Minggu, 30 Januari 2011

KAIDAH FONOTAKTIK PADA BENTUK AKRONIM BAHASA INDONESIA

KAIDAH FONOTAKTIK
PADA BENTUK AKRONIM BAHASA INDONESIA

Oleh: Sunar Dwigdjowahono
10745051

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Menurut Harimurti Kridalaksana (2005: 5) bahasa mempunyai variasi-variasi karena bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia itu banyak ragamnya terdiri dari laki-laki, perempuan, tua, muda, orang tani, ada orang kota, ada yang bersekolah, ada yang tak pernah sekolah, pendeknya yang berinteraksi dalam berbagai lapangan kehidupan. Bahasa adalah alat komunikasi manusia dalam mengadakan interaksi dengan sesama anggota masyarakat. Manusia berbicara, bercerita dan mengungkapkan pikirannya tidak bisa lepas dari adanya bahasa. Sebagai mahluk individu dan sosial, manusia memerlukan sarana yang efektif untuk memenuhi hasrat dan keinginannya sehingga bahasa merupakan sarana yang paling efektif untuk berhubungan dan bekerja sama. Bahasa dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan pemikiran penggunanya.
Di sisi lain bahasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan dan perkembangan dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan sarana ekspresi dan media komunikasi dalam kegiatan kehidupan manusia, seperti dalam bidang kebudayaan, ilmu dan tekhnologi di dunia barat ternyata juga membawa pengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia, khususnya bidang kosakata atau peristilahan. Selain itu bahasa sebagai alat untuk ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi adalah fungsi bahasa secara sempit. Fungsi bahasa secara luas adalah untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan untuk mengadakan kontrol sosial. Secara garis besar sarana komunikasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu komunikasi bahasa lisan dan bahasa tulis. Salah satu fungsi bahasa adalah fungsi tekstual. Fungsi tekstual berkaitan dengan peranan bahasa untuk membentuk mata rantai kebahasaan dan mata 2 rantai unsur situasi yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh pemakainya baik secara lisan maupun tertulis.
Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya (Chaer, 2003: 191). Jadi proses pemendekan adalah keinginan untuk menghemat tempat (tulisan) dan ucapan. Perkembangan bentuk pemendekan dalam bahasa Indonesia terlihat dalam kegiatan berkomunikasi sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat penuturnya, terutama dalam media massa. Bentuk-bentuk pemendekan, kontraksi, akronim, dan singkatan. Pemenggalan yaitu pemendekan dengan cara meringkas leksem/bagian leksem. Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (misal mayjen mayor jendral, rudal peluru kendali, dan sidak inspeksi mendadak) (Depdiknas, 2005: 23). Sedangkan, singkatan adalah hasil menyingkat (memendekkan), berupa huruf atau gabungan huruf (misal DPR, PGRI, yth., dsb., dan hlm); kependekan; ringkasan. Bentuk pemendekan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah akronim.
Dalam bahasa lisan, kata umumnya terdiri atas rentetan bunyi yang satu mengikuti yang lain. Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Kaidah yang mengatur penjejeran fonem dalam satu fonem dinamakan kaidah fonoaktik (Alwi, 2003: 28). Rangkaian fonem yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu mengenai pola-pola fonotaktik pemakaian akronim yang terdapat dalam surat kabar Jawa Pos. akronim adalah hasil pemendekean yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata (Chaer, 2003: 192). Wujud pemendekannya dapat berupa pengekalan huruf-huruf pertama, berupa pengekalan suku-suku kata dari gabungan leksem, atau bisa juga secara tak beraturan. Misalnya : jutkak (petunjuk pelaksanaan), inpres (instruksi presiden), wagub (wakil gubenur) dan lain-lain. Akronim memilik kombinasi konsonan dan vokal yang terpadu dan serasi, sehingga memungkinkan akronim diperlakukan sebagai kata yang wajar, minimal pada pengucapannya. Maka dari itu, dalam pembentukan akronim diharapkan sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa yang bersangkutan, lebih jelasnya bahwa pembentukan akronim bahasa Indonesia hendaknya serasi dengan kaidah fonotaktik bahasa Indonesia. Kaidah fonotaktik merupakan kaidah-kaidah yang mengatur urutan atau hubungan antara fonem-fonem suatu bahasa. Fonotaktik mempunyai pola yang terkait dengan pola penyukuan kata dan pergeseran bunyi menimbulkan variasi bunyi satu fonem yang sama (dalam http://nusantaralink.blogspot.com/ 2009/01/ lingustika-tanyajawab- kebahasaan.html).
Fonotaktik akronim bahasa Indonesia banyak dipakai. Contoh, Jurkam merupakan gabungan silabe baru dan silabe baru. Bentuk akronim pertama yang berasa dari dua kata adalah gabungan silabe baru dari kata pertama dan silabe baru dari kata kedua. Akronim jurkam pada contoh (1) merupakan kependekan dari juru kampenye. Jur dan kam merupakan silabe-silabe baru dari juru dan kampanye. Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan gabungan fonem-fonem awal dari kata pertama, kedua dan ketiga. Akronim bentuk ini biasanya ditulis dengan huruf kapital. Akronim PAN dibentuk dengan menggabungkan fonem-fonem awal yaitu /p/, /a/, /n/. Akronim PAN merupakan gabungan fonem awal kata pertama /p/ dari kata Partai, fonem awal kata kedua /a/ dari kata Amanat, dan fonem awal kata ketiga /n/ berasal dari kata Nasional. Jadi, akronim PAN merupakan kependekan dari Partai Amanat Nasional.
Depnakertrans merupakan bentuk akronim dari gabungan silabe baru dari kata pertama, silabe kedua dari kata kedua, silabe ketiga dari kata ketiga, dan silabe keempat dari kata keempat. Akronim Depnakertrans dibentuk berdasarkan gabungan silabe baru kata pertama dep dari kata departemen, silabe kedua dari kata kedua na dari kata tenaga, silabe awal dari kata ketiga ker dari kata kerja, dan silabe awal dari kata keempat trans dari kata transmigrasi.

KAJIAN PUSTAKA
Pengertian Kaidah Fonotaktik
Kaidah fonotaktik adalah kaidah yang mengatur perjejeran fonem dalam bahasa Indonesia (Alwi, 1993: 28). Dalam bahasa lisan, kata umumnya terdiri atas rentetan bunyi : yang satu mengikuti yang lain. Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Fonem yang satu mengikuti fonem yang lain ditentukan berdasar konvensi di antara para pemakai bahasa itu sendiri.
Tiap bahasa mempunyai ciri khas dalam fonotaktik, menurut (Djoko kentjono, 2005: 164) kaidah fonotaktik yakni aturan dalam merangkai fonem untuk membentuk satuan fonologis yang lebih besar, misalnya suku kata. Bahasa Indonesia mempunyai pola suku kata V, VK, KV, KVK dan mengenal pola suku kata VKK, KKV, KKVK, KVKK, KKVKK, KKKV dan KKKVK dalam ragam (V = Vokal, K = Konsonan).
Bahasa Indonesia mengizinkan jejeran seperti /-nt-/ (untuk), /-rs-/ bersih, dan /-st-/ pasti, tetapi tidak seperti /-pk-/ dan /-pd-/ tidak ada morfem bahasa Indonesia yang menjejerkan fonem seperti yang dicontohkan diatas. Jadi, bentuk-bentuk seperti opkir dan kapdu terasa janggal dan memang tidak ada kata dengan jejeran fonem yang demikian dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, singkata, terutama dalam bentuk akronim, hendaknya serasi dengan kaidah fonotaktik kita. Selain tidak mengizinkan jejeran /-pk-/ dan /-pd-/ dalam bahasa Indonesia tidak dijumpai suku kata yang berakhiran /c/ dan /j/.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kaidah fonotaktik adalah kaidah yang mengatur perjejeran fonem untuk membentuk fonologis yang lebih besar.
Hubungan Akronim dengan Kaidah Fonotaktik
Penggunaan akronim memberi pengaruh yang sangat besar terhadap pemakai bahasa. Bahasa Indonesia baku adalah bahasa yang dapat dipahami dan sesuai dengan situasinya serta tidak menyimpang dari kaidah yang telah dibakukan (Finoza, 2002: 12). Ragam bahasa baku bercirikan tiga sifat, yaitu : (1) memiliki kemantapan dinamis yang berupa kaidah atau aturan yang tetap, (2) bersifat kecendikian, artinya sering kali digunakan dalam suasana formal dan bersifat ilmiah, (3) memiliki keseragaman kaidah.
Berdasarkan pemahaman diatas, keberadaannya akronim dan pemakaiannya dalam komunikasi (dalam hal ini digunakan pada penulisan-penulisan dalam media massa), juga sudah seharusnya mengikuti kaidah fonotaktik. Terlebih jika dikaitkan dengan salah satu media massa (koran) sebagai syarat atau sarana untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.

Pengertian Akronim
Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret yang disingkat (Finoza, 1993: 23). Misalnya mayjen adalah mayor jendra, rudal adalah peluru kendali, dan sidak adalah inspeksi mendadak. Mengakronimkan berarti membuat akronim atau menjadikan akronim. Pada bagian lain istilah akronim diartikan sebagai singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan yang huruf dan suku kata dari deret yang disingkat.
Pengertian yang lain dikemukakan oleh (Depdiknas, 2005: 24) tentang istilah akronim, yaitu singkatan yang berupa gabungan suku kata, huruf awal, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata dan diperlakukan sebagai kata.
Lebih dalam pembahasan itu disertai contoh sebagai berikut :
• ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)
• SIM (Surat Izin Mengemudi)
• Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)
• Sespa (Sekolah Staf dan Pemimpin Administrasi)
• Pemilu (Pemilihan Umum)
• Tilang (Bukti Pelanggaran)
Istilah akronim dengan redaksi yang sama, yaitu singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret suku kata yang diperlukan sebagai kata. Dengan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa akronim merupakan salah satu jenis singkatan. Namun tidak semua singkatan disebut akronim, karena akronim dapat dibaca seperti kata pada umumnya.
Tarigan memberikan pengertian yang lebih detail tentang akronim. Tarigan menyatakan bahwa istilah berasal dari bahasa yunani yaitu “Akros” yang berarti paling tinggi, dan “Onyma” yang berarti nama. Jadi secara harfiah akronim berarti nama yang paling tinggi atau paling agung (Tarigan, 1993: 171).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa akronim adalah upaya menyingkat kata baik berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf yang diperlakukan sebagai sebuah kata.
Adanya akronim sangat diperlukan, hendaknya diperhatikan beberapa syarat yang antara lain sebagai berikut: (1) jumlah suku kata akronim jangan melebihi yang lazim pada kata Indonesia dan (2) akronim dibentuk dengan memperhatikan keserasian kombinasi vokal juga bisa dilafalkan sebagai kata yang wajar, maka kadang-kadang akronim dapat diberi afiks atau imbuhan.
Afiks Akronim Penagfiksasian Nosi
men-
ber-
di—kan Tilang
SIM
ebtanas menilang
Ber-SIM
diebtanaskan melakukan
mempunyai
dibuat jadi

2.1 Bentuk-Bentuk Akronim
Sebagaimana bentuk akronim yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, bentuk akronim menurut Tarigan (1993: 172) dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu (1) akronim dari huruf awal kata, misalnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dan sebagainya; (2) akronim dari suku kata atau penggalan kata, misalnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), Mendikbud (Mentri Pendidikan dan Kebudayaan), Puslitbang (Pusat Penelitian dan Pengembangan), dan sebagainya; (3) akronim dari huruf awal kata dan suku kata atau penggalan kata, misalnya Akabri (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta), KORPRI (Korp Pegawai Indonesia), dan sebagainya.
Sementara Finoza menjelaskan bentuk-bentuk akronim lebih detail. Secara lengkap bentuk akronim yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1) Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata yang disingkat, ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
Misalnya :
FISIP : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
ISPA : Saluran Pernapasan Atas
KONI : Komite Olahraga Nasional Indonesia
2) Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata, huruf awalnya ditulis dengan huruf kapital dan tidak diakhiri dengan tanda titik.
Misalnya :
Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Kadin : Kamar Dagang dan Industri
Sespa : Sekolah Staf dan Pemimpin Administrasi
3) Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang disingkat, seluruhnya ditulis dengan huruf kecil dan tidak diakhiri oleh tanda titik..
Misalnya :
radar : Radio Detecting and Ranging
rapim : Rapat Pimpinan
rudal : Peluru Kendali

Pola Fonotaktik
Setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri kaidah kebahasaannya, termasuk didalamnya kaidah deretan fonemnya. Deretan fonem yang terdapat dalam bahasa Indonesia mempunyai pola fonotaktik seperti halnya deretan fonem bahasa-bahasa lain yang ada di dunia ini. Deretan fonem tersebut meliputi deretan vokal, deretan konsonan, deretan vokal dan konsonan dalam satu suku kata.
1. Deretan vokal dalam bahasa Indonesia
Deretan vokal biasa merupakan dua vokal yang masing-masing mempunyai satu hembusan napas dan karena itu masing-masing termasuk dalam suku kata yang berbeda. Deretan dua vokal yang terdapat dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
/iu/ : tiup, nyiur
/io/ : kios, radio, biola
/ia/ : tiap, dia, giat
/ei/ : mei
/ea/ : beasiswa, kreasi
/eo/ : feodal, beo, pemeo
/ae/ : daerah
/ai/ : saingan
/au/ : kaum, mau
/oa/ : soal, doa
/ui/ : kuil, buih
/ua/ : dua, puasa, suap
/ue/ : kue, duet
/uo/ : kuota
/əi/ : seiket
/əe/ : seekor
/əa/ : seakan
/əu/ : seutas
/əə/ : keenam
Deretan vokal di atas adalah deretan vokal yang lazim dan berterima dalam bahasa Indonesia. Apabila ada bentuk/bunyi yang didalamnya menggunakan deretan vokal tersebut tidak akan terasa asing bagi kita.
2. Deretan konsonan dalam bahasa Indonesia
Seperti halnya deretan vokal, deretan konsonan dalam bahasa Indonesia juga cukup bervariasi. Adapun variasi dari deretan konsonan tersebut adalah :
a. Deretan konsonan dalam satu suku kata
1) Jika dua konsonan berderet dalam satu suku kata yang sama, maka konsonan yang pertama hanyalah /p/, /b/, /t/, /k/, /g/, /f/, /s/, dan /d/, sedangkan konsonan yang kedua hanyalah /l/, /r/, /w/, atau /s/, /m/, /n/ dan /k/
/pl/ : pleonasme, pleno, taplak
/bl/ : blanko, gamblang
/kl/ : klinik, klasik
/gl/ : global, gladi
/fl/ : flamboyan, flu
/sl/ : slogan, slip
/br/ : brantas, obral, ambruk
/tr/ : tragedi, mitra
/dr/ : drama, drastis
/kr/ : kriminal, akrab, krupuk
/gr/ : gram, granat
/fr/ : fragmen, diafragma, frustasi
/sr/ : pasrah, sragen
/ps/ : psikologi, pseudo, psikiater
/ks/ : ekstra, eksponen
/dw/ : dwifungsi, dwidar
/sw/ : swalayan, swasembada
/kw/ : kwintal, kwitansi
/sp/ : sponsor, spanduk
2) Jika tiga konsonan berderet dalam satu suku kata, maka konsonan pertama selalu /s/, yang kedua /t/ atau /p/, dan yang ketiga /r/ ata /l/.
/str/ : strategi, instruksi
/spr/ : sprei
/skr/ : skripsi, manuskrip
/skl/ : sklerosis

b. Deretan dua konsonan dalam suku yang berbeda adalah sebagai berikut :
/mp/ : empat, pimpin
/mb/ : ambil, gambar
/nt/ : untuk, ganti
/nd/ : indah, pandang
/nc/ : lancar, kunci
/ňj/ : janji, banjir
/ŋk/ : engkau, mungkin
/ŋg/ : angguk, tinggi
/ŋs/ : bangsa, angsa, mangsa
/ns/ : insaf, insan, insang
/rb/ : kerbau, terbang
/rd/ : merdu, merdeka, kerdil
/rg/ : harga, pergi, sorga
/rj/ : kerja, terjang, sarjana
/rm/ : permata, cermin, derma
/rn/ : warna, purnama, ternak
/rl/ : perlu, kerlip, kerling
/rt/ : arti, serta, harta
/rk/ : terka, perkara, murka
/rs/ : bersih, kursi, gersang
/rc/ : percaya, karcis, persik
/st/ : isteri, pasti, dusta
/sl/ : perlu, kerling, kerlip
/kt/ : arti, serta, harta
/ks/ : paksa, laksana, seksama
/?d/ : takdir
/?n/ : laknat, makna, yakni
/?l/ : takluk, maklum, taklim
/?r/ : makruf, takrif
/?w/ : dakwa, takwa
/pt/ : sapta, optik, baptis
/ht/ : sejahtera, tahta, bahtera
/hk/ : bahkan
/hŝ/ : dahsyat
/hb/ : sahbandar
/hl/ : ahli, mahligai, tahlil
/hy/ : sembahyang
/hw/ : bahwa, syahwat
/sh/ : ,ashur
/mr/ : jamrut
/ml/ : jumlah
/lm/ : ilmu, gulma, palma
/gn/ : signal, kognitif
/np/ : tanpa
/sb/ : asbak, asbes, tasbih
/sp/ : puspa, aspirasi, aspal
/sm/ : basmi, asmara
/km/ : sukma
/ls/ : palsu, balsem, pulsa
/lj/ : salju, aljabar
/lt/ : sultan, salto
/pd/ : sabda, abdi
/gm/ : magma, dogma
/hd/ : syahdan, syahdu
3. Deretan vokal dan konsonan dalam satu suku kata
Kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas satu suku kata atau lebih. Betapapun panjangnya suatu kata, wujud kata yang membentuknya mempunyai struktur dan pola fonotaktik. Suatu kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas vokal dan konsonan. Berikut adalah deretan vokal (V) dan konsonan (K) yang membentuk suku kata dalam bahasa Indonesia beserta contoh katanya :
a. V : a-mal, su-a-tu, tu-a
b. VK : ar-ti, ber-il-mu, ka-il
c. KV : pa-sar, sar-ja-na, war-ga
d. KVK : pak-sa, ke-per-lu-an, pe-san
e. KKV : slo-gan, kop-pra
f. KKVK : teks-til, a-trak-si
g. KVKK : teks-til, kon-teks-tual, mo-dern
h. KKKV : stra-te-gi, stra-ta
i. KKKVK : struk-tur, in-struk-tur
j. KKVKK : kom-pleks
k. KVKKK : korps

Deretan vokal dan konsonan yang membentuk satu suku kata seperti tersebut di atas itulah yang berterima dalam bahasa Indonesia, selain itu tak berterima.
Perbedaan Akronim dengan Singkatan
Perbedaan yang sangat mendasar tentang penulisan atau pembentukan tulisan dan akronim adalah dari segi keserasian kombinasi masing-masing unsurnya. Singkatan dibentuk dari satuan huruf tanpa memperhatikan keserasiannya. Cara membacanya juga dieja satu demi huruf dari unsur pembentuknya, contohnya cm dilisankan centimeter, sin dilisankan sinus, DDT dilisankan de-de-te dan lain sebagainya.

Bentuk-Bentuk Akronim
Akronim Nama Diri berupa Gabungan Huruf Awal
Akronim nama diri yang gabungan huruf awal harus ditulis dengan huruf kapital atau huruf besar secara keseluruhan. Bentuk akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dapat dilihat pada contoh: NEM, KIP, DAU, LIPI, GAM, HUT, OKI dan lain lain.

Akronim Nama Diri berupa Gabungan Suku Kata
Akronim nama diri berupa gabungan suku kata huruf awalnya ditulis dengan huruf kapital dan tidak diakhiri oleh tanda titik. Bentuk nama diri yang berupa gabungan suku kata dapat dilihat pada contoh: Mensesneg, Menhan, Seskab, Menkominfo, Kepri, Kalteng, Sekjen, Kapolresta, Dirjen, Hanura, Menku, Kemenkes, Banwaslu, Menko Polhukam, Letjen, Osaka, Kemenag, Kejari, Golkar, Kemendiknas, Mabes, Komjen, Humas, Polri, Irjen, Bareskrim, Lemhanas, Hipmi, Dirut, Unhas, Setgab, Patkamla, Pemkab, Perpres, Dispendik, Kejagung, Sulbar, Sekdes, Kades dan lain-lain.
Akronim Bukan Nama Diri berupa Gabungan Huruf
Akronim bukan nama diri berupa gabungan huruf seluruhnya ditulis dengan huruf kecil dan tidak diakhiri oleh titik. Bentuk akronim bukan nama diri yang berupa gabungan huruf dapat dilihat pada contoh: unas, bimbel, ebtanas, pilkada, panja, pemilu, parpol, ketum, lapas, markus, jarkom, alkom, migas, pasob, pansel, kunker, walhi dan lain-lain.

Pola-pola Fonotaktik
Deretan Vokal dalam Bahasa Indonesia
Menkeu
DAU
Deretan Dua Konsonan Berderet dalam Satu Suku Kata yang Berbeda
Perpres.
Deretan Dua Konsonan dalam Suku Kata yang Berbeda
/ns/ : Mensesneg
/nh/ : Menhan
/lr/ : Polri
/sk/ : Seskab
/mb/ : bimbel
/nk/ : Menkominfo
/lt/ : Kalteng
/st/ : Kapolresta
/lk/ : pilkada
/nk/ : Menkeu
/ns/ : pansel
/nj/ : panja
/sl/ : bawaslu
/rp/ : paspol
/lh/ : Menkopolhukam
/tj/ : Letjen
/rk/ : markus
/lk/ : Golkar
/nd/ : Kemendiknas
/rj/ : Irjen
/mh/ : Lemhanas
/pm/ : Hipmi
/nh/ : Unhas
/tg/ : Setgab
/tk/ : Patkamla
/mk/ : pemkab
/nk/ : kunker
/lh/ : walhi
/nd/ : Dispendik
/kd/ : sekdes

Pembahasan
Bentuk-bentuk Akronim
Akronim Nama Diri Berupa Gabungan Huruf Awal
Akronim nama diri yang gabungan huruf awal harus ditulis dengan huruf capital atau huruf besar secara keseluruhan. Bentuk akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dapat dilihat di bawah ini.
1. ”Hasil ebtanas yang dirangkum dalam NEM (Nilai Ebtanas Murni)”
Akronim NEM merupakan gabungan fonem-fonem awal pertama, kedua dan ketiga. Akronim bentuk ini ditulis dengan huruf kapital. Akronim NEM dibentuk dengan menggabungkan fonem-fonem awal yaitu /n/, /e/, /m/. Akronim NEM merupakan gabungan fonem awal kata pertama /n/ yang berasal dari kata Nilai, fonem awal kedua /e/ yang berasal dari kata Ebtanas, dan fonem awal yang ketiga /m/ yang berasal dari kata Murni. Jadi, akronim NEM merupakan kependekan dari Nilai Ebtanas Murni.
2. ”Komisi Informasi Publik (KIP) diharapkan menjadi ujung tombak dalam upaya penegakan informasi yang diperlukan publik”
Akronim KIP merupakan gabungan fonem-fonem awal pertama, kedua dan ketiga. Akronim bentuk ini ditulis dengan huruf kapital. Akronim KIP dibentuk dengan menggabungkan fonem-fonem awal yaitu /k/, /i/, /p/. Akronim KIP merupakan gabungan fonem awal kata pertama /k/ yang berasal dari kata Komisi, fonem awal kedua /i/ yang berasal dari kata Informasi, dan fonem awal yang ketiga /p/ yang berasal dari kata Publik. Jadi, akronim KIP merupakan kependekan dari Komisi Informasi Publik.
3. ”Menag Suryadharma Ali membantah anggapan bahwa setoran haji dan Dana Abadi Umat (DAU) dimanfaatkan untuk pengoperasian Kemenag kemarin”.
Akronim DAU merupakan gabungan fonem-fonem awal pertama, kedua dan ketiga. Akronim bentuk ini ditulis dengan huruf kapital. Akronim DAU dibentuk dengan menggabungkan fonem-fonem awal yaitu /d/, /a/, /u/. Akronim DAU merupakan gabungan fonem awal kata pertama /d/ yang berasal dari kata dana, fonem awal kedua /a/ yang berasal dari kata abadi, dan fonem awal ketiga /u/ yang berasal dari kata umat. Jadi, akronim DAU merupakan kependekan dari Dana Abadi Umat.
4. ” ... sebagai yang dilaporkan Kepala Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)”.
Akronim LIPI merupakan gabungan fonem-fonem awal pertama, kedua dan ketiga. Akronim bentuk ini ditulis dengan huruf kapital. Akronim LIPI dibentuk dengan menggabungkan fonem-fonem awal yaitu /l/, /i/, /p/, /i/. Akronim LIPI merupakan gabungan fonem awal kata pertama /l/ yang berasal dari kata Lembaga, fonem awal kedua /i/ yang berasal dari kata Ilmu, fonem awal ketiga /p/ yang berasal dari kata Pengetahuan, dan fonem awal yang keempat /i/ berasal dari kata Indonesia. Jadi, akronim LIPI merupakan kependekan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
5. ”Banyak pejabat pemerintahan dan mantan tokoh GAM yang membesuk”.
Akronim GAM merupakan gabungan fonem-fonem awal pertama, kedua dan ketiga. Akronim bentuk ini ditulis dengan huruf kapital. Akronim GAM dibentuk dengan menggabungkan fonem-fonem awal yaitu /g/, /a/, /m/. Akronim GAM merupakan gabungan fonem awal kata pertama /g/ yang berasal dari kata Gerakan, fonem awal kedua /a/ yang berasal dari kata Aceh dan fonem awal yang ketiga /m/ yang berasal dari kata Merdeka. Jadi, akronim GAM merupakan kependekan dari Gerakan Aceh Merdeka.
6. ”Banyak cara warga memeriahkan HUT ke-803 kota Banda Aceh kemarin”
Akronim HUT merupakan gabungan fonem-fonem awal pertama, kedua dan ketiga. Akronim bentuk ini ditulis dengan huruf kapital. Akronim HUT dibentuk dengan menggabungkan fonem-fonem awal yaitu /h/, /u/, /t/. Akronim HUT merupakan gabungan fonem awal kata pertama /h/ yang berasal dari kata Hari, fonem awal kedua /u/ yang berasal dari kata Ulang dan fonem awal yang ketiga /t/ yang berasal dari kata Tahun. Jadi, akronim GAM merupakan kependekan dari Hari Ulang Tahun
7. ”Desa Gajah Makmur, kecamatan Sungai Menang, Ogan Kuning Ilir (OKI)
Akronim OKI merupakan gabungan fonem-fonem awal pertama, kedua dan ketiga. Akronim bentuk ini ditulis dengan huruf kapital. Akronim OKI dibentuk dengan menggabungkan fonem-fonem awal yaitu /o/, /k/, /i/. Akronim OKI merupakan gabungan fonem awal kata pertama /o/ yang berasal dari kata Ogan, fonem awal kedua /k/ yang berasal dari kata Komering dan fonem awal yang ketiga /i/ yang berasal dari kata Ilir. Jadi, akronim OKI merupakan kependekan dari Ogan Ilir Komering.
Kutipan-kutipan di atas merupakan kata yang sengaja disingkat untuk maksud tertentu. Bisa dibayangkan apabila akronim KIP yang kepanjangannya adalah Komisi Informasi Publik ditulis secara lengkap maka tulisan tersebut akan sangat panjang.

Akronim Nama Diri Berupa Gabungan Suku Kata
Akronim nama diri berupa gabungan suku kata huruf awalnya ditulis dengan huruf kapital dan tidak diakhiri oleh tanda titik. Bentuk nama diri yang berupa gabungan suku kata dapat dilihat pada kutipan-kutipan dibawah ini.
1. ”Presiden meninjau situasi room bersama tiga mentri coordinator, kepala UKP4 Kontoro Mangku Subroto, Mensesneg Sudisilalahi, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Kapolri Jendral Bambang Hendarso Dunari”
Pada kutipan diatas terdapat tiga akronim, akronim yang pertama adalah Mensesneg. Mensesneg merupakan bentuk akronim dari gabungan silabe baru dari kata yang pertama, silabe kedua dari kata yang kedua, dan silabe yang ketiga dari kata yang ketiga. Akronim Mensesneg dibentuk berdasarkan gabungan silabe baru kata pertama Men dari kata Mentri, silabe yang kedua Ses dari kata Sekretaris, dan silabe ketiga Neg dari kata yang ketiga Negara. Akronim Mensesneg merupakan kependekan dari Mentri Sekretaris Negara.
Akronim yang kedua dari kutipan dia atas adalah Menhan, Menhan merupakan bentuk akronim dari gabungan silabe baru dari kata yang pertama, dan silabe kedua dari kata yang kedua. Akronim Menhan dibentuk berdasarkan gabungan silabe baru kata pertama Men dari kata Mentri, silabe yang kedua han dari kata Pertahanan. Akronim Menhan meruapakn kependekan dari Mentri Pertahanan.
Akronim yang ketiga dari kutipan diatas adalah Kapolri. Kapolri merupakan bentuk gabungan silabe yang pertama, silabe yang kedua dan gabungan fonem. Akronim Kapolri dibentuk berdasarkan silabe baru dari kata pertama Ka dari kata kepala, silabe yang kedua dari kata Pol dari kata Polisi, dan gabungan fonem /ri/ yang berasal dari kata Republik dan Indonesia. Akronim Kapolri merupakan kependekan dari Kepala Polisi Indonesia.
2. ”Alamsyah menyebutkan, ada enam daerah lain yang tengah diproses yakni, Kepri, Kalteng, Lampung, Banten, Jabar dan Jogjakarta”.
Pada kutipan diatas terdapat tiga akronim, akronim yang pertama adalah Kepri. Kepri merupakan bentuk akronim dari gabungan silabe baru dari kata yang pertama, dan silabe pertama dari kata yang kedua. Akronim Kepri dibentuk berdasarkan gabungan silabe baru kata pertama kep dari kata Kepulauan. Silabe yang kedua ri dari kata Riau. Akronim Kepri merupakan kependekan dari Kepulauan Riau.
Akronim yang kedua dari kutipan diatas adalah Kalteng. Kalteng merupakan bentuk akronim dari gabungan silabe baru dari kata yang pertama, dan silabe pertama dari kata yang kedua. Akronim Kalteng dibentuk berdasarkan gabungan silabe baru kata pertama Kal dari kata Kalimantan, silabe yang kedua teng dari kata Tengah. Akronim Kalteng merupakan kependekan dari kata Kalimantan Tengah.
Akronim yang ketiga dari kutipan diatas adalah Jabar. Jabar merupakan bentuk akronim dari gabungan silabe baru dari kata yang pertama, dan silabe pertama dari kata yang kedua. Akronim Jabar dibentuk berdasarkan gabungan silabe baru kata pertama Ja dari kata Jawa, silabe yang kedua bar dari kata Barat. Akronim Jabar merupakan kependekan dari kata Jawa Barat.


Daftar Pustaka

Chaer, abdul. 2005. Linguistik Umum. Jakarta; Rineka Cipta
Depdiknas. 2005. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung; CV Pustaka Setia
Finosa, Lamuddin. 1993. Komposisi Bahasa Indonesia non-jurusan Bahasa. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama
Hasan, Alwi dkk. 2005. Tata Baku Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta; PT Gramedia Pustaka utama
http://nusantaralink.blogspot.com/2009/linguistika-tanyajawab-kebahasaan.html



PERAN SEMANTIS DALAM PENAMAAN DIRI MASYARAKAT JAWA

PERAN SEMANTIS DALAM PENAMAAN DIRI MASYARAKAT JAWA

(Sebuah Kajian Linguistik)

Dian Purnama Sari
10745039

Abstrak

Sejak manusia sadar akan eksistensinya di dunia, sejak itulah mulai berpikir akan tujuan hidup, kebenaran, kebaikan, dan pencipta- Nya. Mulai dari melihat segala sesuatu yang tergelar di dalam jagad raya ini, dari lingkungannya masing-masing, sampai pada satu ruang dan waktu yang tak terbatas. Kemudian manusia mulai bertanya-tanya dan mencari jawaban yang dapat memuaskan dirinya. Ketika manusia mulai berinteraksi dengan alam, dengan sesamanya, dan menjadi bagian dari sesamanya, mulailah ia sadar juga akan identitas dan kepentingannya sendiri, orang lain, dan semesta alam.
Tulisan ini menguraikan tentang peran semantis yang dimiliki oleh sistem penamaan masyarakat Jawa. Suku Jawa adalah suku mayoritas di Indonesia. Tanah Jawa luas sehingga terbentuklah pembagian area menjadi tiga kawasan yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pemberian nama diri bagi masyarakat Jawa pun merupakan keputusan dan sikap tertentu yang hendak diutarakan oleh pemberinya melalui anak sebagai pihak penyandang nama.

Kata Kunci : Peran semantis, penamaan diri, masyarakat Jawa.










I. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa berbudaya. Beberapa budaya yang kita kenal misalnya Jawa, Bali, Madura, Minahasa, Minangkabau, Sunda, dan masih banyak lagi suku bangsa di Indonesia yang lain. Setiap budaya tersebut memiliki peraturan mengenai nama keluarga atau nama marga. Dalam budaya Batak dan Minahasa misalnya, nama marga ayah diwariskan kepada anak-anaknya (patrilineal) secara turun-temurun. Dalam budaya Minangkabau, pria yang sudah menikah akan diberikan gelar di belakang namanya, sedangkan untuk wanita pada umumnya tidak bergelar. Orang Arab-Indonesia juga memberikan nama keluarga di belakang namanya, misalnya Hambali, Shihab, Assegaf, dsb. Orang Jawa, Bali, dan beberapa orang Madura, serta Sunda juga sering menggunakan nama yang berasal dari bahasa Sansekerta. Sejak kebijakan pemerintahan Soeharto di zaman Orde Baru, orang-orang Tionghoa dilarang menggunakan nama Tionghoa dalam administrasi negara. Sehingga mayoritas dari mereka memilki nama Indonesia di samping nama Tionghoa. Dalam nama Indonesianya, orang Tionghoa sering menyelipkan nama marga dan keluarganya. Beberapa contoh: Sudono Salim (marga: Liem), Anggodo Widjojo (marga: Ang), dan sebagainya.
Potter (1973) mengemukakan bahwa pada tahap awal sejarah bahasa, kata-kata pertama yang dikenal adalah nama-nama. Menurutnya, masyarakat sudah lama menyadari eratnya hubungan antara nama dan objek acuannya dan antara nama dan orang yang memilikinya. Masyarakat Anglo-Saxson, misalnya, selalu memegang prinsip utuh dari generasi ke generasi dalam memberikan nama-nama kepada anak-anak mereka. Begitu penting arti nama bagi pemiliknya sehingga setiap orang akan merasa jengkel apabila namanya ditulis atau diucapkan salah. Semua orang beradab menyadari kebenaran fakta ini. Itulah sebabnya mengapa hukuman tradisional dan formal sangat berat terhadap setiap orang yang menyalahgunakan nama orang lain. Seorang novelis atau sutradara sering menuliskan pada awal karyanya nama dan kejadian ini adalah fiktif dan bukan merupakan tiruan atas nama seorang atau kejadian yang sebenarnya (Panggabean,1993:29). Akhir-akhir ini, nama sudah menjadi objek kajian ilmu terutama bagi bahasawan dan budayawan.
Manusia berbahasa didorong oleh kekuatan roh dalam dirinya yang memiliki kepentingan untuk diutarakan. Dengan bahasa, manusia berpikir untuk mengambil keputusan dan sikap tertentu yang dipandang paling tepat. Keinginan manusia itu harus ditata dengan wahana bahasa yang baik, luwes, dan peni 'serasi dan tepat' sehingga menjadi keutuhan pikiran, sikap budaya yang berwujud artikulasi pikiran. Tampaklah bahwa bahasa adalah pengembang akal budi atau pengembang kesadaran akan nilai-nilai kehidupan dan pemelihara kerja sama antar anggota masyarakat.
Suku Jawa adalah suku mayoritas di Indonesia. Tanah Jawa luas sehingga terbentuklah pembagian area menjadi tiga kawasan yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pemberian nama diri bagi masyarakat Jawa pun merupakan keputusan dan sikap tertentu yang hendak diutarakan oleh pemberinya melalui anak sebagai pihak penyandang nama. Dalam nama terkandung berbagai macam harapan, keinginan, doa, perintah, dan misi warisan yang harus diemban penyandangnya. Nama lebih dari sekadar tenger, tanda, atau ciri seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Di pihak lain-bagi yang penyandangnya-nama merupakan jaminan sejarah, menjadi salah satu identitas pribadi seseorang karena mampu menjelaskan siapa dia, anak siapa, dari keluarga mana, ras apa, dan seterusnya. Selain itu, nama juga merupakan "pagar maya" pengayom kemana arah dan tujuan hidupnya. Begitu dianggap pentingnya sebuah nama bagi masyarakat Jawa, sehingga prosesi pemberiannya pun melalui serangkaian upacara adat yang sakral. Oleh sebab itu analisis mngenai penamaan diri masyarakat menjadi objek yang menarik karena masyarakat Jawa kompleks akan budaya, terbagi dalam tiga area, dan memiliki latar belakang sejarah yang berarti dalam penciptaan nama diri masyarakatnya.
Artikel ini akan memaparkan pemberian nama berdasarkan tiga sudut pandang mengenai pemberian nama masyarakat Jawa yaitu static view, dynamic view, strategic view. Di samping itu peran semantis dalam artikel ini menekankan pada bentuk, fungsi, dan makna nama tersebut.



2. Konsep dan Kerangka Teori
2.1 Konsep
 Konsep yang digunakan dalam tulisan ini berkaitan dengan konsep tentang penamaan diri masyarakat Jawa dan peran semantis. Berikut diuraikan keua konsep tersebut.

2.1.1 Pembentukan Nama Masyarakat Jawa
Banyak orang Indonesia memiliki tatacara penamaan yang unik, tidak seperti nama-nama Eropa yang umumnya menggunakan formula nama depan - nama tengah - nama keluarga. Nama-nama yang diberikan orang tua kepada anak-anak mereka bervariasi bergantung pada asal pulau, suku, kebudayaan, bahasa, dan pendidikan yang diterima orang tua mereka. Masing-masing suku bangsa di Indonesia biasanya memiliki cara penamaan yang spesifik dan mudah dikenali, misalnya nama-nama yang berawalan Su- atau Soe- yang hampir selalu menunjukkan sang penyandang nama berasal dari keluarga Jawa atau lahir di Jawa (nama Jawa). Keluarga-keluarga yang menetap di kota-kota besar atau telah mendapatkan pendidikan yang berbeda dari orang tua mereka tidak jarang mengadopsi cara penamaan nama depan - nama keluarga yang menyebabkan banyaknya nama-nama keluarga baru yang bermunculan. Secara umum, ada empat cara penamaan yang umumnya digunakan di Indonesia, dan contoh yang digunakan adalah keenam presiden Indonesia, yang kebetulan mewakili setiap kategori:
1. Nama tunggal, seperti Soekarno dan Suharto.
2. Nama jamak tanpa nama keluarga, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (ayahnya bernama Raden Soekotjo, namun beliau mengadopsi tata nama Eropa dan menamai anak-anaknya dengan nama belakang Yudhoyono)
3. Nama jamak dengan nama keluarga sebagai nama belakang, seperti Baharuddin Jusuf Habibie.
4. Nama jamak menggunakan sistem patronymik
a. Ala Eropa : Megawati Soekarnoputri dan saudara-saudarinya yang menggunakan nama ayahnya: Soekarno diberi imbuhan -putri (atau -putra).
b. Ala Timur Tengah : Abdurrahman Wahid yang menggunakan nama ayahnya: Wahid Hasyim (yang juga menggunakan nama ayahnya Hasyim Asyari). Ia juga mem'fosil'kan nama belakangnya sehingga anak-anaknya memiliki nama belakang Wahid.
 Sutarjo (1983) dalam bukunya Psikolinguistik 1 menyebutkan tiga sudut pandang dalam sistem penamaan diri masyarakat Jawa. (1) Static view, yaitu sudut pandang yang mengamati nama sebagai objek atau bentuk ujaran (verbal) yang statis, sehingga dapat dipretheli 'dipisah-pisahkan, diuraikan' dan diamati bagian-bagiannya secara mendetail dan menyeluruh dengan ilmu dan teori-teori bahasa. (2) Dynamic view, yaitu suatu pandangan yang melihat nama diri dalam keadaan bergerak dari waktu ke waktu, mengalami perubahan, perkembangan, dan pergeseran bentuk dan tata nilai yang melatarbelakanginya. (3) Strategic view, yaitu aspek strategis dari akumulasi fenomena, "dudutan" dari segala bentuk perubahan dan perkembangannya, dan lebih jauh mengenai hubungan kebudayaan dengan bahasa, khususnya dalam nama diri. Ketiga sudut pandang ini diharapkan telah mampu menangani berbagai bentuk permasalahan nama diri, baik dari segi kebahasaan, maupun dari aspek di luar bahasa, yaitu aspek sosio-kulturalnya. Selain itu, ketiga sudut pandang ini-dalam tataran seni-dirangkum dalam ranah feeling, yaitu perasaan yang disadari dan didasarkan pada patos, pengalaman hidup dan cita-cita manusia dalam memori dan dalam alam bawah sadarnya.

2.1.2 Peran Semantis Peran semantis adalah peran yang dimiliki oleh argumen verba. Konsep peran semantis ini mengacu pada teori yang telah dikembangkan oleh Foley dan Van Valin (1984) yang kemudian disempurnakan kembali oleh Van Valin dan La Polla (1997) yang pada penerapannya menggunakan notasi actor (pelaku) dan undergoer (penfderita). Selanjutnya actor merupakan argumen yang mengekspresikan partisipan yang membentuk, mempengaruhi, atau mengendalikan situasi yang dinyatakan oleh predikatnya. Sedangkan undergoer merupakan argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak membentuk, tidak mengendalikan situasi, tetapi dipengaruhu oleh tindakan verbanya. Kedua peran dalam teori macrorola ini merupakan peran umum yang di dlamnya terdapat peran-peran khusus, seperti agen, pemengaruh, lokatif, tema, dan pasien ( Van Valin dan La Polla, 1997). Terkait dengan hal tersebut, Foley dan Van Valin (1984:59) mengusulkan suatu hierarki tematis. Hierarki tersebut untuk memudahkan penafsiran pelbagai peran semantis derivasi serta menerangkan peran semantis yang mungkin dilibatkan dalam pemetaan atau mapping argumennya. Dalam analisis penamaan diri ini akan dipaparkan mengenai peran semantis terkait dengan tiga sudut pandang yang dikemukakan oleh Sutarjo yaitu static view, dynamic view, dan strategic view.
3. Metode Penelitian Bentuk penelitian ini bersifat deskriptif yaitu berupaya memaparkan secara analitis peran semantis dalam penamaan diri masyarakat Jawa. Dalam hal ini, tekanan penelitian terletak pada upaya dalam mendeskripsikan secara rinci fenomena sosial tertentu atau frekuensi terjadinya peristiwa tertentu (Singarimbun, 1982:4). Di samping itu, metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1988:7) digunakan pula dalam pengumpulan data penelitian ini. Objek penelitian adalah masyarakat Jawa terutama nama diri mereka.
4. Hasil Analisis Data
 Dalam sudut pandang static view yang pertama, nama diri terkait erat dengan latar sosio-kultural pemberinya, pemiliknya, orang atau masyarakat (sebut saja konteks) di sekitarnya. Maka, ketika kita akan menganalisis sepenggal nama (dengan aneka bentuk konstruksinya), terasalah bedanya antara makna, maksud, dan informasi unsurnya (Sudaryanto, 1993:3). Misalnya pada nama Ari Mugi Raharja, makna tiap unsurnya adalah sebagai berikut. Ari berarti 'sebuah nama, hari, adik, matahari', dan dalam bahasa Jawa Kuno berarti 'jika, umpamanya'. Mugi berarti 'semoga, pulih'. Raharja berarti 'rahayu, selamat, ramai'. Keseluruhan makna nama Ari Mugi Raharja adalah 'Anak yang diharapkan selalu menemui keselamatan dalam hal apapun; selamat rejekinya, kesehatannya, keluarganya, dst. Kedua, banyaknya faktor perkecualian dalam nama diri Jawa, sehingga sulit terkaidahkan secara formal. Nama Agus secara umum digunakan oleh laki-laki. Namun kenyataannya juga didapati seorang wanita menggunakan nama Agus, misalnya pada nama Agustina Mastuti, Agustina Arum Sari, Agus Shanti Tri Utami, Dwi Meina Agustanti. Hal serupa juga terjadi pada nama Budi dan Andri. Sebaliknya banyak nama yang lazim digunakan oleh wanita, dipakai oleh laki-laki. Pada sudut pandang dynamic view penambahan Su- sebagai morfem tak mandiri sebagai suku awal dari nama dan penambahan suku –min, -man, -o (-a), -ya, -di, -wan, -na (-no), dan –ji, (untuk laki-laki) dan –mi, -ni, -nah, ti, i, -yem, -jem, -kem, -ni, dan –tun (untuk perempuan) sebagai suku akhir dari nama. Sedangkan nama itu sendiri sering hanya diambil dari hari atau pasaran kelahiran, harapan yang terinspirasi dari situasi dan kondisi keluarga pada saat kelahiran, musim, keadaan alam sekitar, dan juga berdasarkan urutan kelahiran. Motivasi atau dorongan yang timbul dalam diri secara sadar atau tidak sadar dalam penamaan seperti ini adalah semangat kesederhanaan. Pada sudut pandang strategic view pemberian nama-nama seperti itu dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran ramah lingkungan, feeling atau kesadaran yang dirasakan pada saat keputusan pemberian nama berlangsung, menjadi sumber inspirasi utama pemberian nama, pentingnya memori dalam proses pemberian nama, serta kekuatan bawah sadar yang cukup menonjol.

5. Pembahasan
5.1. Peran Semantis dalam Static View
Pada sudut pandang static view nama diri tampak sebagai sesuatu yang berhenti, sebagai satu bentuk ujaran yang jelas bleger-nya 'bentuk formal yang utuh', sehingga bagian-bagiannya tampak jelas dan teramati (overt). Sebagai sebuah bentuk ujaran, nama diri dipandang memiliki bangun atau konstruksi, yaitu konstruksi kata dan kelompok kata. Lebih jauh lagi, pada nama berkonstruksi kata dapat dibahas tentang model-model persukuannya, sistem pemenggalan (baik pemenggalan suku dan pemenggalan unsur), beberapa variasi jumlah suku kata, struktur morfemis nama, dan tata bentuk nama berkomponen ganda (berdasarkan kategori unsur). Sedangkan pada nama berkonstruksi kelompok kata telah dibahas beberapa hal mendasar tentang perbandingan istilah, pola urutan, dan penanda jenis nama diri (baik penanda suku maupun penanda morfem).
 Kekuatan pandangan ini terletak pada detail ulasannya. Ibarat memahami seluk-beluk sepeda motor, kita dihadapkan pada sebuah sepeda motor dalam keadaan berhenti. Lalu, satu demi satu dipisahkan untuk mengetahui detail bagian-bagiannya, sehingga diperoleh deskripsi yang jelas mengenai kapasitas bensin maksimum tangkinya, jenis bensin (premium atau premix) yang sesuai dengan mesin jenis itu, seluk-beluk karburator (pegas dan jarum karburator, apung-apung, sekrup, kabel gas, dan volume bensin (CC) maksimum karburatornya), Seker, ring seker, knalpot, dsb.
 Secara singkat dalam pandangan yang statis (static view), data dipahami sebagai bahan jadi penelitian berupa nama-nama diri dalam masyarakat Jawa. Sifat datanya satu jenis, yaitu sebagai bentuk ujaran (fakta lingual) yang sekaligus merupakan "objek sasaran penelitiannya" atau Gegenstan. Syarat data adalah mencukupi, baik dalam jumlah maupun dalam hal jenis tipenya. Tiga aspek dominan yang dikaji antara lain adalah: bentuk, kemaknaan, dan hubungan antar-fenomen. Berikut disajikan bagan untuk memperjelas paparan ini.

Bagan 1. Static View

Objek Sasaran Penelitian
 Nama Nama Nama

 Makna Makna Makna

Konstruksi


 Pada taraf ini sekurangnya ada tiga hal yang dapat dilakukan, yaitu (1) cermat dalam penyediaan data, analisis data, penyajian hasil analisis data, dan mampu menangkap kemungkinan kekaburan fenomen lingual, yaitu bentuk, kemaknaan, dan hubungan antarfenomen. (2) Menemukan titik terang tertentu dari segala bentuk kekaburan itu. (3) Mengkaidahkan pola dan konstruksi bentuk dari proses pemahaman dan analisis yang telah dilakukan.
 Dalam praktiknya, terdapat kendala dalam taraf proses pengkaidahan, khususnya mengkaidahkan secara formal. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, nama diri terkait erat dengan latar sosio-kultural pemberinya, pemiliknya, orang atau masyarakat (sebut saja konteks) di sekitarnya. Maka, ketika kita akan menganalisis sepenggal nama (dengan aneka bentuk konstruksinya), terasalah bedanya antara makna, maksud, dan informasi unsurnya (Sudaryanto, 1993:3). Misalnya pada nama Ari Mugi Raharja, makna tiap unsurnya adalah sebagai berikut. Ari berarti 'sebuah nama, hari, adik, matahari', dan dalam bahasa Jawa Kuno berarti 'jika, umpamanya'. Mugi berarti 'semoga, pulih'. Raharja berarti 'rahayu, selamat, ramai'. Keseluruhan makna nama Ari Mugi Raharja adalah 'Anak yang diharapkan selalu menemui keselamatan dalam hal apapun; selamat rejekinya, kesehatannya, keluarganya, dst. Isi amanat ini ketika dikonfirmasikan dengan pihak pemberi nama ternyata berbeda. Mugi- menurut orang tua si anak-merupakan bentukan dari waktu kelahiran bayi, yaitu Jemuah ‘Jumat’ dan Legi (hari dalam kalender Jawa). Jadi, sesungguhnya nama Ari Mugi Raharja bermakna ‘anak (laki-laki) yang lahir selamat pada hari Jumat Legi’. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pemaknaan nama diri masyarakat Jawa harus mampu mengungkap maksud dari pemberi namanya. Hal ini penting karena dengan mengetahui maksud itu, kita dapat mengetahui bahwa nama diri juga diberikan atas dasar waktu kelahirannya.
Selain itu, dalam berbagai uji coba diperoleh satu pemahaman bahwa makna komponen nama (apabila ia berkonstruksi kata) atau makna tiap unsur nama (manakala ia berkonstruksi kelompok kata) sifatnya metaforis, tidak dapat dilepaskan dari penggunaannya dan konteksnya, sebagaimana makna leksikal (lexical meaning). Kenyataan ini ternyata membawa konsekuensi tersendiri ketika proses pengkaidahan itu dilakukan.
 Kedua, banyaknya faktor perkecualian dalam nama diri Jawa, sehingga sulit terkaidahkan secara formal. Nama Agus secara umum digunakan oleh laki-laki. Namun kenyataannya juga didapati seorang wanita menggunakan nama Agus, misalnya pada nama Agustina Mastuti, Agustina Arum Sari, Agus Shanti Tri Utami, Dwi Meina Agustanti. Hal serupa juga terjadi pada nama Budi dan Andri. Sebaliknya banyak nama yang lazim digunakan oleh wanita, dipakai oleh laki-laki.
 Intinya terdapat pada penyesuaian aspek teori linguistik untuk mengungkap rahasia (convert) dari nama. Hal ini terjadi dalam rangka menjelaskan nama secara ilmiah, dengan pertanggungjawaban yang ilmiah juga. Oleh sebab itu, seringkali terjadi pembatasan dalam rangka penyesuaian teori kebahasaan dalam analisis sistem nama diri; mengingat penggunaan satu teori secara utuh sulit dilakukan.
Bahasan tentang nama diri dari sudut pandang Static View ini mengkaji secara komprehensif masalah-masalah di sekitar bahasa. Hal-hal yang berada di luar kebahasaan bukan merupakan target analisisnya. Di sisi lain, disadari betul bahwa objek sasaran penelitian atau gegenstand dalam penelitian ini memiliki ruang lingkup yang cukup luas, menembus batas-batas kebahasaan yang ada. Oleh karena itu, diperlukan dimensi analisis lain yang mampu mendukung analisis kebahasaannya. Misalnya, analisis yang lebih jauh melihat hubungan antara fakta bahasa dan strategi budaya seseorang atau kolektif masyarakat.

5.2. Peran Semantis dalam Dynamic View
Berbeda dengan sudut pandang statis (static view), sudut pandang dinamis (dynamic view) melihat nama diri dalam keadaan bergerak dari waktu ke waktu; mengalami perubahan, perkembangan, dan pergeseran bentuk seiring dengan tata nilai yang melatarbelakanginya. Ibarat sepeda motor, dalam pandangan ini akan dikaji bagaimana kemampuan jalannya, ketangguhan rem cakramnya, kelenturan shock breaker, tarikan gasnya, dan sebagainya.
 Sudut pandang dynamic view dilandasi oleh satu pemahaman bahwa bahasa adalah suatu kegiatan, suatu perilaku yang berhubungan erat dengan jenis tingkah laku sosial dan budaya lain. Oleh karena itu bahasa harus dipelajari dalam konteks sosial dan budayanya (bandingkan Richard Nivens, 1996:2; Sudaryanto, 2000:7), sehingga akhirnya nama menjadi ekspresi dan refleksi budaya pemiliknya. Tekanan dalam pandangan ini terletak pada aspek-aspek dinamis dari nama diri masyarakat Jawa. Pada kenyataannya perubahan dan perkembangan dalam nama diri terjadi dalam konteks masyarakat yang senantiasa bergerak dan berubah pula.
 Dinamika pemberian nama diri dalam masyarakat Jawa dipandang dari sumber inspirator atau sumber namanya dapat dibedakan menjadi tiga kategori sebagai berikut:
a. Pemberian nama dengan mempertimbangkan atau memperhitungkan segala sesuatu secara sederhana dan terbatas pada hal-hal yang dekat dengan prosesi kelahiran, keadaan, dan pola pikir yang sederhana. Pola-pola nama diri seperti ini selanjutnya disebut pola nama diri sederhana, tercermin dari wujud nama yang hanya terdiri dari satu kata (berkonstruksi kata), mudah diingat, latar belakang penamaan, pola-pola harapan, doa, dan keinginan yang sederhana pula. Fakta lingual berupa nama diri yang dimaksud adalah: Penambahan Su- sebagai morfem tak mandiri sebagai suku awal dari nama dan penambahan suku –min, -man, -o (-a), -ya, -di, -wan, -na (-no), dan –ji, (untuk laki-laki) dan –mi, -ni, -nah, ti, i, -yem, -jem, -kem, -ni, dan –tun (untuk perempuan) sebagai suku akhir dari nama. Sedangkan nama itu sendiri sering hanya diambil dari hari atau pasaran kelahiran, harapan yang terinspirasi dari situasi dan kondisi keluarga pada saat kelahiran, musim, keadaan alam sekitar, dan juga berdasarkan urutan kelahiran. Motivasi atau dorongan yang timbul dalam diri secara sadar atau tidak sadar dalam penamaan seperti ini adalah semangat kesederhanaan.
b. Semangat kesederhanaan ini bukan pula menjadi kodrat bagi pemiliknya. Kesederhanaan itu sesungguhnya tak luput dari kemampuan berbahasa seseorang atau kolektif. Seseorang yang hidup terpencil dari pengetahuan akan sulit memilih kosa kata yang tepat untuk harapan dan keinginannya sendiri. Sehingga, nama yang diberikan untuk anak-anaknya juga sebatas pengetahuannya tentang bahasa itu, sebatas penguasaan kosa kata yang dimilikinya. Faktor lain, adanya pembagian wilayah budaya dan konvensi budaya yang menjadikannya semakin takberkesempatan memilih.
c. Pemberian nama dengan konstruksi kelompok kata. Diduga kuat munculnya konstruksi ini seiring dengan kemajuan pola pikir dan mental masyarakat. Keanekaragaman jenis, bentuk, dan pola harapan terasa tidak cukup lagi terwadahi hanya dalam sepatah kata sebagai unsur nama. Manusia lebih menghendaki ungkapan riil (nyata) daripada pralambang atau simbol. Manusia lebih suka kepada sesuatu yang jelas, spesifik, tetapi unik. Artinya, dominasi otak lebih terasa dibanding dengan perasaan dan bahkan intuisi. Di sisi lain, tanpa disadari tengah berkembang budaya baru yaitu materialisme yang memberikan tekanan yang kuat, sehingga mendorong manusia untuk lebih siap dan survive dalam menjalani kehidupan. Berbagai bentuk persiapan dan upaya dilakukan, termasuk memberi bekal nama yang kamot atau sesuai dengan segala bentuk tantangan jaman tersebut.
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa (1) secara diakronis, terdapat kecenderungan telah terjadi perubahan pada sistem nama diri masyarakat Jawa yang tampak dari perkembangan unsur-unsur yang berakibat pula pada perkembangan konstruksinya. (2) Perkembangan seperti itu terkait erat dengan (a) dinamika masyarakat yang meningkat, (b) perkembangan kosa kata bahasa manusia sebagai buah dari komunikasi peradaban, (c) perkembangan nalar (akal budi) dan pola pikir manusia, (d) perkembangan sikap mental dan respon budaya masyarakat, (e) perkembangan kebutuhan manusia, dan- yang tidak dapat dilupakan adalah- (f) jasa ilmu pengetahuan dan teknologi melalui hasil-hasilnya.
Dilihat dari nuansa (warna) dalam nama diri masyarakat Jawa secara diakronis, tampak bahwa pada kenyataannya penamaan tidak terpukau dan terpaku saja dengan keindahan bahasa, yaitu semata-mata sebagai estetika fonis. Nama juga dirangsang oleh berbagai fenomena hidup yang lain yang mengacu pada kelampauan, masa kini, dan masa depan. Gejala psikologis yang dapat dirasakan adalah, seorang anak akan merasa malu jika memiliki nama yang kuno (biasanya berkonstruksi kata). Sebaliknya, seorang anak akan merasa bangga memiliki nama yang modern. Bagi seorang remaja yang merasa malu dengan namanya, sering merubahnya sendiri paling tidak pada nama panggilan yang disesuaikan dengan modernitas jaman atau trend nama yang berlaku. Ada sebuah anekdot, ketika di desa namanya Kemi, begitu pindah ke kota berubah menjadi Mince, Sugimo berubah menjadi Mamo S.G., Rakijan berubah menjadi Eki R., dan Kasmin berubah menjadi Asmi Rakasiwi. Hal serupa banyak terjadi di dunia entertainment dan olah raga, terutama olah raga tinju profesional. Sebagian besar atlet tinju profesional memakai nama petinju favoritnya, atau juga semacam istilah yang merujuk pada keahlian atau kelebihan bertinjunya. Misalnya, Litle Homes, Dobrak Arter, Ananto Chaves, Nurdin Inoki, dsb.
 Sudut pandang dynamic view ini pun juga mampu menangkap proses pemudaran dikotomi sosiologis dari nama diri sebagaimana disampaikan oleh Clifford Geertz (1983). Geertz berpendapat adanya tiga jenis nama diri yang dipakai oleh masyarakat Jawa, yaitu: nama dusun, nama priyayi, dan nama-nama santri. Teori ini ternyata hanya berlaku sampai batas kurun waktu tertentu. Pada kenyataannya, pasca 1970-an batas-batas itu mulai memudar, terbukti dari data yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini. Radjiman (1984) dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta’ menyebutkan Indikator pemudaran sebagaimana disebut adalah pemudaran batas wilayah sosial masyarakat Jawa oleh karena perkembangan jaman dan perkembangan peradaban masyarakat Jawa sendiri. Di bekas kerajaan Surakarta Hadiningrat terdapat tradisi penamaan satu wilayah (toponimy) berdasarkan kelompok masyarakat penghuninya, seperti: Sayangan (tempat abdi dalem pembuat barang-barang dari tembaga), Gandhekan (tempat abdi dalem pesuruh khusus raja), Kepunton (tempat abdi dalem pembuat pakaian sulam), Dagen (tempat abdi dalem tukang kayu istana), dan sebagainya.
  Pengelompokan ini sama sekali sudah tidak berlaku lagi, karena komunitas heterogen masyarakat di wilayah itu. Pemudaran wilayah dari yang homogen menjadi heterogen ini berdampak pada bahasanya. Yang tampak justru pemberian nama berdasarkan hal-hal yang terkait erat dengan pekerjaan orang tua, seperti Lexicowati, Fona, Maxi (anak seorang linguis); Desi, Hekto (anak seorang pengajar Matematika), dst. Apabila profesi menjadi penanda kelas sosial, mungkin dapat dianggap sebagai pengecualian. Dari fakta lingual berupa nama diri yang berhasil dihimpun diperoleh satu kesimpulan bahwa untuk wilayah Surakarta dan sekitarnya : (a) sistem penamaan berdasarkan waktu kelahiran: hari dan pasaran dan nama-nama sederhana seperti Sirin, Sidin, Siman, Sujiem, Rubikem, Juminten, dll. sudah jarang ditemukan untuk generasi pasca 1970-an., (b) nama diri sebagai penanda kelas sosial pun tidak berlaku lagi, (c) Nama-nama seperti Muhammad, Siti, Qowiyah, Abdul Mutholib, Abu Bakar, Ali Usman, dst. yang dahulu menjadi penanda kelompok santri tidak lagi berlaku, oleh karena telah bercampur dan menyebar (spread) ke dalam masyarakat umum, (d) Batas wilayah dan penanda kelas sosial itu pun ditengarai oleh pemakaian nama-nama Baptis dari perkampungan sampai wilayah kota. Bahkan terkadang nama sebagai penanda pemeluk agama Kristen itu telah diberikan semenjak lahir (pada prosesi pemberian nama). Nama-nama baptis yang populer adalah: Christ, Yohanes, Ignatius, Fransiscus Xaverius, Yosep, Felix, Simon, dsb.

5.3. Peran Semantis dalam Strategic View
Sudut pandang yang ketiga adalah Strategic view yang mengkaji aspek strategis dari akumulasi fenomena; “arah” dari segala bentuk perubahan dan perkembangannya, serta hubungan kebudayaan dengan bahasa, khususnya dalam nama diri. Bagian ini mengandaikan nama sebagai suatu strategi yang terbentuk dari adanya respon budaya masyarakat pemiliknya. Apa yang tertulis dan tersebut sebagai nama, sesungguhnya bukan lagi menjadi sasaran pokok kajiannya. Namun sasaran itu justru terletak hal-hal yang non-fisik, yaitu kasunyatan di balik kenyataan nama itu. Konkretnya, apa yang disebut sebagai sasaran itu antara lain adalah: kesadaran, feeling, memori, dan bawah sadarnya.
 Beranjak dari fakta yang ada, tampaknya dapat dikatakan bahwa nama akhirnya menjadi bentuk tak kentara dari strategi hidup manusia secara berkelanjutan (sustainability). Dalam mengarungi kehidupan dan membina satu keluarga, seseorang (orang tua) memiliki keinginan, cita-cita, doa, kemauan, pendapat, dan misi hidup. Berbagai keinginan itu memiliki kepentingan untuk diutarakan melalui caranya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung, tampak (overt ‘kasat mata’) atau tidak tampak (covert, perlambang). Salah satu contoh nyata cara mengutarakan keinginan itu adalah pada pemberian nama. Hal ini berarti, nama sebagai fakta lingual hanyalah wadah dari berbagai keinginan itu. Namun bukan berarti wadah itu kurang bernilai, karena tidaklah mungkin memahami sesuatu yang tidak tampak dari yang tampak, tanpa harus mengerti yang tampak itu sendiri.
 Pada tataran yang lebih dalam, sebagaimana terdapat dalam pepatah Jawa, nama kinarya japa ‘nama sebagai doa’. Dalam konsep keyakinan Jawa tradisional, nama menjadi pengejawantahan dari sembah terhadap yang adikodrati –termasuk di dalamnya unsur semesta- karena eksistensi manusia yang harus tunduk takluk dengan lingkungannya (kolektivitas) sampai kepada pusatnya, yaitu Tuhan pencipta alam semesta. Inilah keyakinan yang masih hidup dan situsnya masih dapat dijumpai hingga saat ini. Keyakinan ini ditanamkan sejak nol tahun kehidupan satu generasi baru. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila pemberian nama kepada anak-anak itu bersifat sederhana dan bersahaja, menjadi tenger bagi pemakainya, dan kurang mementingkan adanya otonomi manusia.
Fakta lingualnya adalah nama-nama sebagaimana disebut dalam point 1) tentang dinamika pemberian nama diri dalam masyarakat Jawa di atas. Namun demikian hal itu bukan berarti mereka tidak memilihkan nama terbaik untuk generasi penerusnya, karena proses seleksi nama itupun ternyata berlangsung (walau sebatas kemampuan pelakunya). Bahkan tidak jarang nama yang diberikan adalah pilihan dari kakek atau nenek sang ayah atau ibu. Dan, pilihan terbaiknya justru jatuh pada hal-hal yang lugas atau sederhana pula, misalnya berkenaan dengan pendokumentasian waktu kelahiran, felling, dan pandangan tentang masa depan yang cukup sederhana, karena mengacu pada keselamatan hidup, kecukupan hidup, dan keselarasan dari hasil pertanian mereka.
 Nama-nama yang dapat dikatakan sederhana (karena dibangun oleh satu kesadaran yang sederhana konsepnya) tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
Wagiyem ‘kelahiran Wage, ayem ‘tentram’
Purwanti ‘lahir pertama’
Eka ‘lahir pertama’
Sribit ‘semilir angin’
Tugiyo ‘lahir Sabtu Legi’
Waras ‘sehat’
Wagiman ‘lahir pada pasaran Wage’
Santosa ‘kuat, perkasa’
Seger ‘selalu sehat, segar’
Sugeng ‘selamat’
Wilujeng ‘selamat’
Rahayu ‘selamat’

 Beberapa contoh nama yang disebutkan tersebut secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pemberian nama-nama seperti itu dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran ramah lingkungan. Nama-nama yang diberikan diambil dari berbagai bentuk leksikon percakapan, serta situasi dan kondisi alam semesta termasuk juga seluruh isinya. Sebagai contoh pada nama Purwanti tampak adanya dominasi pola urutan kelahiran, bahwa si penyandang nama adalah anak pertama dari sebuah pasangan suami istri. Sedangkan –nti adalah penanda jenis wanita. Hal serupa juga terjadi pada nama Tugiyo yang lebih menonjolkan setting waktu kelahiran pada hari Sabtu pasaran Legi. Sedangkan hal-hal lain sebagai pengembangan makna dari nama tersebut bisa saja muncul sebagai bentuk kesadaran yang berbeda.
2. Feeling atau kesadaran yang dirasakan pada saat keputusan pemberian nama berlangsung, menjadi sumber inspirasi utama pemberian nama. Keberadaan feeling ini terkait erat dengan adanya memori kolektif masyarakat yang cenderung homogen, baik dari aktivitas rutin dan sesaat, kebutuhan, perjuangan hidup, dan ikatan tradisinya. Dipilihnya nama Purwanti karena adanya sadar akan “posisi” sang bayi sebagai anak pertama (purwa ‘pertama, pembukaan, yang pertama’ + -nti sebagai penanda jenis wanita). Konsep kesadaran ini dalam bahasa Jawa dipertegas dengan istilah ora neka-neka ‘tidak macam-macam’, samadya ‘secukupnya, sederhana, tidak muluk-muluk’. Pilihan bahasanya pun sederhana, hanya terdiri atas satu kata (baik bentukan beberapa morfem maupun murni satu kata) dan pola vokal yang cenderung sama.
3. Pentingnya memori dalam proses pemberian nama. Pada beberapa nama bahkan diketahui sebagai “judul lelakon” hidup orang tua atau keluarga si anak atau solusi dari lelakon yang dialami. Solusi inilah yang kemudian ditengarai sebagai harapan (hope) dan doa permohonan (pray). Orang tua dalam masyarakat Jawa lazimnya memegang erat satu berprinsip “ngisor gendheng daksaponane, abot entheng daklakonane” artinya “segala beban hidup yang berat cukuplah menjadi beban orang tua, jangan sampai dirasakan pula oleh anak-anak”. Nuansa (warna) yang dapat ditangkap adalah doa perbaikan nasib, kemujuran, kesejahteraan, dan kejayaan generasi penerus.
4. Kekuatan bawah sadar yang cukup menonjol, berupa “untiran” dari keputusan penamaan itu. Kekuatan bawah sadar yang dapat ditangkap adalah prinsip keberlangsungan (sustainability) hidup dengan grafik yang meningkat dari segi kualitas. Seorang keluarga petani Jawa tidak mungkin hanya berharap anak-anaknya juga hanya akan menjadi petani. Ada harapan menjadi priyayi yang diselipkan. Kekuatan bawah sadar ini sungguh merupakan mitos hidup yang subur berkembang di Jawa.

Empat keterangan di atas dapat diwujudkan ke dalam sebuah bagan sebagai berikut.
Bagan 2. Strategic View




 STRATEGIC VIEW





Simpulan Simpulan yang diperoleh dari analisis peran semantis penamaan diri masyarakat Jawa, dalam sudut pandang static view yang pertama adalah nama diri terkait erat dengan latar sosio-kultural pemberinya, pemiliknya, orang atau masyarakat di sekitarnya. Maka, ketika kita akan menganalisis sepenggal nama (dengan aneka bentuk konstruksinya), terasalah bedanya antara makna, maksud, dan informasi unsurnya (Sudaryanto, 1993:3). Misalnya pada nama Ari Mugi Raharja, makna tiap unsurnya adalah sebagai berikut. Ari berarti 'sebuah nama, hari, adik, matahari', dan dalam bahasa Jawa Kuno berarti 'jika, umpamanya'. Mugi berarti 'semoga, pulih'. Raharja berarti 'rahayu, selamat, ramai'. Keseluruhan makna nama Ari Mugi Raharja adalah 'Anak yang diharapkan selalu menemui keselamatan dalam hal apapun; selamat rejekinya, kesehatannya, keluarganya, dst. Kedua, banyaknya faktor perkecualian dalam nama diri Jawa, sehingga sulit terkaidahkan secara formal. Nama Agus secara umum digunakan oleh laki-laki. Namun kenyataannya juga didapati seorang wanita menggunakan nama Agus, misalnya pada nama Agustina Mastuti, Agustina Arum Sari, Dwi Meina Agustanti. Hal serupa juga terjadi pada nama Budi dan Andri. Sebaliknya banyak nama yang lazim digunakan wanita, dipakai oleh laki-laki. Pada sudut pandang dynamic view Penambahan Su- sebagai morfem tak mandiri sebagai suku awal dari nama dan penambahan suku –min, -man, -o (-a), -ya, -di, -wan, -na (-no), dan –ji, (untuk laki-laki) dan –mi, -ni, -nah, ti, i, -yem, -jem, -kem, -ni, dan –tun (untuk perempuan) sebagai suku akhir dari nama. Sedangkan nama itu sendiri sering hanya diambil dari hari atau pasaran kelahiran, harapan yang terinspirasi dari situasi dan kondisi keluarga pada saat kelahiran, musim, keadaan alam sekitar, dan juga berdasarkan urutan kelahiran. Motivasi atau dorongan yang timbul dalam diri secara sadar atau tidak sadar dalam penamaan seperti ini adalah semangat kesederhanaan. Pada sudut pandang strategic view pemberian nama-nama seperti itu dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran ramah lingkungan, feeling atau kesadaran yang dirasakan pada saat keputusan pemberian nama berlangsung, menjadi sumber inspirasi utama pemberian nama, pentingnya memori dalam proses pemberian nama, serta kekuatan bawah sadar yang cukup men
Daftar Pustaka

Crystal, David 1987. The Cambridge Encyclapedia of Language. Britis Cambridge University Press.
D. Edi Subroto. 1996. Semantik Leksikal I. Surakarta: UNS Press.
D. Edi Subroto, dkk. 1991. Tata Bahasa deskriptif Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Hymes, Dell (ed). 1974. Language in Culture and Society, A Reader in Linguistics and Anthrophology. New York: Harper & Row Publishing Inc.
Ki Hadiwidjana. 1968. Nama-nama Indonesia. Yogyakarta. UP Spring.
Mahci, Suhadi. 1991. Masalah Nama dan Artinya bagi Orang Jawa dalam Majalah Kebudayaan No. 01 Th I 1991/1992. Jakarta Depdikbud RI.
Maryono, Dwiraharjo. dkk. 1995. Ragam Literer dalam Bahasa Jawa. (Laporan Penelitian)
Padmosoekotjo. 1987. Paramasastra Jawa (cap-capan II) Surabaya: PT. Citra Jaya Mukti
Rajiman, 1986. Sejarah Surakarta Tinjauan Sejarah politik dan Sosial. Surakarta: Krida.
Sudaryanto dan Alex Hero Rambadeta. 2000. Proceding Konperensi: Antar Hubungan Bahasa dan Budaya Di Kawasan Non Austronesia. Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik UGM.
Sudaryanto, 1992. Metode Linguistik, Ke Arah Memahami Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana Press.
Suranto, dkk. 1983. Studi Tentang Nama-nama Jawa. (Laporan Penelitian) FS-UNS
Van Valin Jr. and Randy La Polla. 1999. Syntax: Structure, Funcyion, and Meaning. Cambridge: Cambridge University Press.
Winter, CF dan R.Ng. Ronggowarsito, 1986. Kamus Kawi-Jawa (cet. 6) Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
WJS, Poerwodarminto. 1936. Baoesastro Djawa. Batavia: JB Wolter uit givers Maatscappij NV Groningen

SUBJEK DALAM KALIMAT AKTIF BAHASA JAWA

SUBJEK DALAM KALIMAT AKTIF BAHASA JAWA

Oleh:
Rahmad Setyo Jadmiko
10745044

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
2011
SUBJEK DALAM KALIMAT AKTIF BAHASA JAWA

Abstrak : subjek dalam kalimat aktif bahasa Jawa jika dilihat secara sekilas memang tidak ada penggolongan yang mecolok, akan tetapi jika kita melihat bagaimana struktur pembentuknya maka akan diketahui jenis-jenis subjek tersebut. Mengamati dari strukturnya maka tidak lepas dari kata benda yang sering sekali dijadikan subjek dalam kalimat aktif bahasa Jawa.
Kata kunci : subjek, predikat, aktif, kalimat aktif

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
 Subjek dalam bahasa sudah banyak dibicarakan dalam Paramasastra Jawa. Namun pembahasannya hanya sederhana, tidak dijelaskan secara jelas. Seperti dalam Paramasastra Jawa milik Padmosoekotjo (1987), Reringkesaning Paramasastra Jawa oleh Antunsuhono (1953), Sarining Paramasastra Jawa oleh Poerwadarminta (1953), Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa oleh Sasangka (2008) serta Tata Sastra milik Hadiwidjana (1967). Penjelasan tentang subjek yang ada dalam buku itu hanya dijelaskan contoh-contoh kalimat yang mengandung subjek, tanpa menjelaskan pembentukannya.
Para penulis buku Paramasastra seperti Antunsuhono, Hadiwidjana, Sastrasoepadma, dan Poerwadarminta mempunyai pernyataan yang sama tentang kedudukan subjek dalam kalimat. Menurut Antunsuhono (1953: 9), subjek itu bagian yang dijelaskan bagaimana aktivitasnya dalam kalimat. Poerwadarminta (1953: 14) mengatakan subjek itu sebagai pusat. Begitu pula Sastrasoepadma (1958: 23) menyatakan bahwa subjek itu pokok kalimat, atau bagian dari kalimat yang diceritakan. (Hadiwidjana, 1967: 42) Subjek itu pusat atau pokok kalimat. Sedangkan menurut Sasangka (2008: 168) subjek adalah bagian baku dari sebuah kalimat. Dari pendapat mereka, bisa diambil kesimpulan bahwa yang menjadi bakunya kalimat ialah subjek, setelah itu baru predikat menjadi penjelasan dari subjek, atau yang menerangkan subjek.
Seperti contoh kalimat bahasa Jawa yang diambil dari Paramasastra-paramasastra di atas:
(1) a. Paidi nguber tikus.
b. Paidi iku ngapa?
c. Sapa sing nguber tikus?
(2) a. Kucing nguber tikus.
b. Kucing iku ngapa?
c. Apa sing nguber tikus?
Antara kalimat (1a) dan kalimat (2a), subjeknya yaitu Paidi dan Kucing yang sama-sama kata benda dan melakukan kegiatan nguber, tetapi beda atara kegiatan subjek pada kalimat (1a) dengan kegiatan subjek kalimat (2a). Subjek pada kalimat (1a) yaitu Paidi, kegiatannya dikarenakan berpikir, jadi subjeknya insani. Sedangkan subjek pada kalimat (2a) yaitu kucing, kegiatannya karena naluri, jadi subjeknya non-insani.
Pada kalimat (1a) dan kalimat (2a) tidak dijelaskan predikatnya, karena kegiatan subjek yang menentukan subjek itu sendiri, buka predikat yang menentukan subjek, predikat hanya menggambarkan kegiatan subjek. Untuk menelaah penjelasan kalimat di atas, bisa diceri menggunakan kata pertanyaan. Untuk mengetahui predikat kedua kalimat itu bisa menggunakan kata tanya ngapa. Seperti dalam kalimat pertanyaan (1b) dan kalimat pertanyaan (2b), dari kalimat pertanyaan, keduanya mempunyai jawaban yang sama yaitu nguber tikus. Akan tetapi jika mencari subjek pada kalimat (1a) dan kalimat (2a) maka menggunkan kata tanya sapa atau apa. Seperti di kalimat pertanyaan (1c) dan (2c). Untuk mencari subjek manusia dan subjek bukan manusia, jelas berbeda.
Dari pernyataan-pernyataan di atas bisa diambil pengertian bahwa subjek lebih baku daripada predikat, karena biasanya subjek itu terbentuk dari kata benda yang sifatnya berdiri sendiri. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan tentang tentang pembentuk subjek dan jenis subjek pada kalimat aktif yang berasal dari kata benda. Menurut Subagyo (2008: 38) kata benda bisa dibedakan menjadi: (1) berwujud yang aktivitasnya karena nalar dan pikiran, (2) berwujud yang aktivitasnya karena naluri, (3) berwujud yang aktivitasnya karena keadaan, (4) berwujud tanpa aktivitas, dan (5) berwujud tanpa aktivitas akan tetapi bisa bergerak.
Dari pernyataan Subagyo (2008) dapat diambil kesimpulan secara umum, apa benar kata benda yang menjadi subjek kalimat seperti disebut di atas bisa menjadi subjek kalimat aktif yang mempunyai peran berbeda-beda.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penggunaan kata benda berwujud yang aktivitasnya disebabkan oleh nalar dan pikiran menjadi subjek di kalimat aktif?
2. Bagaimana penggunaan kata benda berwujud yang aktivitasnya disebabkan oleh naluri menjadi subjek di kalimat aktif?
3. Bagaimana penggunaan kata benda berwujud yang aktivitasnya disebakan oleh keadaan menjadi subjek di kalimat aktif?
4. Bagaimana penggunaan kata benda berwujud yang tidak beraktivitas menjadi subjek di kalimat aktif?
5. Bagaimana penggunaan kata benda berwujud tanpa aktivitas tapi bisa bergerak menjadi subjek di kalimat aktif?

1.3 Tujuan Maslah
1. Mendeskrisikan penggunaan kata benda berwujud yang aktivitasnya disebabkan oleh nalar dan pikiran menjadi subjek di kalimat aktif.
2. Mendeskrisikan penggunaan kata benda berwujud yang aktivitasnya disebabkan oleh naluri menjadi subjek di kalimat aktif.
3. Mendeskrisikan penggunaan kata benda berwujud yang aktivitasnya disebakan oleh keadaan menjadi subjek di kalimat aktif.
4. Mendeskrisikan penggunaan kata benda berwujud yang tidak beraktivitas menjadi subjek di kalimat aktif.
5. Mendeskrisikan penggunaan kata benda berwujud tanpa aktivitas tapi bisa bergerak menjadi subjek di kalimat aktif.





KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kalimat Aktif
 Menurut penggolongan berdasarkan diatesis, kalimat dibagi menjadi dua, yaitu kalimat aktif dan kalimat pasif. Sasangka (2008: 189) mengatakan bahawa kalimat aktif yaitu kalimat yang predikatnya berbentuk kata kerja aktif. Kata kerja yang menjadi predikat dalam kalimat aktif biasanya menggunakan awalan nasal (anusuwara dalam bahasa Jawa) m-, n-, ny-, ng-, dan akhiran –i, atau –ke. Subjek di kalimat aktif biasanya melakukan aktivitas atau penindak, sedangkan objek dalam kalimat aktif biasanya menjadi penyandang.
 Lalu Sudaryanto, dkk (1991: 13) menyatakan bahwa kalimat aktif yaitu kalimat yang predikatnya berupa kata kerja, biasanya diawali dengan awalan nasal (anusuwara) dan tidak memakai objek, kadang bukan objek tetatpi pelengkap. Seperti yang dikatakan Padmosoekotjo (1987: 147) jika dilihat dari tidak dan adanya objek, maka kalimat aktif dapat dibedakan menjadi dua, kalimat aktif berobjek dan kalimat aktif tanpa objek. Kalimat aktif berobjek, predikatnya bisa dijadikan untuk pasif, lalu objek dijadikan subjek.

2.2Kedudukan di Kalimat Aktif
2.2.1 Predikat
 Predikat yaitu semua kata atau klausa yang menjelaskan subjek dalam hal pekerjaan, tingkah laku, kegiatan, sifat, keadaan, atau yang lainnya. Dalam kalimat aktif predikat berasal dari kata kerja, sehingga predikatnya disebut predikat aktif. Predikat aktif itu menjelaskan subjek dalam melakukan pekerjaan, atau tingakah laku subjek (Subagyo, 2008: 34-36). Sasangka (2008: 173) menyebutkan bahwa prdikat itu bagian yang menjadi inti atau pusat dadi kalimat. Kalimat tanpa adanya predikat belum bisa disebut kalimat, akan tetapi disebut frasa.
 Tampubolon (1979: 6) dan Parera (1988: 128) sama-sama menyetujui bahwa penemuan dari Wallace Chafe, yaitu struktur kalimat terbangun dari kata atau frasa verba dan kata atau frasa benda. Lalu Kridalaksana (1984: 204) menjelaskan bahwa frasa kerja mempunyai pengaruh terhadap frasa benda di sekitarnya. Oleh karena itu, frasa kerja menjadi bakunya kalimat atau konstituen pusat.

2.2.2 Subjek
 Seperti yang sudah dibicarakan, bahwa subjek itu bagian kalimat yang dijelaskan, yang dibicarakan, yang diceritakan bagaimana keadaannya, dan tingkah lakunya. Subjek menunjukan kedudukannya di tata kalimat yang menjadi baku kalimat setelah predikat. Umumnya subjek itu berupa kata benda, atau frasa benda. Subjek itu berada di sebelah kiri predikat (Subagyo, 2008: 36-37).
 Sasangka menjelaskan (2008: 168) bahwa subjek yaitu bagian yang menjadi baku kalimat. Menurut struktur kalimat, subjek itu rata-rata berada di depan, namun ada juga yang berada di tengah-tengah atau akhir kalimat. Subjek biasanya berbentuk kata benda atau frasa benda.
 Dengan penjelasan di atas, bahwa subjek itu mempunyai sifat-sifat: (1) menjadi baku kalimat, (2) berdiri sendiri, (3) terjadi dari kata benda atau kata-kata yang sudah dibuat menjadi kata benda (Subagyo, 2008: 38). Di sini kata benda dianggap berwujud, lalu diperlukan tingkah laku dan kegiatan dari benda yang dianggap berwujud. Dengan begitu kata benda bisa dipilah menjadi:
1. berwujud yang kegiatannya karena nalar dan pikiran
2. berwujud yang kegiatannya karena naluri
3. berwujud yang kegiatanyya karena keadaan
4. berwujud tanpa keadaan
6. berwujud tanpa kegiatan akan tetapi bisa bergerak.
 Penjelasan mengenai kata benda juga dijelaskan oleh Gudai (1981: 61) kata benda bisa dipilah bedasarkan fitur semantik nomina menjadi:
1. bisa dihitung dan tidak bisa dihitung
2. mempunyai potensi dan tidak mempunyai potensi
3. animat
4. human
5. unik
6. laki dan perempuan
7. mayoritas-umum
8. jamak-dual.
Jika subjek kalimat itu terjadi dari benda berwujud yang tingkah lakunya atau kegiatannya kerana keadaan, maka perilakunya mesti berbeda dengan benda berwujud seperti manusia. Kalimat yang subjeknya berkegiatan karena keadaan disebut kalimat kejadian, karena dapat dirasakan disebabkan karena keadaan atau kejadian (Subagyo, 2008: 77). Lalu pembentuk kata benda dalam kalimat aktif bahasa Jawa menggunakan akhiran –ku, -mu, -e (Antunsuhono, 1953: 48)

2.2.3 Objek
 Objek adalah semua yang dilakukan oleh objek, sehingga objek itu harus dapat berdiri sendiri, seperti kata banda, kata pengganti, atau semua kata yang dijadikan kata benda (Subagyo, 2008: 39). Sasangka (2008: 176-177) menjelaskan bahwa objek itu bakal ada kalau kalimatnya berbentuk kalimat aktif. Objek itu bagian yang bergantung dengan predikat. Objek dalam kalimat akan ada bila predikatnya berupa kata kerja. Selain itu tidak akan ditemukan objek. Seperti yang sudah dijelaskan, objek itu adalah yang dituju atau yang dikenai pekerjaan.

2.4 Triaspek Sintaksis
 Wedhawati (2006: 46) menjelaskan bahwa kalimat bisa dianalisis berdasarkan jenis kata, kedudukan, dan pembangun kata dalam kalimat. Ketiga dasar itu disebut triaspek sintaksis (Sudaryanto, Ed dalam Adipitoyo, 2006: 6). Menurut Sasangka (2008: 168) bila membahas kalimat dengan subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan, sebenarnya hal itu membahas kedudukan kata atau funsi kata. Jika membahas kalimat dengan melihat siapa yang melakukan kegiatan dan siapa yang menjadi sasaran, itu berarti berdasarkan peran.







MODEL PENELITIAN

Tata cara yang digunakan untuk mengumpulkan data untuk analisa yaitu menggunakan metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1986: 62 dan 1988: 9). Metode simak yaitu menyimak semua bahasa yang digunakan oleh orang lain. Metode cakap yaitu wawancara antara peneliti dengan nara sumber.
 Bahasa yang diteliti yaitu bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa itu ada empat ragam, yaitu ragam fungsional, ragam sosial, ragam regional, serta raga, temporal. Berdasarkan fungsional, bahasa Jawa yang dianalisis yaitu bahasa baku (standart). Bahasa Jawa yang digunakan untuk analisa ini yaitu bahasa Jawa percakapan sehari-hari, yaitu ragam ngoko, berdasarkan wilayah yaitu bahasa Jawa dialek Mataraman, dan temporal untuk masa kini.
 Di dalam analisa ini akan disertai data kalimat dan dibawahnya akan diberi keterangan peran kata tersebut menggunakan huruf kapital, seperti di bawah ini:
J = jejer atau subjek
W = wasesa atau predikat
L = lesan atau objek
K = katrangan atau keterangan
P = pengganep atau pelengkap













PEMBAHASAN

4.1 Subjek Berwujud yang Aktivitasnya Dikarenakan Nalar dan Pikiran
 Subjek dalam kalimat aktif berwujud manusia atau kata benda yang pekerjaanya dikarenakan nalar dan pikiran, yang predikatnya ditambah awalan nasal (N) tanpa mendapat akhiran. Seperti contoh dibawah ini
1. Paidi nguber tikus karo nesu.
  J W L K
2. Pulisi nyekel maling.
  J W L
3. Sakur njiwit Wiwik amarga gemes.
  J W L K
4. Sinta ngombe jamu amarga lara.
  J W L K
5. Ibu nandur pari.
  J W L
6. Siti nata sandhangan.
  J W L
7. Kardi mbuntu kalen nganggo watu.
  J W L K
Kalimat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7) dinamakan kalimat aktif berobjek yang predikatnya sifat aktif, karena mendapat nasal (N). Kata Paidi, Pulisi, Sakur, Sinta, Ibu, Siti, dan Kardi yang menjadi subjek kalimat berupa kata benda yang berwujud yang kegiataanya dikarenakan nalar atau pikiran. Kata karo nesu sebagai sarana, kata amarga gemes dan amarga lara sebagai keterangan penyebab, dan kata nganggo watu sebagai keterangan alat, semuanya menjadikan lebih jelas.
Selain kalimat aktif berpredikat dengan awalan nasal (N), juga ada kalimat aktif yang predikatnya mendapat akhiran (-i). Seperti contoh di bawah ini:
8. Pak Edi ndandani lawang amrih bener.
  J W L K
9. Simbok makani pitik.
  J W L
10. Martini ngresiki meja nganggo kemoceng.
  J W L K
11. Mario mageri karangan.
  J W L
12. Ita naleni rambute nganggo pita.
  J W L K
13. Simin medhoti tali.
  J W L
 Kalimat (8), (9), (10), (11), (12), dan (13) dinamakan kalimat aktif yang berwalan (N) berakhiran (-i), karena kata ndandani, makani, ngresiki, mageri, naleni, dan medhoti yang menjadi predikat kalimat. Kata-kata tersebut bersifat melakukan pekerjaan. Kata Pak Edi, Simbok, Martini, Mario, Ita, dan Simin termasuk kata benda yang kegiatannya dikarenakan nalar dan berpikir.
 Predikat kalimat yang mendapatkan awalan nasal dan akhiran –ke, mempunyai sifat aktif. Seperti contoh di bawah ini:
14. Bapak nguncalake watu.
  J W L
15. Karto ngubetake udheng ing sirah.
  J W L K
 Perdikatnya berbentuk aktif berakhiran –ke yang mempunyai sifat melakukan kegiatan atau pekerjaan. Kata Bapak dan Karto yang menjadi subjek termasuk kata benda yang kegiatannya dikarenakan nalar dan pikiran. Objek pada kalimat itu yaitu watu dan udheg sebagai yang kena pekerjaan. Dan kata ing sirah merupakan keterangan tempat.

4.2 Subjek Berwujud yang Aktivitasnya Dikarenakan Naluri
 Kata kerja berwujud yang aktivitasnya atau kegiatannya dikarenakan naluri biasanya mencerminkan hewan. Kalimat aktif di sini predikatnya kerja aktif, dan subjeknya melakukan aktivitas karena naluri. Seperti contoh di bawah ini.
16. Kucing nguber tikus.
  J W L
17. Jaran nyepak Paijo.
  J W L
18. Ula mangan kodhok.
  J W L
19. Cemeng ngombe susu.
  J W L
20. Walang ngrusak tanduran pari.
  J W L
21. Lamuk nyecep getihku.
  J W L
22. Laler ngrubung bangke.
  J W L
 Contoh di atas merupakan kalimat aktif yang predikatnya terbentuk dari kata dasar dan awalan nasal. Serta bersifat aktif, beraktivitas, dan melakukan kegiatan. Kata benda yang berwujud yang aktivitasnya didasari oleh naluri yaitu pada kata kucing, jaran, ula, cemeng, walang, lamuk, dan laler. Kata-kata tersebut berperan sebagai subjek dalam kalimat aktif.
 Selain kalimat aktif yang predikatnya aktif yang mendapat awalan nasal, ada juga yang predikatnya diimbuhi akhiran –i dan juga yang diimbuhi akhiran -ke. Seperti contoh di bawah ini:
23. Asu ndilati sikilku.
  J W L
24. Tawon nyecepi sarining kembang.
  J W L
25. Kupu mencloki kembang.
  J W L
26. Semut ngebaki kamarku.
  J W L
27. Pitik nyucuki borokku.
  J W L
28. Laron ngubengi lampu.
  J W L
29. Kucing mecahake piring.
  J W L
30. Pitik numplegake sega.
  J W L
 Kalimat (23), (24), (25), (26), (27), dan (28) termasuk kalimat aktif berlesan yang predikatnya aktif berakhiran (-i). Kata benda berwujud yang aktivitasnya didasari oleh naluri, seperti kata asu, tawon, kupu, semut, pitik, dan laron. Kata-kata tersebut merupakan subjek dari kalimat aktif. Sedangkan kata sikilku, sarining kembang, kembang, kamarku, borokku, dan lampu menjadi objek yang dikenai aktivitas.
 Predikat kalimat berbentuk aktif berakhiran –ke yang mempunyai sifat aktif, melakukan kegiatan, atau tingkah laku. Karena kata mecahake dan numplegake yang menjadi kalimat mendapat awalan nasal dan akhiran –ke. Kata kucing dan pitik menjadi subjek kalimat yang termasuk kata benda yang berwujud akan tetapi melakukan aktivitasnya didasari dengan naluri. Kata piring dan sega berperan sebagai objek yang dikenai pekerjaan.

4.3 Subjek Berwujud yang Aktivitasnya Dikarenakan Keadaan
 Subjek berbentuk kata benda yang gerakannya dikarenakan keadaan akan dipaparkan, di sini subjek bukanlah penindak. Meskipun predikatnya aktif dan mengandung unsur gerakan. Seperti contoh di bawah ini:
31. Oyote ngisep banyu.
  J W L
32. Alang-alang ngrusak tanduran liya.
  J W L
33. Udane ngaco acara.
  J W L
 Kata oyote, alang-alang, dan udane kedudukannya menjadi subjek dan termasuk kata benda yang gerakannya didasari oleh keadaan. Sedangkan predikatnya mempunyai kesan aktif atau pekerjaan, dan berupa kata kerja berawalan nasal.
 Dan juga terjadi pada predikat yang berawalan nasal dan akhiran –i, atau –ke. Di sini subjek juga bukan merupakan penindak. Meskipun predikat berawalan nasal yang menggambarkan aktif atau gerakan dari subjek. Seperti contoh-contoh di bawah ini:
34. Eceng gondhok ngebaki Kali Mas.
  J W L
35. Wit jambu ngrontoki latar.
  J W L
36. Wit asem ngrubuhi gapura.
  J W L
37. Wit wringin ngayomi codhot.
  J W L
38. Kembang matahari ngetutake srengenge.
  J W L
 Kata ngebaki, ngrontoki, ngrubuhi, ngayomi, dan ngetutake sebagai predikat aktif dan juga mempunyai gambaran aktif, bergerak, atau gerakan. Kata benda yang menjadi subjek yaitu enceng gondhok, wit jambu, wit asem, wit wringin, dan kembang matahari bergerak dengan didasari karena keadaan. Sedangkan semua objeknya dikenai pekerjaan.

4.4 Subjek Berwujud yang Tidak Bisa Bergerak
 Kata benda yang berwujud akan tetapi tidak bisa bergerak sudah dipastikan semua benda mati atau tidak bernyawa. Jika kata itu berposisi di subjek maka kata itu bukan sebagai penindak, meskipun bersifat melakukan kegiatan, gerakan, atau pun aktivitas. Di sini juga tergambarkan keadaan yang terjadi pada objek. Seperti contoh di bawah ini:
39. Lampune nyentrong mripat.
  J W L
40. Petelote nyubles tangan.
  J W L
41. Lawange nyepit drijiku.
  J W L
42. Taline nekek gulu.
  J W L
43. Latune ngobong sarungku.
  J W L
44. Kabele nyetrum tanganku.
  J W L
 Predikat kalimatnya antara lain, nyentrong, nyubles, nyepit, nekek, ngobong, dan nyetrum sebagai penjelas yang berbentuk aktif. Predikatnya mempunyai kesan aktif atau pekerjaan, dan berupa kata kerja berawalan nasal. Begitu juga yang terjadi pada predikat yang berawalan nasal dan berakhiran –i atau –ke. Seperti contoh di bawah ini:
45. Bleduge ngregedi jogan.
  J W L
46. Watu nibani sikilku.
  J W L
47. Awu gunung ngebaki kampung.
  J W L
48. Lemarine nindhihi awake Candra.
  J W L
49. Sleyere nutupi mripatku.
  J W L
50. Jamu beras kencur nyegerake awakku.
  J W L
51. Sampone ngrontogake rambutku.
  J W L

4.5 Subjek Berwujud Tanpa Aktivitas tetapi Dianggap Bisa Bergerak
 Semua benda yang berwujud tanpa aktivitas atau bergerak sudah dijelaskan di atas bahwa tidak memiliki nyawa. Akan tetapi dalam paparan ini akan diperluas kata benda itu seperti manusia atau semua yang bisa dianggap memiliki nyawa. Sebab dianggapnya kata benda itu bisa bergerak dikarenakan ada yang menggerakannya. Dan dalam kalimat aktif jika kata tersebut menjadi subjek bisa dikatakan sebagai penindak. Seperti contoh di bawah ini:
52. Montor nabrak wit asem.
  J W L
53. Bis Sumber Kencana nyrempet becak.
  J W L
54. Becake nyenggol wong bakulan.
  J W L
 Predikat kalimat yaitu nabrak, nyrempet, dan nyenggol, berupa aktif dan nmemiliki sifat pekerjaan, aktivitas, atau gerakan. Predikat di sini juga menjelaskan tentang pekerjaan. Sementara subjek yang dianggap tidak bernyawa dianggap bisa bergerak dengan cara digerakkan. Sedangakan kata wit asem, becak, dan wong bakulan sebagai objek yang dikenai sasaran.
 Predikat kalimat aktif yang mendapat awalan nasal dan akhiran –i atau –ke juga memili kaidah yang sama dengan predikat kalimat aktif yang hanya berimbuhan awalan nasal. Seperti contoh-contoh di bawa ini:
55. Pesawat ngebomi omahe warga.
  J W L
56. Dhesel nyedhoti banyu sawise udan.
  J W L K
57. Traktor ngurasi endhut ing Porong.
  J W L K
58. Keluk nutupi gunung.
  J W L
80. Banjir ngrusakake dalan.
  J W L
59. Bledhege nggosongake wit.
  J W L
 Subjek kalimat-kalimat di atas seperti melakukan pekerjaan selayaknya manusia, yaitu kata pesawat, dhesel, keluk, traktor, dan keluk. Berbeda dengan subjek yang beraktivitas karena keadaan, objek di sini dikenai sasaran, bukan keadaan. Sementara itu predikat tetap mencerminkan kata kerja aktif yang menjelaskan subjek.



























SIMPULAN

 Kalimat aktif yaitu kalimat yang predikatnya berupa kata kerja aktif yang mencerminkan penindaknya aktif. Subjek itu bagian kalimat yang dijelaskan, dibicarakan, dan yang diceritakan keadaann, dan aktivitasnya. Subjek itu berada di sebelah kiri predikat.
Kata benda yang menjadi subjek kalimat aktif terbentuk karena (1) berwujud yang aktivitasnya karena nalar dan pikiran, (2) berwujud yang aktivitasnya karena naluri, (3) berwujud yang aktivitasnya karena keadaan, (4) berwujud tanpa aktivitas, dan (5) berwujud tanpa aktivitas akan tetapi bisa bergerak, kecuali Tuhan, malaikat, dsb.
Peran atau kedudukan subjek dan predikat pada kalimat sama-sama baku. Dalam arti lain suatu kalimat setidaknya harus mempunyai subjek dan predikat, keduanya juga saling berhubungan antaranya saling menjelaskan dan dijelaskan.



















DAFTAR PUSTAKA

Adipitoyo, Sugeng. 2000. Valensi Sintatksis dalam Bahasa Jawa. Surabaya: University Press, IKIP Surabaya
Antunsuhono. 1953. Reringkesaning Paramasastra Djawa (Bagian II, cetakan kedua). Djokdja: Hien Hoo Sing
Gudai, Darmansyah. 1989. Semantik Beberapa Topik Utama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta
Hadiwidjana. 1967. Tata-Sastra. Jogja: U.P Indonesia
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik (Edisi Kedua).
Jakarta: Gramedia
Padmosoekotjo, S. 1987. Paramasastra Jawa. Surabaya: PT. Citra Jaya Murti
Parera, Jos Daniel. 1991. Sintaksis (Edisi Kedua).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Poerwadarminta. 1953. Sarining Paramasastra Djawa.
Jakarta: Noordhoff. Kolff. V
 Sasangka, Sri Satriya. 2008. Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua
Sastrasoepadma, S. 1958. Paramasastra Djawi. Jogjakarta: Soejadi
Subagyo, Rahmad. 2008. Titi Kalimat. Surabaya: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah FBS UNESA
Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik, Bagian Kedua: Metode dan Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gajahmada University Press
Sudaryanto, Ed. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa.
Yogyakarta: Duta Wacana
 Sudaryanto,dkk. 1991. Diatesis dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta
Tampubolon, DP. 1979. Tipe-Tipe Semantik Kata Kerja Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Wedhawati. 2006. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa mutakhir.
Yogyakarta: Kanisius.
ANALISIS SEMANTIK KOGNITIF
 PADA PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TAHUN 2010

Nia Budiana
10745052
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

ABSTRAK
Metafora, dalam semantik kognitif, merupakan proses kognitif dari konseptualisasi yang bergantung pada pemetaan antara dua bidang, atau tiga bidang. Metafora dapat didefinisikan sebagai penggunaan kata atau frasa untuk makna yang berbeda dari makna literalnya. Prinsip kognitif mengacu pada teori linguistik tradisional tentang hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran. Bahasa adalah produk pikiran manusia yang berdasarkan pada pengalaman hidupnya dan terkonseptualisasi melalui metafora. Umumnya, metafora selalu identik dengan bahasa kiasan atau stilistika. Metafora tidak pernah diposisikan sebagai suatu konsep berpikir manusia. Padahal sebenarnya, metafora dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dalam pidato kenegeraan, presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan beberapa metafora sebagai sarana untuk mengkonkretkan makna agar lebih dipahami oleh masyarakat. Metafora yang diciptakan mampu melembutkan kesan ambisius dan keinginan untuk melaksanakan hegemoni di lingkup internasional.
Keyword: Pidato Kenegaraan, semantik kognitif, metafora
A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
            Sudah menjadi ‘tradisi’ tahunan bahwa presiden sebagai pengemban amanat tertinggi dalam struktur pemerintahan memberikan pidato kenegaraan menjelang ulang tahun kemerdekaan negeri ini dihadapan para wakil rakyat. Tepatnya tanggal 16 Agustus 2010, Susilo Bambang Yudhoyono selaku presiden Indonesia telah memberikan paparan pidato progress report kepemimpinannya selama setahun. sudah enam kali Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih akrab disebut SBY, menjalani aktivitas semacam ini selama masa kepemimpinannya sejak pertama kali terpilih menjadi presiden RI pada tahun 2004 hingga sekarang.
            Dalam pidato kenegaraan tahun 2010, SBY mengungkap keberhasilan dan pemujian diri khususnya dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Banyak metafora yang digunakan dalam menyampaikan pernyataan dan gagasan kepada publik. Berpijak pada sikap Aristoteles dalam memandang metafora sebagai bentuk bahasa dekoratif yang bukan bahasa biasa, metafora didefinisikan sebagai alat retoris yang digunakan pada saat tertentu dan untuk menghasilkan efek tertentu. Dengan demikian, pandangan ini menganggap metafora sebagai bentuk bahasa tidak normal yang menuntut sebentuk interpretasi dari pendengar atau pembacanya (Saeed 1997: 303); Pidato kenegaraan yang identik dengan makna denotasi ternyata juga banyak mengandung metafora dalam bagian-bagiannya yang berperan dalam membangun makna publik. Menurut romantic view metafora menyatu dalam bahasa dan pikiran secara integral sebagai cara mempersepsi dunia. Inilah yang dibidik oleh presiden SBY dalam mempersepsi masyarakat Indonesia melalui metafora dalam pidatonya. Pidato ritual kenegaraan menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ini, disaksikan  baik dari kalangan wakil rakyat, pelaku usaha, atau rakyat sendiri. Sehingga metafora yang digunakan oleh presiden memberikan pemahaman yang besar terhadap masyarakat.
            Pandangan semantik kognitif terhadap metafora serupa dengan pandangan romantic view, bahwa metafora menyatu dalam bahasa sehari-hari, sehingga pembedaan antara yang literal dan yang figuratif tidaklah relevan. Namun, mereka juga menolak pandangan romantik bahwa seluruh bahasa merupakan metafora. Penganut semantik kognitif percaya bahwa metafora merupakan bentuk yang sangat penting dalam memahami dan membicarakan dunia, namun mereka juga menerima kehadiran konsep lain yang bukan metafora (Saeed 1997: 304). Mereka juga menolak pandangan Searle tentang metafora yang membedakan makna literal dan makna pembicara. Bagi mereka, kebanyakan makna bersifat metaforis dan kita tidak dapat memahaminya hanya dengan melakukan reinterpretasi, namun dengan cara berhubungan langsung dengan cara koseptualisasinya (Jaszczolt 2002: 350).
            Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97). Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik fungsional yang menawarkan prinsip yang sangat berbeda dari linguistik formal dalam memandang bahasa. Secara eksternal, linguis fungsional berpendapat bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan dalam prinsip kognitif yang sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat bahwa penjelasan linguistik harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis (Saeed 1997: 300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya dianalisis melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997: 300).
            Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa kita tidak memiliki akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan pengalaman mereka berkembang dan bertingkah laku (Saeed 1997: 300). Dengan kata lain, makna merupakan struktur konseptual yang dikonvensionalisasi (Saeed 1997: 300) dan bahasa merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme yang terdapat dalam otak (Jaszczolt 2002: 345). Proses konseptualisasi ini, menurut penganut semantik kognitif, sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara manusia memahami dan membicarakan dunia. Selain itu, dalam semantik kognitif juga ditelaah proses konseptual pembicara, meliputi viewpoint shifting, figure-ground shifting, dan profiling (Saeed 1997: 302).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tergerak untuk melakukan penelitian tentang analisis semantik kognitif pada Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Tahun 2010

2.      Rumusan Masalah
Bagaimana bentuk dan makna metafora dalam pidato kenegaraan presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010?

3.      Tujuan Penelitian
Untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk dan makna metafora dalam pidato kenegaraan presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010?

B.     KAJIAN PUSTAKA
1.      Metafora
Metafora berasal dari bahasa Yunani “metaphora” yang berarti “memindahkan”, dari kata ‘meta’ artinya “di atas atau melebihi” dan ‘phrein’ artinya “membawa”. Sehingga, metafora didefinisikan sebagai satu set proses linguistik dimana setengah karakteristik suatu obyek “diangkat ke atas” atau “dipindahkan kepada obyek yang lain”. Sehingga, obyek yang kedua dituturkan atau diaplikasikan seolah-olah berada pada kedudukan obyek yang pertama.
Menurut stilistika, metafora didefinisikan sebagai analog yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat seperti pada ungkapan berikut ini bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata dan sebagainya. Perbandingan metafora ini secara langsung tanpa menggunakan kata-kata seperti, bak, bagai, bagaikan dan sebagainya. Sehingga, pokok pertama (obyek pertama) langsung dihubungkan dengan pokok kedua (obyek kedua). Berikut ini adalah contoh penggunaan metafora sebagai stilistika (Keraf, 2001:139)
1.      Pemuda adalah bunga bangsa.
2.      Orang itu adalah buaya darat.
3.      Dia adalah anak emas pamanku.
Menurut Lakoff dan Johnson dalam Metaphors We Live By (1988:3), umumnya metafora dilihat sebagai alat untuk menggambarkan imajinasi puitis aspek retorikal dan bahasa yang luar biasa. Selain itu, metafora juga dilihat sebagai suatu perkataan saja, bukan sebagai alat pemikiran atau perbuatan manusia. Padahal kenyataannya, ada banyak konsep dasar yang ada dalam sistem pengetahuan manusia yang dipahami sebagai konsep metafora seperti waktu, jumlah, keadaan, perubahan, gerakan, akibat, tujuan, alat, kemampuan dan kategorisasi. Semua konsep ini menyatu dalam tata bahasa dan menjadi suatu metafora yang alami.
2.      Metafora Dalam Semantik Kognitif
Metafora, dalam semantik kognitif, merupakan proses kognitif dari konseptualisasi yang bergantung pada pemetaan antara dua bidang, atau tiga menurut Lakoff (Cruse 2004: 201), yaitu source domain (tenor), biasanya konkret dan familiar; target domain (vehicle), lebih abstrak (Jaszczolt 2002: 354 dan Saeed 1997: 303); dan set of mapping relation atau korespondensi. Korespondensi yang terdapat dalam metafora ini, menurut Lakoff, terdiri dari dua macam, yaitu korespondensi ontologis dan korespondensi epistemis. Korespondensi ontologis mengacu pada sifat dasar dari dua entitas yang dihubungkan tersebut, sedangkan korespondensi epistemis mengacu pada pengetahuan kita yang menghubungkan kedua entitas tersebut.
Terkait dengan metafora dalam linguistik kognitif, Lakoff dan Johnson mengemukakan tentang Hipotesis Invariance, yang akhirnya diganti menjadi The Invariance Principle (Lakoff, 1992:5) yaitu :
Metaphoricals mappings preserve the cognitive topology (that is, the image schema structure)of the source domain, in a way consistent with the inherent structure of the target domain.”
The Invariance Principle adalah suatu hipotesis yang menyatakan metafora hanya dapat dipahami jika berasal dari daerah sumber yang selaras dengan konteksnya. Ini terkait dengan struktur dasar pada berbagai pemahaman, yang kemudian disebut sebagai Invariance.
Selain itu, Lakoff dan Johnson juga mengemukakan tentang konsekuensi abstrak dalam menggunakan The Invariance Principle (Lakoff, 1992:5) sebagai berikut  :
Abstact reasoning is a special case of imaged based reasoning. Imaged based reasoning is fundamental and abstract reasoning is image-based reasoning under metaphorical projections to abstract domain.”
“Alasan abstrak adalah alasan yang dibuat berdasarkan pencitraan khusus. Alasan pencitraan adalah dasar dan alasan abstrak adalah alasan yang dibuat berdasarkan pencitraan dibawah proyeksi metafora menuju ke wilayah abstrak.”
Selain itu, ada tiga pemetaan pada struktur skema metafora (Lakoff, 1992:10) yaitu :
1.   Tempat  (containers)
2.   Jalan  (path)
3.   Pencitraan yang di citrakan  (force-Image)      
Berdasarkan struktur skema pemetaan metafora yang dibagi dalam beberapa konsep seperti waktu (time), keadaan (state), perubahan (change), gerakan (action), penyebab (causation), tujuan (purpose)  dan alat (means), berikut ini adalah contoh metafora dalam kajian semantik kognitif :
a.       Konsep waktu (time), yang dijelaskan pada metafora berikut ini :
·         Time passing is a motion of an object. (Perubahan waktu adalah objek yang bergerak), yang diekspresikan dalam contoh kalimat di bawah in:
-       Christmast is coming.
(Natal akan datang)
-       The time has passed.
(Waktu berlalu)
·         Time passing is motion over a landscape.
(Perubahan waktu adalah gerakan diatas pemandangan), yang diekspresikan dalam contoh kalimat di bawah ini :
-          We’re coming up on Christmast.
(Kita akan bertemu dengan Natal)
-          He passed the time.
(Dia melewatkan waktu)
Analisis :
Pada contoh kalimat (a) dan (c), keduanya hanya bersifat sementara, contoh kalimat (a) lebih memfokuskan pada waktu yang bergerak dan contoh kalimat (c) lebih memfokuskan pada subjek atau pengamat. Begitu halnya, dengan contoh kalimat (b) dan kalimat (d), pemetaan yang rinci membuat perbedaan diantara keduanya.
·         Secara ontologi, waktu dipahami sebagai sesuatu yang menyatu dengan tempat dan gerak. Secara kondisi waktu terjadinya, adalah waktu sekarang yang bersamaan dengan lokasi pengamat.
·         Pemetaan (mapping) :
-       Waktu adalah sesuatu.
-       Perubahan waktu adalah gerak.
-       Waktu yang akan datang adalah di depan pengamat, begitu sebaliknya.
-       Sesuatu bergerak, sementara yang lainnya sebagai alat.
·         Pengekoran (entailment) :
-          Sejak gerakan berlangsung terus-menerus dalam satu dimensi, maka alur waktu juga berlangsung terus-menerus dalam satu dimensi.
-          Maka, waktu dipahami sebagai metafora yang mengandung konsep gerakan, kesatuan dan lokasi sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman manusia.
b.      Konsep tujuan (purpose), yang dijelaskan pada metafora berikut ini :
·      A purposeful life is a journey
     (Tujuan hidup adalah perjuangan), yang diekspresikan dalam contoh kalimat di bawah ini :
-       He got a head start in life. He’s without direction in his life.
(Dia mendapatkan kesempatan memulai hidupnya. Dia tanpa arah dalam hidupnya)
-       I’m where I want to be in life.
(Aku berada dimana aku ingin)
-       I’m at a crossroads in my life.
           (Aku ada di persimpangan jalan)
·           Analisis :
§  Pemetaan (mapping) :
-     Hidup adalah perjuangan.
-       Pelancong (Traveler) adalah  orang yang menjalani hidup.
-       Hidup sebagai alat untuk mencapai tujuan.
§      Target wilayah (Target domain) :
-  Target wilayah (target domain) :    Hidup (life)
-  Sumber wilayah (source domain) :    Ruang (space)
-  Kejadian (events):  Waktu.           
-  Tujuan (purposes) : Tujuan hidup.  
·           Maka, hidup dipahami sebagai metafora yang mengandung konsep tujuan yang diharapkan manusia. Tujuan hidup adalah pencapaiannya dalam jangka waktu lama, tujuan dari kegiatan dan perjalanan itu sendiri
Dalam aliran linguistik kognitif, menafsirkan suatu kalimat dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Salah satunya adalah makna suatu kata (dalam suatu bahasa) bukan hanya ditentukan oleh obyek yang menjadi referensinya, melainkan pemahaman penutur (pengguna bahasa tersebut) terhadap obyek sangat penting. Oleh karena itu, dalam fenomena bahasa diperlukan penghayatan dan pemahaman tentang konsep figur dan latar.
Pemaknaan merupakan proses akhir dalam suatu komunikasi (aktivitas berbahasa) atau perujukan benda nyata dengan tujuan untuk mendapatkan informasi makna yang jelas dan benar pada suatu tanda bahasa atau benda. Kejelasan dan kebenaran menangkap informasi makna sangat diperlukan agar di antara partisipan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan etika dan kaidah berbahasa. Selain itu kejelasan dan kebenaran menangkap informasi makna tanda bahasa merupakan tugas antar partisipan dalam komunikasi, agar kelangsungan komunikasi tetap terjaga. Karena kasalahan menangkap informasi akan dapat menimbulkan kesalah pahaman dan merusak kelangsungan proses komunikasi.

C.    METODE PENELITIAN
              Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006:4) menerangkan bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena data yang diperoleh adalah berupa data deskriptif dan memberikan gambaran atau lukisan secara sistemati, factual, dan akurat mengenai metafora dalam semantik kognitif pada pidato kenegaraan presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010. Selain itu, penulis menggunakan metode studi kepustakaan yaitu kegiatan mencari sumber data dengan cara mempelajari masalah secara teoritis dari berbagai literatur yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber.
              Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah perekaman dan pencatatan. Peneliti merekam data awal pidato kenegaraan dan kemudian mencatat data dalam bentuk tulisan. Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui beberapa tahap antara lain:
1.   Teknik reduksi data atau pemilahan data.
Pada mulanya diidentifikasikan menjadi satuan bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian.
2.   Teknik kategorisasi data.
Setelah itu, data yang telah dikumpulkan dan disusun dalam kategorisasi yaitu memilah–milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.
3.   Teknik interpretasi.
Selanjutnya, data yang sudah diberikan koding akan diinterpretasi oleh peneliti sesuai dengan hipotesis yang sudah ditemukan.

D.    HASIL  DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis dari penelitian ini adalah kata-kata yang mengandung metafora seperti berikut ini:
1)      Dan kita menjadi pelopor dalam tatanan dunia baru, yang dibangun di atas reruntuhan Perang Dunia II.
2)      Pernyataan kemerdekaan yang kita umumkan kepada dunia, ikut menyalakan api perlawanan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika kepada penjajahan, dan menghasilkan arus dekolonisasi yang mengubah peta politik dunia.
3)      Semua itu masih tetap penting dan relevan, dan merupakan bagian dari agenda besar kita.
4)      Apakah Indonesia akan menjadi bangsa yang unggul di Asia, atau menjadi sebuah negeri dengan demokrasi yang rapuh?
5)      setelah tiga peralihan generasi, dan setelah mengalami berbagai gejolak dan pasang surut, bangsa Indonesia memasuki Abad ke-21 dalam kondisi yang lebih kokoh.
6)      Hasilnya, peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental.

Pembahasan dari hasil analisis kata-kata yang mengandung metafora dalam pidato kenegaraan presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010 adalah seperti berikut ini:
  1. Dan kita menjadi pelopor dalam tatanan dunia baru, yang dibangun di atas reruntuhan Perang Dunia II.
v Metafora: Perubahan (change), yang diekspresikan melalui kata “pelopor”.
v Pemetaan (mapping) :
a.       Perubahan adalah gerakan. (changes are movements)
§  Target wilayah (target domain)           :  Perubahan (change)
§   Sumber wilayah (source domain)      :  Ruang (space)
§  Kejadian (events)                                : Waktu 
b.      Akibat adalah tekanan. (causes is forces)
§  Kegiatan yang dilakukan dengan dorongan kuat maka akan menghasilkan gerakan yang kuat.
v Pengekoran (entailment) :
§   Perubahan terkait dengan keadaan saat ini, akan datang ketika memulai atau meninggalkan suatu keadaan.
§   Maka, perubahan bisa dipahami sebagai konsep gerakan yang menyebabkan akibat. Ini didasari oleh pengalaman dan pengetahuan manusia dalam melihat perubahan dari keadaan yang sebelumnya dan sesudahnya.
v Kata “dibangun” dalam konsep pemikiran yaitu ide atau pikiran yang merujuk sebagai sesuatu yang memulai. (penanda atau simbol). Sementara, acuan atau referen adalah realisasi atau perwujudan dari kata “pelopor”. Namun, konsep yang dimaknai pada penanda berbeda dengan konteks kalimat yang menyebutkan “di atas reruntuhan Perang Dunia II.”. Fenomena yang terjadi adanya perubahan (change) dari konsep kata “pelopor” yang sebenarnya menjadi konsep kata “dibangun”. Dalam semantik kognitif, pengarang berusaha untuk menggunakan konsep dasar metafora yaitu berubah (change) untuk lebih memaknainya digunakan dua kata yang kontras, yaitu “dibangun” dan “reruntuhan”. Perubahan ini di dorong oleh suatu akibat yang berada di luar segitiga makna dan terikat oleh ruang dan waktu.
  1. Pernyataan kemerdekaan yang kita umumkan kepada dunia, ikut menyalakan api perlawanan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika kepada penjajahan, dan menghasilkan arus dekolonisasi yang mengubah peta politik dunia.
v Metafora: gerakan (action), yang diekspresikan dengan “menyalakan api perlawanan”
v Pemetaan:
a.       Gerakan adalah sesuatu yang dimulai untuk perubahan
b.      Kemerdekaan adalah penyebab dari perlawanan
Target wilayah (Target domain) :
-       Target wilayah (target domain)            :  peta politik dunia
-       Sumber wilayah (source domain)         :  Ruang (space)
-       Kejadian (events)                                  :  Waktu.           
-       Tujuan (purposes)                                 : Kemerdekaan
v Pengekoran
Kata kemerdekaan menjadi penyebab munculnya perlawanan dari bangsa-bangsa di Asia dan Afrika kepada penjajahan.
Kemerdekaan dapat menghasilkan arus dekolonialisasi yang mengubah peta politik dunia.
v Kata “kemerdekaan” dalam konsep pemikiran suatu keadaan yang bebas dari penjajahan dari pihak manapun, (penanda atau simbol). Sementara, acuan atau referen adalah realisasi atau perwujudan dari kata “kemerdekaan”. Namun, konsep yang dimaknai pada penanda berbeda dengan konteks kalimat yang menyebutkan “menyalakan api perlawanan.”. Fenomena yang terjadi adanya gerakan perlawanan dari kata “menyalakan api perlawanan” yang diakibatkan oleh kata”kemerdekaan”. Dalam semantik kognitif, pengarang berusaha untuk menggunakan konsep dasar metafora yaitu berubah (change) untuk lebih memaknainya digunakan dua kata yaitu “kemerdekaan” dan “menyalakan api perlawanan. Kemerdekaan adalah titik awal memulai sebuah pergerakan yang lebih baik dalam melawan penjajahan dan menjadikan perubahan pada peta politik dunia. Itulah yang ingin disampaikan oleh presiden kepada rakyat agar tetap menjaga kemerdekaan seperti api yang akan mengubah kondisi dunia.

3.      Semua itu masih tetap penting dan relevan, dan merupakan bagian dari agenda besar kita.

v Metafora: tujuan (purpose)  yang ditunjukkan dalam kata “agenda”
v Pemetaan (mapping) :
-     Hidup adalah perjalanan.
-     Dalam hidup akan ada sebuah tujuan
-       Hidup sebagai alat untuk mencapai tujuan.
v Target wilayah (Target domain) :
-       Target wilayah (target domain)      :  Hidup (life)
-       Sumber wilayah (source domain)   :  Ruang (space)
-       Kejadian (events)                            :  Waktu.           
-       Tujuan (purposes)                           : Menjadi bangsa yang hebat
v Maka, hidup dipahami sebagai metafora yang mengandung konsep tujuan yang diharapkan manusia. Tujuan hidup adalah pencapaiannya dalam jangka waktu lama, tujuan dari kegiatan dan perjalanan itu sendiri. Dalam hal ini tujuan hidup adalah untuk menuntaskan sebuah agenda besar menjadi bangsa yang agung dalam lingkup nasional dan internasional. Sebagai bangsa yang berkembang, presiden mengimbau bahwa rakyat Indonesia masih punya satu tujuan besar yang belum tercapai dan masih dalam proses pencapaian. Tujuan adalah alat dalam hidup, dan hidup adalah sarana untuk mencapai tujuan itu.

4.      Apakah Indonesia akan menjadi bangsa yang unggul di Asia, atau menjadi sebuah negeri dengan demokrasi yang rapuh?
v Metafora: keadaan (state), yang ditandai dengan kata “rapuh”
v Pemetaan:
-       Target wilayah (target domain)  :  Asia
-       Sumber wilayah (source domain) :  Ruang (space)
-       Kejadian (events)                       :  Waktu.           
-       Tujuan (purposes)                      : bangsa yang unggul
v Pengekoran
-       Rapuh dipahami sebagai metafora yang mengandung konsep keadaan yang rentan terhadap kemerosotan dan kegagalan.
-       Waktu adalah gerakan yang akan mengubah keaadaan yang ada sekarang.

5.      Setelah tiga peralihan generasi, dan setelah mengalami berbagai gejolak dan pasang surut, bangsa Indonesia memasuki Abad ke-21 dalam kondisi yang lebih kokoh.
v Metafora: keadaan (state), yang ditandai dengan kata “rapuh”
v Pemetaan:
-    Target wilayah (target domain)           :  Asia
-    Sumber wilayah (source domain)       :  Ruang (space)
-    Kejadian (events)                                :  Waktu.           
-    Tujuan (purposes)                               : bangsa yang unggul

v Pengekoran
-             Kata Kokoh dipahami sebagai metafora yang mengandung konsep keadaan yang stabil, seimbang dan bergerak menuju kemakmuran.
-             Waktu adalah gerakan yang akan mengubah keaadaan yang ada sekarang.

6.      Hasilnya, peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental.
v Metafora: alat yang digambarkan dengan kata “peta”
v Pemetaan:
-          Target wilayah (target domain)           :  Indonesia
-          Sumber wilayah (source domain)       :  Ruang (space)
-          Kejadian (events)                                :  Waktu.           
-          Tujuan (purposes)                               : perubahan
v Pengekoran
Maka, peta dipahami sebagai sebuah metafora yang mengandung konsep alat,alat ini akan dijalankan oleh waktu untuk mencapai tujuan yaitu sebuah perubahan. Perubahan adalah kondisi awal kedatangan/ kelahiran dari sebuah gerakan.
v Pada kata “peta”, penanda dan referen mempunyai makna yang sejajar. Fenomena metafora yang terjadi adalah adanya alat yang digunakan untuk mencapai sebuah tujuan dalam hidup. Presiden menggunakan kata “peta” sebagai bentuk pencitraan terhadap alat yang menyebabkan sebuah keadaan berubah. Masyarakat disuguhi kata dengan pencitraan yang lebih mudah. Kata “peta” mewakili alat yang pada akhirnya akan berhubungan dengan keadaan Negara Indonesia. Dalam mencapai sebuah keadaan yang diinginkan/tujuan yang diinginkan, maka rakyat membutuhkan alat dan waktu.



E.     SIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan metafora pada pidato kenegaraan presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010 merupakan gaya presiden  untuk mengibaratkan makna sebenarnya yang terkesan ambisius dan mengandung hegemoni dalam dunia internasional. Provokasi atau imbauan untuk memajukan Indonesia dikemas dalam metafora-metafora dengan pencintraan yang lekat sehingga mudah untuk dipahami rakyat.

F.     DAFTAR PUSTAKA
Cruse, Alan. 2004.  Meaning in Language: an Introduction to Semantics and Pragmatics (edisi kedua). New York : Oxford University Press.
Howell, Steve R.  2000. Metaphor, Cognitive Models, Language. Mc.Master University
Jaszczolt, K.M.  2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.
Keraf, Gorys. 2001. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia.
.Lakoff , G. and Johnson, M. 1987. Women, Fire, and Dangerous Thing: What categories reveal about the mind, Chicago : The University of Chicago Press
Lakoff, G & Johnson, M., 1980.  Metaphors We Live By,  Chicago : The University of Chicago Press
Lakoff, George. 1992. The Contemporary Theory of Metaphor. Cambridge University Press.
Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics. New York: Cambridge University Press.  

Moleong, Lexy. J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Saeed. John. I. 1997. Semantics. Malden: Blackwell Publisher Inc.