya bangsa ini lestari dan tidak mengalami kepunahan, karena punahnya salah satu bahasa daerah sama halnya dengan hilangnya salah satu unsur budaya.
Perkembangan linguistik di Indonesia sampai saat ini relatif masih sedikit terutama yang didasarkan penelitian lapangan bahasa-bahasa Nusantara (Samsuri, 1988:5). Sehubungan dengan hal itu maka penelitian-penelitian lapangan yang bertujuan memperoleh data objektif sebagai sumber informasi segala aspek kebahasaan sangat diperlukan. Sehubungan dengan pernyataan-pernyataan di atas, maka upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini oleh berbagai kalangan untuk mengadakan penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia sangat besar manfaatnya termasuk di dalamnya bahasa Tidung.
Bahasa Tidung merupakan lingua franca bagi masyarakat Dayak Pesisir yang menghubungkannya dengan dunia luar di sekitarnya seperti Sabah, kepulauan Filipina, Sulawesi, Maluku dan Timor (Okushima, 2003). Wilayah penggunaan bahasa Tidung yang luas dan akulturasi dengan bahasa daerah lain seperti bahasa Banjar, Bulungan, Putuk mengakibatkan banyaknya dialek dalam bahasa Tidung.
Penggunaan bahasa Tidung hanya dikuasai oleh sebagian masyarakat suku Tidung yang berusia lanjut. Generasi muda sudah jarang menggunakan bahasa Tidung dalam percakapan sehari-hari. Kondisi ini dapat dikatakan Bahasa Tidung dalam titik kritis (endangered language), Kalau tidak segera ditangani, Bahasa Tidung sudah tidak dipakai lagi oleh masyarakat Tidung pada generasi berikutnya.
Rahardjo (2004:159) mengatakan bahwa waktu dan usaha manusialah yang menentukan kelestarian sebuah bahasa daerah. Apapun yang digunakan oleh generasi tua hanya semata-semata untuk mempertahankan bahasa daerahnya agar tetap lestari dari ancaman kepunahan. Telah disinggung di atas bahwa Bahasa Tidung adalah salah satu bahasa daerah yang masih hidup, dan masih dipertahankan oleh penuturnya. Akan tetapi, kenyataan di banyak daerah bahwa kalangan anak muda sudah enggan bahkan merasa malu berkomunikasi sehari-hari dengan bahasa daerahnya. Seorang penutur berkewajiban mempertahankan bahasanya dari ancaman kepunahan.
Sementara di sisi lain, bahasa itu terus-menerus berubah. Perubahan suatu bahasa dalam masyarakat kemungkinan besar berpengaruh pada perkembangan budaya, karena budaya yang disampaikan oleh masyarakat daerah pada umumnya dalam bentuk lisan. Berkurangnya minat suatu bahasa oleh penuturnya mungkin karena pengaruh bahasa yang sudah mengglobal dengan dalih demi gengsi, demi masa depan atau mungkin juga karena pengaruh bahasa daerah lain yang dibawa oleh penuturnya. Kedatangan kelompok bahasa lain ke dalam wilayah kediaman suku tertentu juga menyebabkan hilangnya atau pergeseran bahasa.
Bahasa daerah yang dipakai secara lisan suatu ketika akan ditinggalkan oleh penuturnya. Kepunahan suatu bahasa tidak selalu berarti semua penuturnya telah meninggal, mungkin penuturnya telah bergeser menggunakan bahasa lain selama satu generasi atau lebih, (Grimes, 2000:3). Oleh karena itu, penulis merasa terpanggil untuk meneliti bahasa Tidung dengan asumsi bahwa cepat atau lambat bahasa Tidung akan mengalami perubahan seiring perjalanan waktu.
Fenomena bahasa daerah yang mengalami dilematis inilah yang mendorong penulis untuk meneliti bahasa Tidung dari tinjauan morfologi. Sebagaimana bahasa-bahasa lain di nusantara, bahasa Tidung juga tentu memiliki sistem morfologi yang khas yaitu yang menjadi ciri khusus dalam bahasa ini. Sepanjang kepustakaan yang dapat dijangkau oleh penulis, hanya ada beberapa penelitian yang membicarakan tentang bahasa Tidung. Penelitian-penelitian tersebut tetap dijadikan bahan rujukan dan pertimbangan dalam penelitian ini. Penelian-penelitian tersebut adalah: Darmansyah (1981) dalam penelitiannya membicarakan struktur bahasa Tidung. Jubair (1988) dalam penelitiannya membicarakan tentang fonologi bahasa Tidung Tarakan, Malik (1995) membicarakan tentang reduplikasi bahasa Tidung, Kajian morfologi ini cukup luas, maka bagian yang dipilih adalah Afiksasi bahasa Tidung.



B. Rumusan Masalah
Pembahasan masalah afiksaasi pada dasarnya mempersoalkan perubahan yang disebabkan oleh proses morfemis. Berdasarkan hal ini maka dapatlah dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk afiks bahasa Tidung?
2. Apa fungsi-fungsu afiks bahasa Tidung?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang
1) Bagaimana bentuk-bentuk afiks bahasa Tidung?
2) Apa fungsi-fungsi afiks bahasa Tidung?

2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Sebagai sumbangan pikiran dalam upaya pembinaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa pada umumnya dan bahasa Tidung pada khususnya.
2) Sebagai sumber informasi tentang bentuk, fungsi, makna afiks derivasi bahasa Tidung
3) Sebagai pelengkap kajian linguistik di Indonesia.











BAB II
KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori
Pada dasarnya teori yang dijadikan acuan analisis dalam penelitian ini adalah teori linguistik struktural. Penelitian ini mengacu pada seperangkat teori dan pendapat para ahli yang relevan yang akan mendukung penelitian ini dan sekaligus merupakan kerangka acuan dalam mengadakan penelitian.
1. Morfologi
Pengertian tentang morfologi yang dijadikan acuan dalam penelitian adalah pendapat para ahli bahasa sebagai berikut :

1) Ramlan (1997:21) mengatakan bahwa morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.

2) Kridalaksana (1984:129) membatasi pengertian morfologi sebagai “Bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya. atau bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem”.

3) Yasin (1987:20) mengatakan bahwa morfologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan bentuk kata atau struktur kata dan pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap jenis kata dan makna kata.

Berdasar pada pendapat-pendapat di atas dapat diketahui bahwa Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari hal-hal tentang bentuk, fungsi dan arti kata. Jadi bidang morfologi dalam suatu bahasa menguraikan tentang struktur kata dan bagian-bagiannya. Dalam hal ini morfologi menyelidiki bentuk dan arti gramatikal suatu kata, yakni arti yang timbul sebagai akibat adanya suatu bentuk yang melekat pada bentuk yang lain. Pengertian bentuk disini adalah satuan yang paling kecil dalam hal ini morfem, sedangkan satuan yang paling besar adalah kata. Berdasarkan distribusi morfem bahasa Tidung dibedakan atas morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas dalam hal ini sama dengan kata dasar.
2. Afiksasi
Afiks ialah suatu saatuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru (Ramlan, 1987:50). Misalnya kata minuman. Kata ini terdiri dari dua unsur, ialah minum yang merupakan kata dan –an yang merupakan satuan terikat. Maka morfem –an diduga merupakan afiks.
Sedangkan afiksasi menurut Samsuri (1982:190) adalah proses morfologis, yaitu penggabungan akar atau pokok dengan afiks. Afiks ada tiga macam, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran. Awalan dibubuhkan di depan dasar, umpamanya awalan-awalan dalam bahasa Indonesia /pər/, /tər/, /məN/, dan lain sebagainya yang dilekatkan pada bentuk /panjaη/, masing-masing menjadi /pərpanjaη/, /tərpanjaη/ dan /məmanjaη/. Sisipan terselit di dalam sebuah bentuk, dan mempunyai pula penyisipan tertentu, seperti bentuk /gəmbuη/ menjadi /gələmbuη/, gigi menjadi /gərigi/ dan lain sebagainya. Akhiran dibubuhkan pada akhir suatu dasar. Di dalam bahasa Indonesia tercatat akhira-akhiran /kan/, /an/, /i/, /wan/, /wati/ dan akhiran-akhiran asing yang telah diserap.
Selain tiga macam afiks di atas menurut Ramlan (1987:53) masih ada lagi satu macam afiks yang disebut afiks terpisah atau simulfiks. Afiks ini sebagiannya terletak di muka bentuk dasar, dan sebagiannya terletak dibelakangnya. Yang terdapat dalam bahasa Indonesia ialah peN-an, pe-an, per-an, ber-an, ke-an, dan se-nya.
Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah berstatus kata berganti kategori), (3) sedikit banyak berubah maknanya. (Kridalaksana, 2007:28). Selanjutnya beliau mengatakan jenis-jenis afiks secara tradisional dikalasifikasikan atas:

a. Prefiks, yaitu afiks yang diletakan dimuka dasar.

b. Infiks, yaitu afiks yang diletakan di dalam dasar.

c. Sufiks, yaitu afiks yang diletakan dibelakang dasar.

d. Simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar, dan fungsinya ialah membentuk verba atau memverbalkan nomina, adjektiva atau kelas kata lain. Contoh terdapat dalam bahasa Indonesia non –standar : kopi → ngopi, soto → nyoto. Sate → nyate, kebut → ngebut.

e. Konfiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu dimuka bentuk dasar, dan satu dibelakang bentuk dasar. Dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi.
Secara gramatikal suatu kata dapat diuraikan menjadi bagian yang lebih kecil yang disebut morfem. Morfem dibedakan sebagai morfem bebas (free morpheme) dan morfem terikat (bound morpheme). Morfem bebas dapat berdiri sendiri sebagai suatu kata, sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri hanya dapat dirangkaikan dengan satu atau lebih morfem yang lain menjadi kata. (Verhaar, 2006:97–98) Selanjutnya beliau mengatakan afiks merupakan morfem terikat karena untuk menjadi suatu kata harus bergabung dengan morfem yang lain.
Kridalaksana (1998:1-2) dalam kamus linguistik menjelaskan bahwa afiks adalah bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk yang lain akan mengubah makna gramatikalnya. Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini terlihat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks, dan (3) makna yang dihasilkan bersifat gramatikal.






BAB III
METODE PENELITIAN


Penelitian afiks bahasa Tidung bertujuan mendeskripsikan sistem bentuk afiks yang terdapat dalam bahasa Tidung. Untuk mencapai tujuan itu, penelitian ini mempergunakan metode deskriptif-struktural. Dengan metode ini, peneliti mencoba memberikan sebagaimana adanya afiks bahasa Tidung.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode distribusional. Metode distribusional atau metode agih, yaitu metode analisis data kebahasaan yang dilakukan dengan cara menghubungkan fenomena kebahasaan yang ada. Dengan kata lain analisis distribusional yaitu suatu teknik analisi di mana bahasa sebagai penentu unsur bahasa itu sendiri (Subroto, 1992:64)
Teknik yang dimaksud adalah menguraikan suatu satuan lingual tertentu atas unsur-unsur terkecilnya. Unsur-unsur itu merupakan unsur terkecil dari suatu satuan karena tidak dapat diperkecil lagi.


















BAB IV
HASIL ANALISIS DATA

A. Bentuk Afiks Bahasa Tidung
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari cerita rakyat suku Tidung dan melalui wawancara telepon dari informan penutur asli bahasa Tidung Bapak Masranyah, S.Pd. Adapun data-data tersebut dikelompokan ke dalam tabel sebagai berikut:
Tabel I
Bentuk Prefiks Bahasa Tidung
Prefiks Fonem awal/suku kata Kata dasar dan artinya Kata jadian dan artinya Fungsi
/n/ menjadi /ŋ/ Vokal /a, i, u/
 Amel ‘peluk’
Ibit ‘bawa’
Umbak ‘main’
 ŋamel ‘memeluk’
ŋibit ‘membawa’
ŋumbak ‘bermain’ Membentuk kata kerja
n menjadi ŋə Konsonam /d, j, l/ Datu ‘jatuh’
Jiu ‘mandi’
Lugaw ‘cukur’ ŋədatu ‘menjatuhkan
ŋəjiu ‘memandikan’
ŋəlugaw ‘mencukur’ Membentuk kata kerja
n menjadi ŋən Konsonan /t,d/ Takew ‘curi’
Dagu ‘bicara” ŋəntakew ‘mencuri’
ŋəndagu ‘berbicara’ Membentuk kata kerja
n menjadi ny - ή konsonan /s/ samput ‘ lompat’
sapul ‘tolong’ ήamput ‘melompat’
ήapul’menolong’ Membentuk kata kerja
be konsonan /t, d, j, b, s/ Tapap ‘tepuk’
Dindaŋ ‘nyanyi’
Baju ‘baju’
Janji ’janji’ Betapap ‘bertepuk’
Beindaŋ ‘bernyanyi’
Bebaju ‘berbaju’
Bejanji ‘berjanji’ Membentuk kata kerja
be menjadi beg Vokal /a, i, u/ Amel ‘peluk’
Isin ‘uang’
Uwet ‘obat’ Begamel ‘berpeluk’
Begisin ‘beruang’
Beguwet ‘berobat’ Membentuk kata kerja
pe konsonan /r, t/ Risi ‘bersih’
Tuduŋ ‘duduk’
 Perisi ‘membersihkan’
Petuduŋ ‘mendudukan’ Membentuk kata kerja
k vokal /a/ Akan ‘makan’ Kakan ‘termakan’ Membentuk kata kerja intransitif
k menjadi ke vokal /i/ konsonan /t/ Tuduŋ ‘duduk’
Inum ‘minum’ Ketuduŋ ‘terduduki’
Keinum ‘terminum’ Membentuk kata kerja intransitif
k menjadi kek dan kel konsonan /m/ Maleŋ ‘tidur’
Makew ‘jalan’ Kekaleŋ ‘tertidur’
Kelakew ‘terjalani’ Membentuk kata kerja intransitif
m menjadi men Konsonan /d/ Deniŋeg ‘dengar’ Mendeniŋeg ‘terdengar’ Menyatakan sesuatu yang tidak disengaja
ge vokal /i/
konsonan /b/ Bantor ‘melotot’
Ium ‘cari’ Gebantor ‘saling melotot’
Geium ‘saling mencari’ Membentuk kata kerja
ge menjadi gen konsonan /t, s/ Tapap ‘tepuk’
Sapul ‘tolong’ Gentapap ‘saling bertepuk’
Gensapul ‘saling menolong’ Membentuk kata kerja
i menjadi in konsonan /s, t/ Suay ‘cerai’
Tamu ‘temu’ Insuay ‘bercerai’
Intamu ‘bertemu’ Membentuk kata kerja
i menjadi im konsonan /b/ Busay ‘dayung’ Imbusay ‘berdayung’ Membentuk kata kerja aktif
se menjadi sen konsonan /u/ Ulud ‘sisir’ Senulud ‘disisir’ Membentuk kata kerja pasif

Prefiks bahasa Tidung dari tabel di atas yaitu prefiks /n/ beralomorf /ŋ/, /ŋə/, /ŋən/, /ή/. Prefiks /be/ beralomorf /beg/. Prefiks /pe/, kemudian prefiks /k/ beralomorf /ke/, /kek/, /kel/. Prefiks /m/ beralomorf /men/. Prefiks /ge/ beralomorf /gen/. Prefiks /i/ beralomorf /in/, /im/, dan prefiks /se/.

Tabel II
Bentuk Sufiks Bahasa Tidung
Sufiks Fonem awal suku kata Kata dasar dan artinya Kata jadian dan artinya Fungsi
-an konsonan /t, d/ duwel ‘sakit’
tuges ‘kerja’ duwelan ‘kesakitan’
tugesan ‘kerjaan’ Membentuk kata benda

Sufiks bahasa Tidung berdasarkan tabel di atas hanya satu yaitu –an.

Tabel III
Bentuk Infiks Bahasa Tidung
Infiks Fonem awal suku kata Kata dasar dan artinya Kata jadian dan artinya Fungsi
-em- konsonan /t/ taŋi ‘tangis’
tuduŋ ‘duduk’ temaŋi ‘menangis’
temuduŋ ‘mendudukan’ Membentuk kata kerja

Infiks bahasa Tidung berdasarkan tabel di atas hanya satu yaitu -em-.






BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil dan analisis data yang telah diuraikan di muka, maka dalam pembahasan ini dapat dijelaskan bahwa afiks dalam bahasa Tidung hanya ditemukan bentuk prefiks, sufiks, dan infiks. Sedangkan simulfiks sementara ini belum ditemukan. Untuk itu perlu penelitian lanjutan yang lebih mendalam.
Bentuk afiks bahasa Tidung ternyata mempunyai beragam alomorf, fungsi, dan arti. Keragaman alomorf tersebut disebabkan adanya proses peluluhan dan tidaknya fonem yang diikuti kata dasar atau morfem bebas.
Adapun afiks bahasa Tidung dalam analisis ini adalah sebagai berikut :
1. Prefiks /n/ menjadi /ŋ/ bila bertemu dengan vokal /a, i, u/ pada kata /amel/ ‘peluk’,
/ibit/ ‘bawa’, /umbak/ ‘main’, berubah menjadi /ŋamel/ ‘memeluk’, /ŋibit/ ‘membawa’, /ŋumbak/ ‘bermain’. Berfungsi membentuk kata kerja.
2. Prefiks /n/ menjadi /ŋə/ bila bertemu dengan konsonam /d, j, l/ pada kata /datu/ ‘jatuh’,
/jiu/ ‘mandi’, / lugaw/ ‘cukur’, berubah menjadi /ŋədatu/ ‘menjatuhkan, /ŋəjiu/ ‘memandikan’
/ŋəlugaw/ ‘mencukur’. Berfungsi membentuk kata kerja.
3. Prefiks /n/ menjadi /ŋən/ bila bertemu dengan konsonan /t,d/ pada kata /takew/ ‘curi’, /dagu/ ‘bicara’, berubah menjadi /ŋəntakew/ ‘mencuri’, /ŋəndagu/ ‘berbicara’. Berfungsi membentuk kata kerja.
4. Prefiks /n/ menjadi /ny – ή/ bila bertemu dengan konsonan /s/, pada kata /samput/ ‘ lompat’, /sapul/ ‘tolong’ berubah menjadi /ήamput/ ‘melompat’, /ήapul/ ’menolong’. Berfungsi membentuk kata kerja.
5. Prefiks /be/ bila bertemu dengan konsonan /t, d, j, b, s/ pada kata /tapap/ ‘tepuk’, /dindaŋ/ ‘nyanyi’, /baju/ ‘baju’, /janji/ ’janji’, berubah menjadi /betapap/ ‘bertepuk’, /bedindaŋ/ ‘bernyanyi’, /bebaju/ ‘berbaju’, /bejanji/ ‘berjanji’. Berfungsi membentuk kata kerja.
6. Prefiks /be/ menjadi /beg/, bila bertemu dengan vokal /a, i, u/, pada kata /amel/ ‘peluk’ /isin/ ‘uang’, /uwet/ ‘obat’, berubah menjadi /begamel/ ‘berpeluk’, /begisin/ ‘beruang’, /beguwet/ ‘berobat’. Berfungsi membentuk kata kerja.
7. Prefiks /pe/ bila bertemu dengan konsonan /r, t/, pada kata /risi/ ‘bersih’, /tuduŋ/ ‘duduk’, berubah menjadi /perisi/ ‘membersihkan’, /petuduŋ/ ‘mendudukan’. Berfungsi membentuk kata kerja.
8. Prefiks /k/ bila bertemu dengan vokal /a/, pada kata /akan/ ‘makan’, menjadi /kakan/ ‘termakan, berfungsi membentuk kata kerja transitif.
9. Prefiks /k/ akan menjadi /ke/ bila bertemu dengan /i/ dan /t/, pada kata /tuduŋ/ ‘duduk’,/inum/ ‘minum’, berubah menjadi /ketuduŋ/ ‘terduduki’, /keinum/ ‘terminum’. Berfungsi membentuk kata kerja intransitif.
10. Prefiks /k/ menjadi /kek/ dan /kel/, bila bertemu fonem /m/ pada kata /maleŋ/ ‘tidur’, /makew/ ‘jalan’, berubah menjadi /kekaleŋ/ ‘tertidur’, /kelakew/ ‘terjalani’. Berfungsi membentuk kata kerja intransitif.
11. Prefiks /m/ menjadi /men/, bila bertemu fonem /d/ pada kata /deniŋeg/ ‘dengar’, menjadi /mendeniŋeg/ ‘mendengar’. Berfungsi membentuk kata kerja.
12. Prefiks /ge/ bila bertemu dengan fonem /b/ pada kata /bantor/ ‘melotot’, /ium/ ‘cari’, berubah menjadi /gebantor/ ‘saling melotot’, /geium/ ‘saling mencari’. Berfungsi membentuk kata kerja.
13. Prefiks /ge/ menjadi /gen/ bila bertemu fonem /t,s/ pada kata /tapap/ ‘tepuk’, /sapul/ ‘tolong’, berubah menjadi /gentapap/ ‘saling bertepuk’, /gensapul/ ‘saling menolong’. Berfungsi membentuk kata kerja.
14. Prefiks /i/ menjadi /in/, bila bertemu konsonan /s,t/ pada kata /suay/ ‘cerai’, /tamu/ ‘temu’, berubah menjadi /insuay/ ‘bercerai’, /intamu/ ‘bertemu’. Berfungsi membentuk kata kerja.
15. Prefiks /i/ menjadi /im/, bila bertemu fonem /b/, pada kata /busay/ ‘dayung’, menjadi /imbusay/ ‘berdayung’. Berfungsi membentuk kata kerja aktif.
16. Prefiks /se/ menjadi /sen/, bila bertemu fonem /u/ pada kata /ulud/ ‘sisir’ berubah menjadi /senulud/ ‘disisir’. Berfungsi membentuk kata kerja pasif.

Untuk sufiks bahasa Tidung hanya ada satu yaitu /-an/ bila bertemu fonem /t,d/ pada kata /duwel/ ‘sakit’, /tuges/ ‘kerja’, menjadi /duwelan/ ‘kesakitan’, /tugesan/ ‘kerjaan’. Berfungsi membentuk kata benda.
Sedangkan infiks bahasa Tidung juga hanya satu yaitu /-em-/ bila bertemu fonem /t/, pada kata /taŋi/ ‘tangis’, /tuduŋ/ ‘duduk’, menjadi /temaŋi/ ‘menangis’, /temuduŋ/ ‘mendudukan’. Berfungsi membentuk kata kerja.


















BAB VI
S I M P U L A N

Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang telah dirumuskan pada bab di muka. Pada analisis afiks bahasa Tidung sementara ini baru ditemukan prefiks, sufiks, dan infiks. Adapun bentuk afiks itu dapat dilihat sebagai berikut.
1. Prefiks bahasa Tidung /n/ mempunyai alomorf /ŋ/, /ŋə/, /ŋən/, /ή/.
2. Prefiks /be/ mempunyai alomorf /beg/.
3. Prefiks /pe/
4. Prefiks /k/ mempunyai alomorf /ke/, /kek/, /kel/.
5. Prefiks /m/ mempunyai alomorf /men/.
6. Prefiks /ge/ mempunyai alomorf /gen/.
7. Prefiks /i/ mempunyai alomorf /in/, /im/
8. Prefiks /se/ mempunyai alomor /sen/

Sufiks bahasa Tidung hanya satu yaitu /–an/ demikian juga dengan infiks hanya satu yaitu /-em-/. Untuk mendapatkan hasil analisis yang maksimal dan untuk mendapatkan data yang tepat diperlukan penelitian lebih lanjut. Dimungkinkan masih banyak kosa kata bahasa Tidung yang belum dianalisis oleh karena keterbatasan waktu, biaya, dan tempat yang sulit dijangkau. Sehingga diharapkan ada penelitian lanjutan mengenai bahasa Tidung ini.








DAFTAR PUSTAKA

Grimes Barbara F. 2000. Kecenderungan Bahasa Untuk Hidup Atau Mati Secara Global (Global Language Viability): Sebab, Gejala, dan Pemulihan Untuk Bahasa-Bahasa Yang Terancam Punah.
Keraf, Gorys. 1987. Tata Bahasa Indonesia SMA. Ende Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 1998. Kamus Linguitik. Jakarta : PT Gramadia.
...................... 2005. Kelas Kata Dalam Bahasa Indonsia. (edisi kedua) Jakarta.: PT Gramedia Pustaka Utama.
....................... 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Okhusima, Mika.2003. Ethnic Background of the Tidung: Investigation of the Extinct Rulers of the Coastal Northeast Borneo. Japan: Anthropology
Rahardjo, Mudjia. 2004. Relung-Relung Bahasa. Bahasa dalam Wacana Politik
  Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Aditya Media.
Ramlan, M. 1997. Morfologi :Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.
Samsuri. 1988. Morfologi dan Pembentukan Kata. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
...................1991. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Soegianto. 1986. Sintaksis Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Verhaar.J. W. M. 2006. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Yasin, Sulchan. 1987. Tinjauan Deskriptif Seputar Morfologi. Surabaya : Usaha Nasional.





1 komentar: