Minggu, 30 Januari 2011

PERAN SEMANTIS DALAM PENAMAAN DIRI MASYARAKAT JAWA

PERAN SEMANTIS DALAM PENAMAAN DIRI MASYARAKAT JAWA

(Sebuah Kajian Linguistik)

Dian Purnama Sari
10745039

Abstrak

Sejak manusia sadar akan eksistensinya di dunia, sejak itulah mulai berpikir akan tujuan hidup, kebenaran, kebaikan, dan pencipta- Nya. Mulai dari melihat segala sesuatu yang tergelar di dalam jagad raya ini, dari lingkungannya masing-masing, sampai pada satu ruang dan waktu yang tak terbatas. Kemudian manusia mulai bertanya-tanya dan mencari jawaban yang dapat memuaskan dirinya. Ketika manusia mulai berinteraksi dengan alam, dengan sesamanya, dan menjadi bagian dari sesamanya, mulailah ia sadar juga akan identitas dan kepentingannya sendiri, orang lain, dan semesta alam.
Tulisan ini menguraikan tentang peran semantis yang dimiliki oleh sistem penamaan masyarakat Jawa. Suku Jawa adalah suku mayoritas di Indonesia. Tanah Jawa luas sehingga terbentuklah pembagian area menjadi tiga kawasan yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pemberian nama diri bagi masyarakat Jawa pun merupakan keputusan dan sikap tertentu yang hendak diutarakan oleh pemberinya melalui anak sebagai pihak penyandang nama.

Kata Kunci : Peran semantis, penamaan diri, masyarakat Jawa.










I. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa berbudaya. Beberapa budaya yang kita kenal misalnya Jawa, Bali, Madura, Minahasa, Minangkabau, Sunda, dan masih banyak lagi suku bangsa di Indonesia yang lain. Setiap budaya tersebut memiliki peraturan mengenai nama keluarga atau nama marga. Dalam budaya Batak dan Minahasa misalnya, nama marga ayah diwariskan kepada anak-anaknya (patrilineal) secara turun-temurun. Dalam budaya Minangkabau, pria yang sudah menikah akan diberikan gelar di belakang namanya, sedangkan untuk wanita pada umumnya tidak bergelar. Orang Arab-Indonesia juga memberikan nama keluarga di belakang namanya, misalnya Hambali, Shihab, Assegaf, dsb. Orang Jawa, Bali, dan beberapa orang Madura, serta Sunda juga sering menggunakan nama yang berasal dari bahasa Sansekerta. Sejak kebijakan pemerintahan Soeharto di zaman Orde Baru, orang-orang Tionghoa dilarang menggunakan nama Tionghoa dalam administrasi negara. Sehingga mayoritas dari mereka memilki nama Indonesia di samping nama Tionghoa. Dalam nama Indonesianya, orang Tionghoa sering menyelipkan nama marga dan keluarganya. Beberapa contoh: Sudono Salim (marga: Liem), Anggodo Widjojo (marga: Ang), dan sebagainya.
Potter (1973) mengemukakan bahwa pada tahap awal sejarah bahasa, kata-kata pertama yang dikenal adalah nama-nama. Menurutnya, masyarakat sudah lama menyadari eratnya hubungan antara nama dan objek acuannya dan antara nama dan orang yang memilikinya. Masyarakat Anglo-Saxson, misalnya, selalu memegang prinsip utuh dari generasi ke generasi dalam memberikan nama-nama kepada anak-anak mereka. Begitu penting arti nama bagi pemiliknya sehingga setiap orang akan merasa jengkel apabila namanya ditulis atau diucapkan salah. Semua orang beradab menyadari kebenaran fakta ini. Itulah sebabnya mengapa hukuman tradisional dan formal sangat berat terhadap setiap orang yang menyalahgunakan nama orang lain. Seorang novelis atau sutradara sering menuliskan pada awal karyanya nama dan kejadian ini adalah fiktif dan bukan merupakan tiruan atas nama seorang atau kejadian yang sebenarnya (Panggabean,1993:29). Akhir-akhir ini, nama sudah menjadi objek kajian ilmu terutama bagi bahasawan dan budayawan.
Manusia berbahasa didorong oleh kekuatan roh dalam dirinya yang memiliki kepentingan untuk diutarakan. Dengan bahasa, manusia berpikir untuk mengambil keputusan dan sikap tertentu yang dipandang paling tepat. Keinginan manusia itu harus ditata dengan wahana bahasa yang baik, luwes, dan peni 'serasi dan tepat' sehingga menjadi keutuhan pikiran, sikap budaya yang berwujud artikulasi pikiran. Tampaklah bahwa bahasa adalah pengembang akal budi atau pengembang kesadaran akan nilai-nilai kehidupan dan pemelihara kerja sama antar anggota masyarakat.
Suku Jawa adalah suku mayoritas di Indonesia. Tanah Jawa luas sehingga terbentuklah pembagian area menjadi tiga kawasan yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pemberian nama diri bagi masyarakat Jawa pun merupakan keputusan dan sikap tertentu yang hendak diutarakan oleh pemberinya melalui anak sebagai pihak penyandang nama. Dalam nama terkandung berbagai macam harapan, keinginan, doa, perintah, dan misi warisan yang harus diemban penyandangnya. Nama lebih dari sekadar tenger, tanda, atau ciri seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Di pihak lain-bagi yang penyandangnya-nama merupakan jaminan sejarah, menjadi salah satu identitas pribadi seseorang karena mampu menjelaskan siapa dia, anak siapa, dari keluarga mana, ras apa, dan seterusnya. Selain itu, nama juga merupakan "pagar maya" pengayom kemana arah dan tujuan hidupnya. Begitu dianggap pentingnya sebuah nama bagi masyarakat Jawa, sehingga prosesi pemberiannya pun melalui serangkaian upacara adat yang sakral. Oleh sebab itu analisis mngenai penamaan diri masyarakat menjadi objek yang menarik karena masyarakat Jawa kompleks akan budaya, terbagi dalam tiga area, dan memiliki latar belakang sejarah yang berarti dalam penciptaan nama diri masyarakatnya.
Artikel ini akan memaparkan pemberian nama berdasarkan tiga sudut pandang mengenai pemberian nama masyarakat Jawa yaitu static view, dynamic view, strategic view. Di samping itu peran semantis dalam artikel ini menekankan pada bentuk, fungsi, dan makna nama tersebut.



2. Konsep dan Kerangka Teori
2.1 Konsep
 Konsep yang digunakan dalam tulisan ini berkaitan dengan konsep tentang penamaan diri masyarakat Jawa dan peran semantis. Berikut diuraikan keua konsep tersebut.

2.1.1 Pembentukan Nama Masyarakat Jawa
Banyak orang Indonesia memiliki tatacara penamaan yang unik, tidak seperti nama-nama Eropa yang umumnya menggunakan formula nama depan - nama tengah - nama keluarga. Nama-nama yang diberikan orang tua kepada anak-anak mereka bervariasi bergantung pada asal pulau, suku, kebudayaan, bahasa, dan pendidikan yang diterima orang tua mereka. Masing-masing suku bangsa di Indonesia biasanya memiliki cara penamaan yang spesifik dan mudah dikenali, misalnya nama-nama yang berawalan Su- atau Soe- yang hampir selalu menunjukkan sang penyandang nama berasal dari keluarga Jawa atau lahir di Jawa (nama Jawa). Keluarga-keluarga yang menetap di kota-kota besar atau telah mendapatkan pendidikan yang berbeda dari orang tua mereka tidak jarang mengadopsi cara penamaan nama depan - nama keluarga yang menyebabkan banyaknya nama-nama keluarga baru yang bermunculan. Secara umum, ada empat cara penamaan yang umumnya digunakan di Indonesia, dan contoh yang digunakan adalah keenam presiden Indonesia, yang kebetulan mewakili setiap kategori:
1. Nama tunggal, seperti Soekarno dan Suharto.
2. Nama jamak tanpa nama keluarga, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (ayahnya bernama Raden Soekotjo, namun beliau mengadopsi tata nama Eropa dan menamai anak-anaknya dengan nama belakang Yudhoyono)
3. Nama jamak dengan nama keluarga sebagai nama belakang, seperti Baharuddin Jusuf Habibie.
4. Nama jamak menggunakan sistem patronymik
a. Ala Eropa : Megawati Soekarnoputri dan saudara-saudarinya yang menggunakan nama ayahnya: Soekarno diberi imbuhan -putri (atau -putra).
b. Ala Timur Tengah : Abdurrahman Wahid yang menggunakan nama ayahnya: Wahid Hasyim (yang juga menggunakan nama ayahnya Hasyim Asyari). Ia juga mem'fosil'kan nama belakangnya sehingga anak-anaknya memiliki nama belakang Wahid.
 Sutarjo (1983) dalam bukunya Psikolinguistik 1 menyebutkan tiga sudut pandang dalam sistem penamaan diri masyarakat Jawa. (1) Static view, yaitu sudut pandang yang mengamati nama sebagai objek atau bentuk ujaran (verbal) yang statis, sehingga dapat dipretheli 'dipisah-pisahkan, diuraikan' dan diamati bagian-bagiannya secara mendetail dan menyeluruh dengan ilmu dan teori-teori bahasa. (2) Dynamic view, yaitu suatu pandangan yang melihat nama diri dalam keadaan bergerak dari waktu ke waktu, mengalami perubahan, perkembangan, dan pergeseran bentuk dan tata nilai yang melatarbelakanginya. (3) Strategic view, yaitu aspek strategis dari akumulasi fenomena, "dudutan" dari segala bentuk perubahan dan perkembangannya, dan lebih jauh mengenai hubungan kebudayaan dengan bahasa, khususnya dalam nama diri. Ketiga sudut pandang ini diharapkan telah mampu menangani berbagai bentuk permasalahan nama diri, baik dari segi kebahasaan, maupun dari aspek di luar bahasa, yaitu aspek sosio-kulturalnya. Selain itu, ketiga sudut pandang ini-dalam tataran seni-dirangkum dalam ranah feeling, yaitu perasaan yang disadari dan didasarkan pada patos, pengalaman hidup dan cita-cita manusia dalam memori dan dalam alam bawah sadarnya.

2.1.2 Peran Semantis Peran semantis adalah peran yang dimiliki oleh argumen verba. Konsep peran semantis ini mengacu pada teori yang telah dikembangkan oleh Foley dan Van Valin (1984) yang kemudian disempurnakan kembali oleh Van Valin dan La Polla (1997) yang pada penerapannya menggunakan notasi actor (pelaku) dan undergoer (penfderita). Selanjutnya actor merupakan argumen yang mengekspresikan partisipan yang membentuk, mempengaruhi, atau mengendalikan situasi yang dinyatakan oleh predikatnya. Sedangkan undergoer merupakan argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak membentuk, tidak mengendalikan situasi, tetapi dipengaruhu oleh tindakan verbanya. Kedua peran dalam teori macrorola ini merupakan peran umum yang di dlamnya terdapat peran-peran khusus, seperti agen, pemengaruh, lokatif, tema, dan pasien ( Van Valin dan La Polla, 1997). Terkait dengan hal tersebut, Foley dan Van Valin (1984:59) mengusulkan suatu hierarki tematis. Hierarki tersebut untuk memudahkan penafsiran pelbagai peran semantis derivasi serta menerangkan peran semantis yang mungkin dilibatkan dalam pemetaan atau mapping argumennya. Dalam analisis penamaan diri ini akan dipaparkan mengenai peran semantis terkait dengan tiga sudut pandang yang dikemukakan oleh Sutarjo yaitu static view, dynamic view, dan strategic view.
3. Metode Penelitian Bentuk penelitian ini bersifat deskriptif yaitu berupaya memaparkan secara analitis peran semantis dalam penamaan diri masyarakat Jawa. Dalam hal ini, tekanan penelitian terletak pada upaya dalam mendeskripsikan secara rinci fenomena sosial tertentu atau frekuensi terjadinya peristiwa tertentu (Singarimbun, 1982:4). Di samping itu, metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1988:7) digunakan pula dalam pengumpulan data penelitian ini. Objek penelitian adalah masyarakat Jawa terutama nama diri mereka.
4. Hasil Analisis Data
 Dalam sudut pandang static view yang pertama, nama diri terkait erat dengan latar sosio-kultural pemberinya, pemiliknya, orang atau masyarakat (sebut saja konteks) di sekitarnya. Maka, ketika kita akan menganalisis sepenggal nama (dengan aneka bentuk konstruksinya), terasalah bedanya antara makna, maksud, dan informasi unsurnya (Sudaryanto, 1993:3). Misalnya pada nama Ari Mugi Raharja, makna tiap unsurnya adalah sebagai berikut. Ari berarti 'sebuah nama, hari, adik, matahari', dan dalam bahasa Jawa Kuno berarti 'jika, umpamanya'. Mugi berarti 'semoga, pulih'. Raharja berarti 'rahayu, selamat, ramai'. Keseluruhan makna nama Ari Mugi Raharja adalah 'Anak yang diharapkan selalu menemui keselamatan dalam hal apapun; selamat rejekinya, kesehatannya, keluarganya, dst. Kedua, banyaknya faktor perkecualian dalam nama diri Jawa, sehingga sulit terkaidahkan secara formal. Nama Agus secara umum digunakan oleh laki-laki. Namun kenyataannya juga didapati seorang wanita menggunakan nama Agus, misalnya pada nama Agustina Mastuti, Agustina Arum Sari, Agus Shanti Tri Utami, Dwi Meina Agustanti. Hal serupa juga terjadi pada nama Budi dan Andri. Sebaliknya banyak nama yang lazim digunakan oleh wanita, dipakai oleh laki-laki. Pada sudut pandang dynamic view penambahan Su- sebagai morfem tak mandiri sebagai suku awal dari nama dan penambahan suku –min, -man, -o (-a), -ya, -di, -wan, -na (-no), dan –ji, (untuk laki-laki) dan –mi, -ni, -nah, ti, i, -yem, -jem, -kem, -ni, dan –tun (untuk perempuan) sebagai suku akhir dari nama. Sedangkan nama itu sendiri sering hanya diambil dari hari atau pasaran kelahiran, harapan yang terinspirasi dari situasi dan kondisi keluarga pada saat kelahiran, musim, keadaan alam sekitar, dan juga berdasarkan urutan kelahiran. Motivasi atau dorongan yang timbul dalam diri secara sadar atau tidak sadar dalam penamaan seperti ini adalah semangat kesederhanaan. Pada sudut pandang strategic view pemberian nama-nama seperti itu dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran ramah lingkungan, feeling atau kesadaran yang dirasakan pada saat keputusan pemberian nama berlangsung, menjadi sumber inspirasi utama pemberian nama, pentingnya memori dalam proses pemberian nama, serta kekuatan bawah sadar yang cukup menonjol.

5. Pembahasan
5.1. Peran Semantis dalam Static View
Pada sudut pandang static view nama diri tampak sebagai sesuatu yang berhenti, sebagai satu bentuk ujaran yang jelas bleger-nya 'bentuk formal yang utuh', sehingga bagian-bagiannya tampak jelas dan teramati (overt). Sebagai sebuah bentuk ujaran, nama diri dipandang memiliki bangun atau konstruksi, yaitu konstruksi kata dan kelompok kata. Lebih jauh lagi, pada nama berkonstruksi kata dapat dibahas tentang model-model persukuannya, sistem pemenggalan (baik pemenggalan suku dan pemenggalan unsur), beberapa variasi jumlah suku kata, struktur morfemis nama, dan tata bentuk nama berkomponen ganda (berdasarkan kategori unsur). Sedangkan pada nama berkonstruksi kelompok kata telah dibahas beberapa hal mendasar tentang perbandingan istilah, pola urutan, dan penanda jenis nama diri (baik penanda suku maupun penanda morfem).
 Kekuatan pandangan ini terletak pada detail ulasannya. Ibarat memahami seluk-beluk sepeda motor, kita dihadapkan pada sebuah sepeda motor dalam keadaan berhenti. Lalu, satu demi satu dipisahkan untuk mengetahui detail bagian-bagiannya, sehingga diperoleh deskripsi yang jelas mengenai kapasitas bensin maksimum tangkinya, jenis bensin (premium atau premix) yang sesuai dengan mesin jenis itu, seluk-beluk karburator (pegas dan jarum karburator, apung-apung, sekrup, kabel gas, dan volume bensin (CC) maksimum karburatornya), Seker, ring seker, knalpot, dsb.
 Secara singkat dalam pandangan yang statis (static view), data dipahami sebagai bahan jadi penelitian berupa nama-nama diri dalam masyarakat Jawa. Sifat datanya satu jenis, yaitu sebagai bentuk ujaran (fakta lingual) yang sekaligus merupakan "objek sasaran penelitiannya" atau Gegenstan. Syarat data adalah mencukupi, baik dalam jumlah maupun dalam hal jenis tipenya. Tiga aspek dominan yang dikaji antara lain adalah: bentuk, kemaknaan, dan hubungan antar-fenomen. Berikut disajikan bagan untuk memperjelas paparan ini.

Bagan 1. Static View

Objek Sasaran Penelitian
 Nama Nama Nama

 Makna Makna Makna

Konstruksi


 Pada taraf ini sekurangnya ada tiga hal yang dapat dilakukan, yaitu (1) cermat dalam penyediaan data, analisis data, penyajian hasil analisis data, dan mampu menangkap kemungkinan kekaburan fenomen lingual, yaitu bentuk, kemaknaan, dan hubungan antarfenomen. (2) Menemukan titik terang tertentu dari segala bentuk kekaburan itu. (3) Mengkaidahkan pola dan konstruksi bentuk dari proses pemahaman dan analisis yang telah dilakukan.
 Dalam praktiknya, terdapat kendala dalam taraf proses pengkaidahan, khususnya mengkaidahkan secara formal. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, nama diri terkait erat dengan latar sosio-kultural pemberinya, pemiliknya, orang atau masyarakat (sebut saja konteks) di sekitarnya. Maka, ketika kita akan menganalisis sepenggal nama (dengan aneka bentuk konstruksinya), terasalah bedanya antara makna, maksud, dan informasi unsurnya (Sudaryanto, 1993:3). Misalnya pada nama Ari Mugi Raharja, makna tiap unsurnya adalah sebagai berikut. Ari berarti 'sebuah nama, hari, adik, matahari', dan dalam bahasa Jawa Kuno berarti 'jika, umpamanya'. Mugi berarti 'semoga, pulih'. Raharja berarti 'rahayu, selamat, ramai'. Keseluruhan makna nama Ari Mugi Raharja adalah 'Anak yang diharapkan selalu menemui keselamatan dalam hal apapun; selamat rejekinya, kesehatannya, keluarganya, dst. Isi amanat ini ketika dikonfirmasikan dengan pihak pemberi nama ternyata berbeda. Mugi- menurut orang tua si anak-merupakan bentukan dari waktu kelahiran bayi, yaitu Jemuah ‘Jumat’ dan Legi (hari dalam kalender Jawa). Jadi, sesungguhnya nama Ari Mugi Raharja bermakna ‘anak (laki-laki) yang lahir selamat pada hari Jumat Legi’. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pemaknaan nama diri masyarakat Jawa harus mampu mengungkap maksud dari pemberi namanya. Hal ini penting karena dengan mengetahui maksud itu, kita dapat mengetahui bahwa nama diri juga diberikan atas dasar waktu kelahirannya.
Selain itu, dalam berbagai uji coba diperoleh satu pemahaman bahwa makna komponen nama (apabila ia berkonstruksi kata) atau makna tiap unsur nama (manakala ia berkonstruksi kelompok kata) sifatnya metaforis, tidak dapat dilepaskan dari penggunaannya dan konteksnya, sebagaimana makna leksikal (lexical meaning). Kenyataan ini ternyata membawa konsekuensi tersendiri ketika proses pengkaidahan itu dilakukan.
 Kedua, banyaknya faktor perkecualian dalam nama diri Jawa, sehingga sulit terkaidahkan secara formal. Nama Agus secara umum digunakan oleh laki-laki. Namun kenyataannya juga didapati seorang wanita menggunakan nama Agus, misalnya pada nama Agustina Mastuti, Agustina Arum Sari, Agus Shanti Tri Utami, Dwi Meina Agustanti. Hal serupa juga terjadi pada nama Budi dan Andri. Sebaliknya banyak nama yang lazim digunakan oleh wanita, dipakai oleh laki-laki.
 Intinya terdapat pada penyesuaian aspek teori linguistik untuk mengungkap rahasia (convert) dari nama. Hal ini terjadi dalam rangka menjelaskan nama secara ilmiah, dengan pertanggungjawaban yang ilmiah juga. Oleh sebab itu, seringkali terjadi pembatasan dalam rangka penyesuaian teori kebahasaan dalam analisis sistem nama diri; mengingat penggunaan satu teori secara utuh sulit dilakukan.
Bahasan tentang nama diri dari sudut pandang Static View ini mengkaji secara komprehensif masalah-masalah di sekitar bahasa. Hal-hal yang berada di luar kebahasaan bukan merupakan target analisisnya. Di sisi lain, disadari betul bahwa objek sasaran penelitian atau gegenstand dalam penelitian ini memiliki ruang lingkup yang cukup luas, menembus batas-batas kebahasaan yang ada. Oleh karena itu, diperlukan dimensi analisis lain yang mampu mendukung analisis kebahasaannya. Misalnya, analisis yang lebih jauh melihat hubungan antara fakta bahasa dan strategi budaya seseorang atau kolektif masyarakat.

5.2. Peran Semantis dalam Dynamic View
Berbeda dengan sudut pandang statis (static view), sudut pandang dinamis (dynamic view) melihat nama diri dalam keadaan bergerak dari waktu ke waktu; mengalami perubahan, perkembangan, dan pergeseran bentuk seiring dengan tata nilai yang melatarbelakanginya. Ibarat sepeda motor, dalam pandangan ini akan dikaji bagaimana kemampuan jalannya, ketangguhan rem cakramnya, kelenturan shock breaker, tarikan gasnya, dan sebagainya.
 Sudut pandang dynamic view dilandasi oleh satu pemahaman bahwa bahasa adalah suatu kegiatan, suatu perilaku yang berhubungan erat dengan jenis tingkah laku sosial dan budaya lain. Oleh karena itu bahasa harus dipelajari dalam konteks sosial dan budayanya (bandingkan Richard Nivens, 1996:2; Sudaryanto, 2000:7), sehingga akhirnya nama menjadi ekspresi dan refleksi budaya pemiliknya. Tekanan dalam pandangan ini terletak pada aspek-aspek dinamis dari nama diri masyarakat Jawa. Pada kenyataannya perubahan dan perkembangan dalam nama diri terjadi dalam konteks masyarakat yang senantiasa bergerak dan berubah pula.
 Dinamika pemberian nama diri dalam masyarakat Jawa dipandang dari sumber inspirator atau sumber namanya dapat dibedakan menjadi tiga kategori sebagai berikut:
a. Pemberian nama dengan mempertimbangkan atau memperhitungkan segala sesuatu secara sederhana dan terbatas pada hal-hal yang dekat dengan prosesi kelahiran, keadaan, dan pola pikir yang sederhana. Pola-pola nama diri seperti ini selanjutnya disebut pola nama diri sederhana, tercermin dari wujud nama yang hanya terdiri dari satu kata (berkonstruksi kata), mudah diingat, latar belakang penamaan, pola-pola harapan, doa, dan keinginan yang sederhana pula. Fakta lingual berupa nama diri yang dimaksud adalah: Penambahan Su- sebagai morfem tak mandiri sebagai suku awal dari nama dan penambahan suku –min, -man, -o (-a), -ya, -di, -wan, -na (-no), dan –ji, (untuk laki-laki) dan –mi, -ni, -nah, ti, i, -yem, -jem, -kem, -ni, dan –tun (untuk perempuan) sebagai suku akhir dari nama. Sedangkan nama itu sendiri sering hanya diambil dari hari atau pasaran kelahiran, harapan yang terinspirasi dari situasi dan kondisi keluarga pada saat kelahiran, musim, keadaan alam sekitar, dan juga berdasarkan urutan kelahiran. Motivasi atau dorongan yang timbul dalam diri secara sadar atau tidak sadar dalam penamaan seperti ini adalah semangat kesederhanaan.
b. Semangat kesederhanaan ini bukan pula menjadi kodrat bagi pemiliknya. Kesederhanaan itu sesungguhnya tak luput dari kemampuan berbahasa seseorang atau kolektif. Seseorang yang hidup terpencil dari pengetahuan akan sulit memilih kosa kata yang tepat untuk harapan dan keinginannya sendiri. Sehingga, nama yang diberikan untuk anak-anaknya juga sebatas pengetahuannya tentang bahasa itu, sebatas penguasaan kosa kata yang dimilikinya. Faktor lain, adanya pembagian wilayah budaya dan konvensi budaya yang menjadikannya semakin takberkesempatan memilih.
c. Pemberian nama dengan konstruksi kelompok kata. Diduga kuat munculnya konstruksi ini seiring dengan kemajuan pola pikir dan mental masyarakat. Keanekaragaman jenis, bentuk, dan pola harapan terasa tidak cukup lagi terwadahi hanya dalam sepatah kata sebagai unsur nama. Manusia lebih menghendaki ungkapan riil (nyata) daripada pralambang atau simbol. Manusia lebih suka kepada sesuatu yang jelas, spesifik, tetapi unik. Artinya, dominasi otak lebih terasa dibanding dengan perasaan dan bahkan intuisi. Di sisi lain, tanpa disadari tengah berkembang budaya baru yaitu materialisme yang memberikan tekanan yang kuat, sehingga mendorong manusia untuk lebih siap dan survive dalam menjalani kehidupan. Berbagai bentuk persiapan dan upaya dilakukan, termasuk memberi bekal nama yang kamot atau sesuai dengan segala bentuk tantangan jaman tersebut.
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa (1) secara diakronis, terdapat kecenderungan telah terjadi perubahan pada sistem nama diri masyarakat Jawa yang tampak dari perkembangan unsur-unsur yang berakibat pula pada perkembangan konstruksinya. (2) Perkembangan seperti itu terkait erat dengan (a) dinamika masyarakat yang meningkat, (b) perkembangan kosa kata bahasa manusia sebagai buah dari komunikasi peradaban, (c) perkembangan nalar (akal budi) dan pola pikir manusia, (d) perkembangan sikap mental dan respon budaya masyarakat, (e) perkembangan kebutuhan manusia, dan- yang tidak dapat dilupakan adalah- (f) jasa ilmu pengetahuan dan teknologi melalui hasil-hasilnya.
Dilihat dari nuansa (warna) dalam nama diri masyarakat Jawa secara diakronis, tampak bahwa pada kenyataannya penamaan tidak terpukau dan terpaku saja dengan keindahan bahasa, yaitu semata-mata sebagai estetika fonis. Nama juga dirangsang oleh berbagai fenomena hidup yang lain yang mengacu pada kelampauan, masa kini, dan masa depan. Gejala psikologis yang dapat dirasakan adalah, seorang anak akan merasa malu jika memiliki nama yang kuno (biasanya berkonstruksi kata). Sebaliknya, seorang anak akan merasa bangga memiliki nama yang modern. Bagi seorang remaja yang merasa malu dengan namanya, sering merubahnya sendiri paling tidak pada nama panggilan yang disesuaikan dengan modernitas jaman atau trend nama yang berlaku. Ada sebuah anekdot, ketika di desa namanya Kemi, begitu pindah ke kota berubah menjadi Mince, Sugimo berubah menjadi Mamo S.G., Rakijan berubah menjadi Eki R., dan Kasmin berubah menjadi Asmi Rakasiwi. Hal serupa banyak terjadi di dunia entertainment dan olah raga, terutama olah raga tinju profesional. Sebagian besar atlet tinju profesional memakai nama petinju favoritnya, atau juga semacam istilah yang merujuk pada keahlian atau kelebihan bertinjunya. Misalnya, Litle Homes, Dobrak Arter, Ananto Chaves, Nurdin Inoki, dsb.
 Sudut pandang dynamic view ini pun juga mampu menangkap proses pemudaran dikotomi sosiologis dari nama diri sebagaimana disampaikan oleh Clifford Geertz (1983). Geertz berpendapat adanya tiga jenis nama diri yang dipakai oleh masyarakat Jawa, yaitu: nama dusun, nama priyayi, dan nama-nama santri. Teori ini ternyata hanya berlaku sampai batas kurun waktu tertentu. Pada kenyataannya, pasca 1970-an batas-batas itu mulai memudar, terbukti dari data yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini. Radjiman (1984) dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta’ menyebutkan Indikator pemudaran sebagaimana disebut adalah pemudaran batas wilayah sosial masyarakat Jawa oleh karena perkembangan jaman dan perkembangan peradaban masyarakat Jawa sendiri. Di bekas kerajaan Surakarta Hadiningrat terdapat tradisi penamaan satu wilayah (toponimy) berdasarkan kelompok masyarakat penghuninya, seperti: Sayangan (tempat abdi dalem pembuat barang-barang dari tembaga), Gandhekan (tempat abdi dalem pesuruh khusus raja), Kepunton (tempat abdi dalem pembuat pakaian sulam), Dagen (tempat abdi dalem tukang kayu istana), dan sebagainya.
  Pengelompokan ini sama sekali sudah tidak berlaku lagi, karena komunitas heterogen masyarakat di wilayah itu. Pemudaran wilayah dari yang homogen menjadi heterogen ini berdampak pada bahasanya. Yang tampak justru pemberian nama berdasarkan hal-hal yang terkait erat dengan pekerjaan orang tua, seperti Lexicowati, Fona, Maxi (anak seorang linguis); Desi, Hekto (anak seorang pengajar Matematika), dst. Apabila profesi menjadi penanda kelas sosial, mungkin dapat dianggap sebagai pengecualian. Dari fakta lingual berupa nama diri yang berhasil dihimpun diperoleh satu kesimpulan bahwa untuk wilayah Surakarta dan sekitarnya : (a) sistem penamaan berdasarkan waktu kelahiran: hari dan pasaran dan nama-nama sederhana seperti Sirin, Sidin, Siman, Sujiem, Rubikem, Juminten, dll. sudah jarang ditemukan untuk generasi pasca 1970-an., (b) nama diri sebagai penanda kelas sosial pun tidak berlaku lagi, (c) Nama-nama seperti Muhammad, Siti, Qowiyah, Abdul Mutholib, Abu Bakar, Ali Usman, dst. yang dahulu menjadi penanda kelompok santri tidak lagi berlaku, oleh karena telah bercampur dan menyebar (spread) ke dalam masyarakat umum, (d) Batas wilayah dan penanda kelas sosial itu pun ditengarai oleh pemakaian nama-nama Baptis dari perkampungan sampai wilayah kota. Bahkan terkadang nama sebagai penanda pemeluk agama Kristen itu telah diberikan semenjak lahir (pada prosesi pemberian nama). Nama-nama baptis yang populer adalah: Christ, Yohanes, Ignatius, Fransiscus Xaverius, Yosep, Felix, Simon, dsb.

5.3. Peran Semantis dalam Strategic View
Sudut pandang yang ketiga adalah Strategic view yang mengkaji aspek strategis dari akumulasi fenomena; “arah” dari segala bentuk perubahan dan perkembangannya, serta hubungan kebudayaan dengan bahasa, khususnya dalam nama diri. Bagian ini mengandaikan nama sebagai suatu strategi yang terbentuk dari adanya respon budaya masyarakat pemiliknya. Apa yang tertulis dan tersebut sebagai nama, sesungguhnya bukan lagi menjadi sasaran pokok kajiannya. Namun sasaran itu justru terletak hal-hal yang non-fisik, yaitu kasunyatan di balik kenyataan nama itu. Konkretnya, apa yang disebut sebagai sasaran itu antara lain adalah: kesadaran, feeling, memori, dan bawah sadarnya.
 Beranjak dari fakta yang ada, tampaknya dapat dikatakan bahwa nama akhirnya menjadi bentuk tak kentara dari strategi hidup manusia secara berkelanjutan (sustainability). Dalam mengarungi kehidupan dan membina satu keluarga, seseorang (orang tua) memiliki keinginan, cita-cita, doa, kemauan, pendapat, dan misi hidup. Berbagai keinginan itu memiliki kepentingan untuk diutarakan melalui caranya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung, tampak (overt ‘kasat mata’) atau tidak tampak (covert, perlambang). Salah satu contoh nyata cara mengutarakan keinginan itu adalah pada pemberian nama. Hal ini berarti, nama sebagai fakta lingual hanyalah wadah dari berbagai keinginan itu. Namun bukan berarti wadah itu kurang bernilai, karena tidaklah mungkin memahami sesuatu yang tidak tampak dari yang tampak, tanpa harus mengerti yang tampak itu sendiri.
 Pada tataran yang lebih dalam, sebagaimana terdapat dalam pepatah Jawa, nama kinarya japa ‘nama sebagai doa’. Dalam konsep keyakinan Jawa tradisional, nama menjadi pengejawantahan dari sembah terhadap yang adikodrati –termasuk di dalamnya unsur semesta- karena eksistensi manusia yang harus tunduk takluk dengan lingkungannya (kolektivitas) sampai kepada pusatnya, yaitu Tuhan pencipta alam semesta. Inilah keyakinan yang masih hidup dan situsnya masih dapat dijumpai hingga saat ini. Keyakinan ini ditanamkan sejak nol tahun kehidupan satu generasi baru. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila pemberian nama kepada anak-anak itu bersifat sederhana dan bersahaja, menjadi tenger bagi pemakainya, dan kurang mementingkan adanya otonomi manusia.
Fakta lingualnya adalah nama-nama sebagaimana disebut dalam point 1) tentang dinamika pemberian nama diri dalam masyarakat Jawa di atas. Namun demikian hal itu bukan berarti mereka tidak memilihkan nama terbaik untuk generasi penerusnya, karena proses seleksi nama itupun ternyata berlangsung (walau sebatas kemampuan pelakunya). Bahkan tidak jarang nama yang diberikan adalah pilihan dari kakek atau nenek sang ayah atau ibu. Dan, pilihan terbaiknya justru jatuh pada hal-hal yang lugas atau sederhana pula, misalnya berkenaan dengan pendokumentasian waktu kelahiran, felling, dan pandangan tentang masa depan yang cukup sederhana, karena mengacu pada keselamatan hidup, kecukupan hidup, dan keselarasan dari hasil pertanian mereka.
 Nama-nama yang dapat dikatakan sederhana (karena dibangun oleh satu kesadaran yang sederhana konsepnya) tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
Wagiyem ‘kelahiran Wage, ayem ‘tentram’
Purwanti ‘lahir pertama’
Eka ‘lahir pertama’
Sribit ‘semilir angin’
Tugiyo ‘lahir Sabtu Legi’
Waras ‘sehat’
Wagiman ‘lahir pada pasaran Wage’
Santosa ‘kuat, perkasa’
Seger ‘selalu sehat, segar’
Sugeng ‘selamat’
Wilujeng ‘selamat’
Rahayu ‘selamat’

 Beberapa contoh nama yang disebutkan tersebut secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pemberian nama-nama seperti itu dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran ramah lingkungan. Nama-nama yang diberikan diambil dari berbagai bentuk leksikon percakapan, serta situasi dan kondisi alam semesta termasuk juga seluruh isinya. Sebagai contoh pada nama Purwanti tampak adanya dominasi pola urutan kelahiran, bahwa si penyandang nama adalah anak pertama dari sebuah pasangan suami istri. Sedangkan –nti adalah penanda jenis wanita. Hal serupa juga terjadi pada nama Tugiyo yang lebih menonjolkan setting waktu kelahiran pada hari Sabtu pasaran Legi. Sedangkan hal-hal lain sebagai pengembangan makna dari nama tersebut bisa saja muncul sebagai bentuk kesadaran yang berbeda.
2. Feeling atau kesadaran yang dirasakan pada saat keputusan pemberian nama berlangsung, menjadi sumber inspirasi utama pemberian nama. Keberadaan feeling ini terkait erat dengan adanya memori kolektif masyarakat yang cenderung homogen, baik dari aktivitas rutin dan sesaat, kebutuhan, perjuangan hidup, dan ikatan tradisinya. Dipilihnya nama Purwanti karena adanya sadar akan “posisi” sang bayi sebagai anak pertama (purwa ‘pertama, pembukaan, yang pertama’ + -nti sebagai penanda jenis wanita). Konsep kesadaran ini dalam bahasa Jawa dipertegas dengan istilah ora neka-neka ‘tidak macam-macam’, samadya ‘secukupnya, sederhana, tidak muluk-muluk’. Pilihan bahasanya pun sederhana, hanya terdiri atas satu kata (baik bentukan beberapa morfem maupun murni satu kata) dan pola vokal yang cenderung sama.
3. Pentingnya memori dalam proses pemberian nama. Pada beberapa nama bahkan diketahui sebagai “judul lelakon” hidup orang tua atau keluarga si anak atau solusi dari lelakon yang dialami. Solusi inilah yang kemudian ditengarai sebagai harapan (hope) dan doa permohonan (pray). Orang tua dalam masyarakat Jawa lazimnya memegang erat satu berprinsip “ngisor gendheng daksaponane, abot entheng daklakonane” artinya “segala beban hidup yang berat cukuplah menjadi beban orang tua, jangan sampai dirasakan pula oleh anak-anak”. Nuansa (warna) yang dapat ditangkap adalah doa perbaikan nasib, kemujuran, kesejahteraan, dan kejayaan generasi penerus.
4. Kekuatan bawah sadar yang cukup menonjol, berupa “untiran” dari keputusan penamaan itu. Kekuatan bawah sadar yang dapat ditangkap adalah prinsip keberlangsungan (sustainability) hidup dengan grafik yang meningkat dari segi kualitas. Seorang keluarga petani Jawa tidak mungkin hanya berharap anak-anaknya juga hanya akan menjadi petani. Ada harapan menjadi priyayi yang diselipkan. Kekuatan bawah sadar ini sungguh merupakan mitos hidup yang subur berkembang di Jawa.

Empat keterangan di atas dapat diwujudkan ke dalam sebuah bagan sebagai berikut.
Bagan 2. Strategic View




 STRATEGIC VIEW





Simpulan Simpulan yang diperoleh dari analisis peran semantis penamaan diri masyarakat Jawa, dalam sudut pandang static view yang pertama adalah nama diri terkait erat dengan latar sosio-kultural pemberinya, pemiliknya, orang atau masyarakat di sekitarnya. Maka, ketika kita akan menganalisis sepenggal nama (dengan aneka bentuk konstruksinya), terasalah bedanya antara makna, maksud, dan informasi unsurnya (Sudaryanto, 1993:3). Misalnya pada nama Ari Mugi Raharja, makna tiap unsurnya adalah sebagai berikut. Ari berarti 'sebuah nama, hari, adik, matahari', dan dalam bahasa Jawa Kuno berarti 'jika, umpamanya'. Mugi berarti 'semoga, pulih'. Raharja berarti 'rahayu, selamat, ramai'. Keseluruhan makna nama Ari Mugi Raharja adalah 'Anak yang diharapkan selalu menemui keselamatan dalam hal apapun; selamat rejekinya, kesehatannya, keluarganya, dst. Kedua, banyaknya faktor perkecualian dalam nama diri Jawa, sehingga sulit terkaidahkan secara formal. Nama Agus secara umum digunakan oleh laki-laki. Namun kenyataannya juga didapati seorang wanita menggunakan nama Agus, misalnya pada nama Agustina Mastuti, Agustina Arum Sari, Dwi Meina Agustanti. Hal serupa juga terjadi pada nama Budi dan Andri. Sebaliknya banyak nama yang lazim digunakan wanita, dipakai oleh laki-laki. Pada sudut pandang dynamic view Penambahan Su- sebagai morfem tak mandiri sebagai suku awal dari nama dan penambahan suku –min, -man, -o (-a), -ya, -di, -wan, -na (-no), dan –ji, (untuk laki-laki) dan –mi, -ni, -nah, ti, i, -yem, -jem, -kem, -ni, dan –tun (untuk perempuan) sebagai suku akhir dari nama. Sedangkan nama itu sendiri sering hanya diambil dari hari atau pasaran kelahiran, harapan yang terinspirasi dari situasi dan kondisi keluarga pada saat kelahiran, musim, keadaan alam sekitar, dan juga berdasarkan urutan kelahiran. Motivasi atau dorongan yang timbul dalam diri secara sadar atau tidak sadar dalam penamaan seperti ini adalah semangat kesederhanaan. Pada sudut pandang strategic view pemberian nama-nama seperti itu dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran ramah lingkungan, feeling atau kesadaran yang dirasakan pada saat keputusan pemberian nama berlangsung, menjadi sumber inspirasi utama pemberian nama, pentingnya memori dalam proses pemberian nama, serta kekuatan bawah sadar yang cukup men
Daftar Pustaka

Crystal, David 1987. The Cambridge Encyclapedia of Language. Britis Cambridge University Press.
D. Edi Subroto. 1996. Semantik Leksikal I. Surakarta: UNS Press.
D. Edi Subroto, dkk. 1991. Tata Bahasa deskriptif Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Hymes, Dell (ed). 1974. Language in Culture and Society, A Reader in Linguistics and Anthrophology. New York: Harper & Row Publishing Inc.
Ki Hadiwidjana. 1968. Nama-nama Indonesia. Yogyakarta. UP Spring.
Mahci, Suhadi. 1991. Masalah Nama dan Artinya bagi Orang Jawa dalam Majalah Kebudayaan No. 01 Th I 1991/1992. Jakarta Depdikbud RI.
Maryono, Dwiraharjo. dkk. 1995. Ragam Literer dalam Bahasa Jawa. (Laporan Penelitian)
Padmosoekotjo. 1987. Paramasastra Jawa (cap-capan II) Surabaya: PT. Citra Jaya Mukti
Rajiman, 1986. Sejarah Surakarta Tinjauan Sejarah politik dan Sosial. Surakarta: Krida.
Sudaryanto dan Alex Hero Rambadeta. 2000. Proceding Konperensi: Antar Hubungan Bahasa dan Budaya Di Kawasan Non Austronesia. Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik UGM.
Sudaryanto, 1992. Metode Linguistik, Ke Arah Memahami Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana Press.
Suranto, dkk. 1983. Studi Tentang Nama-nama Jawa. (Laporan Penelitian) FS-UNS
Van Valin Jr. and Randy La Polla. 1999. Syntax: Structure, Funcyion, and Meaning. Cambridge: Cambridge University Press.
Winter, CF dan R.Ng. Ronggowarsito, 1986. Kamus Kawi-Jawa (cet. 6) Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
WJS, Poerwodarminto. 1936. Baoesastro Djawa. Batavia: JB Wolter uit givers Maatscappij NV Groningen

2 komentar: