Oleh : Irine Prabasiwi
10745049
Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Indonesia memiliki banyak dan beragam bahasa
daerah. Setiap bahasa daerah juga memiliki berbagai macam dialek.
Dialek dalam bahasa Kutai ada tiga, yaitu
dialek Tenggarong, dialek Kota Bangun, dan dialek Muara Ancalaong.
Dialek yang paling banyak dan popular pada masyarakat umumnya ádalah
dialek Tenggarong. Selain dialek, setiap bahasa memunyai tata bahasa.
Yang paling tampak dalam tata bahasa ádalah
kalimat. Kalimat yang paling mudah untuk dipelajari dan dianalisis
adalah kalimat tunggal. Kalimat tunggal memiliki subjek yang umumnya
adalah kata benda dan predikat yang jenisnya kata kerja (verba), kata
benda (nomina), kata bilangan (numeral), frasa preposisional, dan
verba aktif dan pasif. Sejauh ini, karena bahasa Kutai dialek
Tenggarong hampir mirip dengan bahasa Melayu, maka struktur-struktur
kalimatnya juga hampir sama dengan bahasa Indonesia.
Kata Kunci :
kalimat tunggal, bahasa Kutai, dialek
Tenggarong
1. Pendahuluan
1. 1
Latar Belakang
Komunikasi
merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia.
Dengan komunikasi seseorang dapat
menyampaikan maksud kepada orang lain dan menerima maksud yang
disampaikan orang lain agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara
kedua belah pihak. Komunikasi memungkinkan tiap orang untuk
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisik dan lingkungan
sosialnya. Komunikasi juga memungkinkan tiap orang untuk mempelajari
kebiasaan, adat-istiadat, kebudayaan serta latar belakangnya
masing-masing.
Salah satu sarana komunkasi adalah bahasa. Menurut Keraf (2004:1),
“bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.” Bahasa yang
dimaksud dalam pernyataan di atas adalah bahasa yang hanya digunakan
oleh manusia, bukan binatang atau makhluk hidup lainnya. Walaupun
binatang mengeluarkan suara untuk menyampaikan maksud kepada binatang
lain atau manusia yang ada di sekitarnya seperti kucing yang
mengeong, anjing yang menggonggong, dan ayam yang berkokok tetap saja
itu bukan bahasa karena bukan ujaran yang keluar dari alat ucap
manusia. Suara-suara yang keluar dari binatang merupakan sarana untuk
berkomunikasi antara binatang tersebut dengan lingkungannya.
Bahasa tubuh atau body
language sesungguhnya juga bukan
bahasa. Bahasa tubuh memang dilakukan oleh manusia, namun tetap saja
bukan bahasa karena organ yang digunakan bukan alat ucap, melainkan
organ tubuh lainnya. Meski bukan termasuk bahasa, bahasa tubuh
merupakan sarana komunikasi sesama manusia. Ada juga pihak-pihak
tertentu dapat mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara
tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan, asap api, bunyi
gendang atau tong-tong dan sebagainya sudah lama telah dipergunakan
untuk mengadakan komunikasi antara anggota masyarakat. Jika
dibandingkan dengan bahasa, alat komunikasi ini mengandung banyak
kelemahan. Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan
kompleks daripada menggunakan media ini.
Menurut Chaer (2006:3), “Setiap bahasa
sebenarnya mempunyai ketetapan atau kesamaan dalam hal tata bunyi,
tata bentuk, tata kalimat, dan tata makna. Tetapi karena berbagai
faktor yang terdapat di dalam masyarakat pemakai bahasa, maka bahasa
menjadi tidak seragam benar.” Setiap daerah di Indonesia mempunyai
bahasa daerah yang berbeda-beda dan ada pula yang memiliki kemiripan
dari tingkatan fonologi sampai struktur sintaksis dan semantiknya.
Kemiripan-kemiripan yang terjadi bisa disebabkan oleh faktor sejarah
hubungan antara daerah-daerah di Indonesia sehingga terjadi
pencampuran budaya yang berkembang menjadi budaya baru yang juga
berpengaruh ke dalam bahasanya.
Suku Kutai atau masyarakat Melayu Kutai Tenggarong
adalah salah satu suku asli yang telah lama mendiami wilayah
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantantan Timur. Kebudayaan Kutai
berawal sejak berdirinya Kerajaan Kutai pada abad IV yang merupakan
kerajaan Hindu pertama di Nusantara dengan rajanya yang pertama
Kudungga dan yang terkenal Mulawarman. Suku Kutai terbagi lagi
menjadi empat subetnis: Kutai Tenggarong yang tinggal di daerah
Tenggarong (Kutai Kartanegara), Kutai Kota Bangun yang tinggal di
daerah Kota Bangun (Kutai Kartanegara), Kutai Muara Ancalong yang
tinggal di daerah Muara Ancalong (Kutai Timur), dan Kutai Muara Pahu
yang tinggal di daerah Muara Pahu (Kutai Barat).
Daerah Kutai dulunya dihuni oleh lima puak, yaitu
puak Pantun, puak Punang, puak Pahu, puak Tulur Dijangkat, dan puak
Melani. Puak merupakan golongan atau kelompok orang yang masih satu
keturunan yang mendiami kawasan tertentu. Puak lebih kecil cakupannya
daripada suku. Puak juga merupakan salah satu unsur yang membentuk
suatu suku. Kelima macam Puak ini tersebar di seluruh daerah Kutai.
Puak Pantun menempati daerah sekitar Muara Ancalong (Kutai Timur) dan
Muara Kaman (Kutai Kartanegara). Puak Punang menempati daerah sekitar
Muara Muntai (Kutai Kartanegara) dan Kota Bangun. Puak Pahu menempati
daerah sekitar Muara Pahu dan Kutai Barat. Puak Tulur Dijangkat
menempati daerah sekitar Barong Tongkok (Kutai Barat) dan Melak
(Kutai Barat). Puak Melani menempati daerah sekitar Kutai lama dan
Tenggarong.
Puak Pantun, Punang, Pahu, dan Melani tumbuh dan berkembang menjadi
suku Kutai yang memiliki bahasa sama namun beda dialek. Menurut
Departemen Pendidikan Nasional (2008:324), “dialek adalah variasi
bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai (misal bahasa dari suatu
daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu
tertentu).” Suku Kutai adalah suku asli daerah Kutai yang terdiri
dari Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kutai Kartanegara. Suku Banjar dan
Bugis merupakan suku pendatang yang datang secara bergelombang ke
daerah Kutai sehingga kelompok Melayu yang menempati daerah Kutai
terdiri atas suku Kutai, Banjar, dan Bugis.
Keturunan puak Tulur Dijangkat tumbuh dan berkembang menjadi suku
Dayak. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk
kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak
Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong, dan
Bentian.
Bahasa Kutai adalah bahasa Melayu yang hidup dan
berkembang sejalan dengan perkembangan suku Kutai. Suku Kutai
mendiami alur sepanjang Sungai Mahakam dan pupulasinya terbesar di
wilayah bekas Kabupaten Kutai dahulu yang sekarang terbagi menjadi
tiga kabupaten karena adanya otonomi daerah. Kabupaten tersebut
terdiri dari Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan
Kabupaten Kutai Timur.
Bahasa Kutai umumnya dan berkembang dalam bentuk penuturan
(percakapan) dan sastra dalam bentuk puisi dan pantun. Sangat sedikit
bukti-bukti tertulis yang dihasilkan dalam bahasa Kutai, terlebih
lagi pada periode pemerintahan Sultan Kutai Kartanegara. Produk
tertulis pada zaman itu kebanyakan berbahasa Melayu namun aksara Jawi
karena bahasa Melayu tidak mempunyai aksara.
Bahasa Kutai terbagi menjadi tiga dialek
berdasarkan morfologi penuturnya, yaitu dialek Tenggarong, dialek
Kota Bangun, dan dialek Muara Ancalong. Dalam penelitian ini yang
menjadi pokok kajian adalah bahasa Kutai dialek Tenggarong, khususnya
tentang kalimat tunggal oleh masyarakat penutur bahasa Kutai yang
tinggal di Tenggarong yang masih termasuk dalam kawasan Provinsi
Kalimantan Timur. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008:1024),
“kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu
klausa.”
Komunikasi dan transportasi di Tenggarong
tergolong lancar. Apalagi setelah dibangunnya Jembatan Mahakam II
yang menghubungkan antara Tenggarong dan Tenggarong Seberang yang
dapat mempermudah perjalanan ke Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur
yaitu Samarinda. Kedudukan Tenggarong sebagai kota kecil tempat
pariwisata memiliki dialek tersendiri yang
dapat memengaruhi dialek-dialek di sekitarnya atau yang terjadi
adalah bahasa Kutai dialek Tenggarong dipengaruhi oleh dialek-dialek
yang ada di sekitarnya.
Setiap bahasa memiliki keunikan yang berbeda dengan bahasa lainnya.
Keunikan yang ada dalam sebuah bahasa dapat dilihat dari berbagai
tataran linguistik yaitu semantik, sintaksis, morfologi, dan
fonologi. Dari beberapa keunikan tersebut yang paling mudah untuk
diamati adalah dari tataran fonologi dan morfologi. Hal itu
disebabkan kedua tataran linguistik tersebut memiliki struktur yang
sederhana sehingga membuat orang yang melihat akan mudah untuk
memahami dengan cepat.
Bahasa Kutai dialek Tenggarong mempunyai banyak
keunikan, dari tataran fonologi bunyi “u” walaupun terletak pada
akhir suku kata tertutup masih diucapkan [u]. Dalam tataran morfologi
bahasa Kutai juga mempunyai banyak keunikan, yaitu kata-katanya yang
dinilai aneh oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Dari struktur
sintaksisnya memang tak jauh berbeda dengan struktur sintaksis dalam
bahasa Indonesia, tapi banyak hal unik yang membedakannya dengan
struktur sintaksis dalan bahasa Indonesia dan penelitian ini hanya
difokuskan pada jenis kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek
Tenggarong yang juga memiliki keunikan tersendiri.
1.2. Masalah
1.2.1 Ruang Lingkup Masalah
Bahrah
dalam Depdiknas (2008:7) mengatakan bahwa bahasa Melayu Kutai banyak
persamaan dengan bahasa Melayu (bahasa Indonesia). Walaupun memiliki
banyak persamaan, kontribusi bahasa Kutai dialek Tenggarong ke dalam
bahasa Indonesia masih sedikit.
Kalimat
memang sering dibahas dalam dunia linguistik Indonesia karena ruang
lingkupnya yang besar. Sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda
jika berada pada kalimat yang berbeda pula. Kalimat diidentikkan
dengan konteks yang menyertai pemaknaan suatu kata. Dalam sebuah
kalimat ada banyak unsur yang membuat kalimat tersebut khas dan
merupakan ciri dari sebuah bahasa tertentu. Kalimat terdiri atas dua
macam yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal jauh
lebih mudah dipelajari daripada kalimat majemuk karena lebih sedikit
yang dibahas. Seorang pemelajar bahasa Kutai dialek Tenggarong akan
lebih mudah memahami bahasa Kutai dialek Tenggarong lewat kalimat
tunggal setelah memelajari struktur fonologis dan morfologisnya.
Topik
“Kalimat Tunggal Bahasa Kutai dialek Tenggarong” dipilih karena:
a) kalimat tunggal sangat sering dijumpai dalam percakapan
sehari-hari masyarakat Kutai Tenggarong, b) penelitian terhadap
kalimat tunggal sangat jarang dilakukan dalam bahasa Kutai dialek
Tenggarong, c) keterbatasan waktu, dana, dan tenaga sehingga
penelitian ini hanya difokuskan pada kalimat tunggal dalam bahasa
Kutai dialek Tenggarong.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Kalimat
tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong sangat banyak, tetapi
karena pengaruh waktu, lingkungan sosial, dan kondisi masyarakat yang
terus berkembang menyebabkan adanya perubahan dalam bahasa maupun
perilaku masyarakatnya. Ada beberapa kalimat tunggal dalam bahasa
Kutai dialek Tenggarong yang sering digunakan dan sebagian lagi sudah
jarang digunakan, bahkan tidak dikenal oleh penutur bahasa Kutai
dialek Tenggarong generasi sekarang. Penelitian ini hanya terbatas
pada kalimat tunggal yang sering digunakan oleh penutur bahasa Kutai
dialek Tenggarong. Kalimat tunggal yang sering digunakan oleh
masyarakat penutur bahasa Kutai dialek Tenggarong adalah (1) kalimat
tunggal berpredikat verbal, (2) kalimat tunggal berpredikat
adjektival, (3) kalimat tunggal berpredikat nominal (termasuk
pronominal), (4) kalimat tunggal berpredikat numeral, (5) kalimat
tunggal berpredikat frasa preposisional, dan (6) kalimat tunggal
berpredikat verba aktif dan pasif.
1.3
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah yang
dibahas adalah sebagai berikut.
- Bagaimana kalimat tunggal berpredikat verbal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
- Bagaimana kalimat tunggal berpredikat adjektival dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
- Bagaimana kalimat tunggal berpredikat nominal (termasuk pronominal) dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
- Bagaimana kalimat tunggal berpredikat numeral dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
- Bagaimana kalimat tunggal berpredikat frasa preposisional dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
- Bagaimana kalimat tunggal berpredikat verba aktif dan pasif dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai
dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
- Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat verbal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
- Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat adjektival dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
- Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat nominal (termasuk pronominal) dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
- Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat numeral dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
- Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat frasa preposisional dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
- Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat verba aktif dan pasif dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara
teoritis diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap pengajian
pemahaman tentang penggunaan kalimat tunggal dalam bahasa Kutai
dialek Tenggarong.
1.5.2 Manfaat Praktis
Selain
manfaat teoritis, manfaat praktis yang terdapat dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
- Diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat Kutai di Tenggarong, masyarakat umum, dan peneliti lain tentang kalimat tunggal dalam kalimat bahasa Kutai dialek Tenggarong.
- Diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat Kutai di Tenggarong tentang pentingnya melestarikan budaya melalui penggunaan kalimat, terutama kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
- Diharapkan penelitian ini dapat diteliti lebih lanjut lagi.
2 Kajian Pustaka
2.1 Sintaksis
Kata
sintaksis
berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun
yang berarti ’dengan’ dan kata ’tattein’ yang berarti
’menempatkan’. Jadi, secara etimologi istilah sintaksis berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau
kalimat. Menurut Chaer (2007:206) mengatakan bahwa dalam sintaksis
yang dibahas adalah (1) struktur sintaksis, (2) satuan-satuan
sintaksis, dan (3) hal-hal lain yang berkenaan dengan sintaksis.
Struktur
sintaksis mencakup masalah fungsi, kategori, peran sintaksis, dan
alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur sintaksis tersebut.
Satuan-satuan sintaksis biasanya berupa
kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Secara umum, analisis
tentang kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong ini
masih menggunakan pengembangan teori strukturalis.
2.2 Kalimat
Menurut
Kridalaksana (2001:92) menyatakan bahwa kalimat memunyai tiga
pengertian, yaitu satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri,
mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial
terdiri dari klausa; klausa bebas yang menjadi bagian kognitif
percakapan, satuan proposisi yang merupakan gabungan klausa, dan satu
klausa yang membentuk satuan yang bebas seperti jawaban minimal,
seruan, dan salam; konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu
klausa atau lebih yang ditata menurut pola tertentu, dan dapat
berdiri sendiri sebagai satu satuan.
Pendapat
Harimurti tentang kalimat di atas dapat disimpulkan menjadi sesuatu
yang penting atau yang menjadi dasar kalimat adalah konstituen dasar
dan intonasi final, sebab konjungsi hanya ada kalau diperlukan.
Konstituen dasar itu biasanya berupa klausa. Jadi, jika pada sebuah
klausa diberi intonasi final, maka terbentuklah kalimat. Dari rumusan
itu, bisa juga disimpulkan bahwa konstituen dasar itu bukan saja
berupa klausa, melainkan bisa juga berupa kata atau frase. Hanya
mungkin status kekalimatannya yang tidak sama. Kalimat yang
konstituen dasarnya berupa klausa tentu saja menjadi kalimat mayor
atau kalimat bebas. Untuk konstituen yang dasarnya berupa kata atau
frase tidak dapat menjadi kalimat bebas, melainkan hanyalah menjadi
kalimat terikat.
2.3 Kalimat Tunggal
Kalimat
tunggal, menurut Kridalaksana (2001:95)
adalah kalimat yang terjadi dari satu klausa bebas; misalnya Ia
membaca buku. Yang dimaksud dengan
klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata
berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada
komponen yang berupa kata atau frase dan yang berfungsi sebagai
predikat (sedangakan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan
keterangan). Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi
klausa ini, fungsi subjek juga merupakan unsur yang bersifat wajib
muncul dalam sebuah klausa. Unsur-unsur yang lain seperti objek,
pelengkap, dan keterangan bersifat tidak wajib hadir. Jika konstruksi
kamar mandi dibandingkan
dengan konstruksi adik
mandi,
maka dapat dikatakan konstruksi kamar
mandi bukanlah sebuah klausa karena
hubungan komponen kamar dan
komponen mandi
tidaklah bersifat predikatif. Sebaliknya, konstruksi adik
mandi adalah sebuah klausa karena
hubungan komponen nenek
dan komponen mandi
bersifat predikatif; adik
adalah pengisi fungsi subjek dan komponen mandi
adalah pengisi fungsi predikat.
Sebuah
konstruksi disebut kalimat jika pada konstruksi tersebut diberikan
intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi adik
mandi baru disebut kalimat jika diberi
intonasi final, entah berupa intonasi deklaratif, intonasi
interogatif, maupun intonasi interjektif. Jika belum diberi intonasi,
maka konstruksi adik mandi
itu masih berstatus klausa.
Klausa
memang berpotensi menjadi kalimat tunggal karena di dalamnya sudah
ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Frase dan kata
memang juga memunyai potensi untuk menjadi kalimat jika diberi
intonasi final, tetapi hanya kalimat minor, bukan kalimat mayor. Yang
berpotensi untuk menjadi kalimat mayor adalah klausa.
Syarat
wajib kalimat tunggal adalah adanya fungsi subjek dan predikat.
Subjek pada umumnya adalah kata benda, sedangkan predikat bervariasi.
Kalimat tunggal memiliki predikat yang jenisnya kata kerja (verba),
kata benda (nomina), kata bilangan (numeral), frasa preposisional,
dan verba aktif dan pasif.
3.
Pendekatan dan Metode Penelitian
Pada dasarnya penelitian tentang kalimat
tunggal dalam Bahasa Kutai dialek Tenggarong ini berkaitan dengan
suatu gejala yang sifatnya alamiah karena data yang diperoleh secara
langsung dari lingkungan nyata di Kota Tenggarong, dalam situasi yang
berjalan apa adanya. Data penelitian ini diperoleh melalui pengamatan
langsung dengan peralatan buku catatan, alat tulis, dan MP4, maka
pemaparannya dideskripsikan seperti apa adanya. Setelah data
terkumpul, dianalisis dan hasilnya berbentuk deskripsi yang tidak
berupa angka-angka dan koefisien hubungan antar variabel.
Dari data dan informasi ini selanjutnya ditarik
makna atau konsepnya. Langkah berikutnya adalah memelajari penggunaan
kalimat tunggal, kemudian dicatat,
dianalisis, ditafsirkan, dan terakhir disimpulkan dari penelitian
tersebut. Dengan melihat kenyataan-kenyataan di atas, maka penelitian
tentang kalimat tunggal dalam Bahasa Kutai dialek Tenggarong ini
memiliki ciri (1) menggunakan latar alamiah, (2) manusia sebagai
alat (instrumen), (3) metode kualitatif, (4) analisis data secara
induktif, (5) teori dari dasar, (6) deskriptif, (7) lebih
mementingkan proses daripada hasil, (8) adanya batas yang ditentukan
oleh fokus, (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, (10)
desain yang bersifat sementara, dan (11) hasil penelitian
dirundingkan dan disepakati bersama. Ciri penelitian ini tergolong ke
dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2009:8-13).
Menurut Djajasudarma (1993:10), “Penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui
bahasanya.” Penelitian kualitatif lebih menekankan kemampuan atau
kualitas peneliti mengamati kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya
agar bisa mengungkap dan mengupas lebih dalam tentang sesuatu yang
diteliti. Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif
karena penelitian kuantitatif hanya didasarkan dengan angka-angka,
presentase, dan penghitungan statistik agar dapat melakukan
penghitungan data secara akurat. Tanpa penelitian kualitatif,
penelitian bahasa atau ilmu-ilmu sastra tidak bisa dipahami oleh
masyarakat bahasa, sebab angka-angka hanya digunakan untuk memahami
jumlah tertentu. Hadirnya angka-angka dan penggunaan statistik dalam
penelitian kualitatif bukan sesuatu yang tidak mungkin karena dapat
membantu penyajian data dan penganalisisan data, tetapi angka-angka
dan penggunaan statistik ini hanya berfungsi sebagai alat pembantu
saja dan bukan sesuatu yang diutamakan.
Ditinjau dari segi waktu penelitian ini dapat
digolongkan dalam penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang
berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang
terjadi pada waktu sekarang. Menurut Moleong (2009:11), “Peneliti
menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam
bentuk aslinya. Hal itu hendaknya dilakukan seperti orang merajut
sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu.” Dalam penelitian
ini tidak ada perlakuan khusus yang diberikan dan data yang diperoleh
adalah data dalam bentuk asli. Hal itu dilakukan untuk menjaga
kemurnian dalam proses sampai hasil penelitian.
Penelitian ini ditinjau dari segi tempat termasuk penelitian lapangan
atau Field Research. Menurut Moleong (2009:26), “ide penting
penelitian lapangan adalah peneliti berangkat ke ‘lapangan’ untuk
mengadakan pengamatan tentang sesuatu fenomena dalam suatu keadaan
alamiah (in situ).” Dikatakan demikian karena penelitian ini tidak
dilakukan di tempat tertutup semacam laboratorium, perpustakaan atau
tempat-tempat tertutup lainnya, tetapi dilakukan pada masyarakat yang
tinggal di Kota Tenggarong, Kalimantan Timur.
Dari uraian di atas maka penelitian tentang Kalimat Tunggal dalam
Bahasa Kutai dialek Tenggarong ini dapat disebut penelitian
kualitatif deskriptif, penelitian lapangan, dan penelitian murni.
Dikatakan demikian karena penelitian ini memiliki ciri: (1)
menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, (2)
penelitian dilakukan di lapangan, (3) penelitian dilakukan pada saat
sekarang, dan (4) bertujuan mengembangkan teori.
Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu metode
penelitian lapangan dan metode deskriptif. Agar peneliti dapat secara
langsung mengamati, mendengar, dan selanjutnya mencatat serta merekam
tentang kalimat dalam bahasa Kutai dialek
Tenggarong, maka digunakan metode penelitian lapangan. Dengan metode
ini, peneliti terjun langsung ke daerah penelitian, yaitu ke Kota
Tenggarong agar dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai
keadaan alam, budaya, masyarakat, karena semua ini sangat besar
peranannya dalam penelitian.
Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang
dilakukan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang memang hidup
pada penutur-penuturnya, sehingga dihasilkan potret paparan seperti
adanya. Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah memperoleh
deskripsi tentang kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek
Tenggarong, maka metode yang digunakan metode deskripsi. Penelitian
ini dilakukan berdasarkan fakta yang ada pada penutur-penutur bahasa
itu. Dalam penelitian ini tidak ada perlakuan yang diberikan atau
dikendalikan, semua data dikumpulkan, selanjutnya disusun,
dianalisis, ditafsirkan, sehingga ditemukan hasil yang berupa
gambaran objektif tentang kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek
Tenggarong, Kalimantan Timur.
4.
Hasil Analisis Data dan Pembahasan
Kalimat
tunggal bahasa Kutai dialek Tenggarong secara umum memiliki kesamaan
dengan kalimat tunggal bahasa Indonesia, yaitu terdiri atas satu
klausa. Satu struktur klausa di dalam kalimat tunggal bahasa
Indonesia menurut Alwi (2003:338) dapat berupa:
- subjek dan predikat (SP);
- subjek, predikat, dan objek (SPO);
- subjek, predikat, dan keterangan (SPK);
- hanya berupa predikat (P).
Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Keraf (1980:151), bila suatu
kalimat tanya hanya mengandung satu pola kalimat dan perluasannya
tidak membentuk pola kalimat yang baru, kalimat semacam itu disebut
dengan kalimat tunggal.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam kalimat
tunggal hanya ada satu subjek dan satu predikat. Di samping subjek
dan predikat, di dalam kalimat tunggal juga terdapat objek dan/atau
pelengkap serta keterangan. Subjek, predikat, objek, pelengkap, dan
keterangan disebut juga unsur fungsi kalimat. Berikut beberapa contoh
kalimat tunggal bahasa Kutai dialek Tenggarong.
- Anakku gerecek.
S P
’Anakku cantik’
- Anaknya ndengarkan carangan meknya.
S P O
’Anaknya mendengarkan pembicaraan ibunya.’
- Bini sida namanya Esah.
S P
Pel
’Isterinya bernama Esah.’
- Sida mudik ke kampong.
S P K
’Beliau mudik ke kampung.’
- Pegi!
P
Pergi!
4.1
Kalimat Tunggal Berpredikat Verba
Kalimat
tunggal dapat dibedakan lagi berdasarkan kategori predikatnya menjadi
kalimat berpredikat verba, kalimat berpredikat adjektiva, kalimat
berpredikat nomina (termasuk pronomina),
kalimat berpredikat numeralia, dan kalimat berpredikat frasa
preposisional. Kalimat tunggal berpredikat verba dapat dikelompokkan
berdasarkan kemungkinan kehadiran nomina atau frasa nominal objeknya,
atas kalimat kalimat taktransitif, kalimat ekatransitif, dan kalimat
dwitransitif.
- Kalimat Tunggal Berpredikat Verba Taktransitif
Kalimat verbal dapat pula dibeedakan berdasarkan
peran subjeknya atas kalimat aktif (jika subjek berperan sebagai
pelaku) dan kalimat pasif (jika subjek berperan sebagai sasaran). Ada
bermacam-macam verba yang masing-masing memengaruhi macam kalimat
yang menggunakannya, seperti verba taktransitif, verba semitransitif,
dan verba transitif; trba transitif dibagi lagi menjadi ekatransitif
dan dwitransitif. Akan tetapi, kalimat yang berpredikat verba dapat
dibagi menjadi tiga macam, yaitu kalimat taktransitif, ekatransitif,
dan dwitransitif. Kalimat berpredikat verba semitransitif yang
objeknya ada disebut kalimat ekatransitif, dan yang objeknya tidak
ada disebut kalimat transitif.
Kalimat yang takberobjek dan takberpelengkap hanya
memiliki dua unsur fungsi wajib, yaitu subjek dan predikat. Pada
umumnya, urutan katanya adalah subjek-predikat. Kategori kata yang
dapat mengisi fungsi predikat terbatas pada verba taktransitif.
Seperti halnya kalimat tunggal lain, kalimat tunggal yang takberobjek
dan takberpelengkap juga dapat diiringi
oleh unsur takwajib seperti keterangan tempat, waktu, cara, dan alat.
Berikut adalah beberapa contoh kalimat verbal yang takberobjek dan
tak berpelengkap dengan unsur tak wajib diletakkan dalam tanda
kurung.
- Mek Rabiah lagi bejalanan.
S P
’Ibu Rabiah sedang berjalan-jalan (berpelesir).’
- Mbok Hami belum pegi.
S P
’Bibi Hami belum pergi.’
- Kaik ncangkul (kemai).
S P K
’Kakek mencangkul (kemarin)’
Contoh di atas menunjukkan bahwa verba yang
berfungsi sebagai predikat dalam tipe kalimat itu
ada yang berkonfiks be-an
pada kata bejalanan
dan ada juga yang berprefiks n-
pada kata ncangkul.
Karena predikat dalam kalimat itu tidak berobjek dan tidak
berpelengkap, verbanya disebut verba taktransitif dan kalimat seperti
itu disebut kalimat taktransitif.
- Kalimat Tunggal Berpredikat Verba Ekatransitif
Kaliat yang berobjek dan tidak berpelengkap
mempunyai tiga unsur wajib, yaitu subjek, predikat, dan objek.
Predikat dalam kalimat ekatransitif adalah verba yang digolongkan
dalam kelompok verba yang diikuti oleh objek tunggal (eka). Dari segi
makna, semua verba ekatransitif memiliki makna inheren perbuatan.
Dalam kalimat aktif urutan kata dalam kalimat ekatransitif adalah
subjek, predikat, dan objek. Tentu saja unsur tak wajib, seperti
keterangan tempat, waktu, dan alat dapat ditambahkan pada kalimat
ekatransitif. Frasa nominal yang berfungsi
sebagai objek dapat dijadikan subjek pada padanan pasif kalimat aktif
transitif itu. Berikut beberapa contoh kalimat ekatransitif.
- Kaiknya mbeli tigu manok.
S P O
’Kakeknya membeli telur ayam.’
- Kanak tu ngalak jambu.
S P O
’Anak itu mengambil jambu.’
- Etam nanam nyiur kemai.
S P O
K
’Kita menanam kelapa kemarin.’
- Kalimat Tunggal Berpredikat Verba Dwitransitif
Verba transitif dalam bahasa Kutai dialek
Tenggarong secara semantis mengungkapkan hubungan tiga wujud. Dalam
bentuk aktif, wujud itu masing-masing merupakan
subjek, objek, dan pelengkap. Verba itu dinamakan verba dwitransitif.
Perhatikan beberapa contoh berikut.
- Aminah lagi molah jajak.
S P O
’Aminah sedang membuat kue.’
- Aminah lagi molahkan jajak.
S P O
’Aminah sedang membuatkan kue.’
- Aminah lagi molahkan anaknya jajak.
S P O Pel.
’Aminah sedang membuatkan anaknya kue.’
Pada
kalimat (1) kita mengetahui bahwa yang
membuat jajak adalah Aminah.
Dengan ditambahkan sufiks -kan pada
verba dalam kalimat (2), kita dapatkan adanya perbedaan makna yang
melakukan perbuatan membuat
adalah Aminah,
tetapi jajak itu
bukan untuk dia sendiri meskipun tidak disebut siapa orang yang
dibuatkan jajak
tersebut. Pada kalimat (3) orang itu secara eksplisit disebutkan,
yaitu anaknya.
Pada kalimat (3) kita ketahui bahwa ada dua nomina yang terletak di
belakang verba predikat, yaitu anaknya
dan jajak.
Kedua nomina itu masing-masing berfungsi sebagai objek anaknya
dan pelengkap jajak.
Objek dalam kalimat aktif berdiri langsung di belakang verba, tanpa
preposisi, dan dapat dijadikan subjek dalam kalimat pasif.
Sebaliknya, pelengkap dalam kalimat dwitransitif itu berdiri di
belakang objek jika objek itu ada.
4.2
Kalimat Tunggal Berpredikat Adjektiva
Predikat
dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong dapat berupa adjektiva
atau frasa adjektival, seperti pada contoh berikut.
(1) Etam
ni lah tuha.
’Kita ini sudah tua.’
(2) Tajong tu dah lawas beneh.
‘Kain sarung itu sudah lama sekali.’
(3) Betisku
dah ndik tapi kejok lagi.
’Kakiku sudah tidak terlalu kaku lagi.’
(4) Baskom
ku lerak belerai.
’Baskomku rusak sekali.’
Pada
contoh kalimat diatas, frasa lah tuha,
dah lawas beneh, dan dah
ndik tapi kejok berfungsi sebagai
predikat pada tiap kalimat. Kalimat yang berpredikat adjektiva/frasa
adjektival dapat pula disebut kalimat statif. Di bawah ini adalah
kalimat-kalimat berpredikat adjetival/ frasa adjektival yang lazim
digunakan dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
(5) Jajakku
penyek.
’Kueku penyet.’
(6) Aer
ni maseh mahamong.
’Air ini masih hangat.’
(7) Tundun
pisang tu pore bener.
’Sisir pisang itu besar sekali.’
(8) Tegaknya
sida mahut beneh ngelehnya.
’Tampaknya beliau sudah benar-benar sangat
capek (lelah )’
(9) Kemanaanku
belum kehe.
‘Keponakanku belum pulih.’
4.3
Kalimat Tunggal Berpredikat Nomina
Kalimat tunggal berpredikat nomina, memiliki nomina (termasuk
pronomina) atau frasa nominal sebagai predikat. Kalimat yang
predikatnya nomina sering pula dinamakan kalimat persamaan atau
kalimat ekuatif. Perhatikan beberapa contoh di bawah ini.
- Anak tu adikku.
S P
’Anak itu adik saya.’
- Urang laki tu gurunya.
S P
’Laki- laki itu gurunya.’
- Adul dengsanakku.
S P
’Adul saudaraku.’
Pada
contoh di atas tampak bahwa predikatnya berupa nomina, yaitu adikku,
gurunya, dan dengsanakku.
Secara semantis nomina yang berfungsi sebagai subjek memiliki acuan
yang sama dengan nomina yag berfungsi sebagai objek. Nomina yang
pronomina yamg acuannya bersifat deiksis mewajibkan kehadiran artikel
penentu (definate) tu,
seperti yang terlihat pada kalimat (1) dan (2), sedangkan pada
kalimat yang bersubjek nomina nama diri tidak mewajibkan kehadiran
artikel penentu seperti pada kalimat (3).
4.4
Kalimat Berpredikat Numeralia
Kalimat
berpredikat numeralia adalah kalimat yang predikatnya diisi oleh
numeralia. Struktur kalimat numeralia adalah subjek
yang diisi oleh frasa nomina atau pronomina diikuti oleh predikat
yang diisi numeralia. Perhatikan beberapa contoh di bawah ini.
- Pitisnya sedeket maha
S P
’Uangnya hanya sedikit.’
- Lawang rumah ni lima
S P
’Pintu rumah ini lima.’
- Anaknya tujuh (urang).
S
P
’Anaknya tujuh (orang ).’
Pada
contoh di atas tampak bahwa pedikat yang berupa numeralia tak tentu
sedeket tidak
dapat diikuti oleh penggolong, sedangkan predikat yang berupa
numeralia tentu, seperti tujuh dapat
diikuti penggolong urang
(3).
4.5
Kaimat Tunggal Berpredikat Frasa Preposisional
Kalimat tunggal juga dapat dibentuk dengan mempredikatkan frasa
preposisional. Perhatikan contoh berikut.
- Gasing ni cagar sida.
’Gasing ini untu beliau.’
- Mana mek awak? Mun dik salah sida ke huma.
’Mana ibu mu?Kalau tidak salah beliau ke
ladang.’
- Jemoran pakaian sida maseh di amber.
’Jemuran pakaian mereka masih di depan rumah.’
Ketiga
kalimat di atas yang dicetak tebal menunjukkan bahwa frasa cagar
sida, ke
huma, dan di
amber adalah frasa preposisional yang
berkedudukan sebagai predikat. Karena jumlah preposisi yang ada dalam
bahasa Kutai dialek Tenggarong terbatas, variasi kalimat berfrasa
preposisional yang dapat diproduksi sebagai pengisi fungsi predikat
juga terbatas yaitu cagar
+ nomina
(N) dan ke/di
+ nomina lokatif.
Perhatikan contoh-contoh lain penggunaan frasa preposisional pengisi
fungsi predikat di bawah ini.
- Sida motok kayu ni cagar selamatan.
’Mereka memotong kayu bakar ini untuk hajatan.’
- Kami mancing di higa batang.
’Kami memancing di samping jamban.’
- Sida busu ngan embok dah ke benua.
’(Mereka) paman dan bibi sudah ke kampung.’
4.6
Kalimat Tunggal Berpredikat Verba Aktif dan Pasif
Fungsi predikat sebagai unsur sintaksis dalam
sebuah kalimat merupakan konstituen pokok yang disertai konstituen
subjek di sebelah kiri dan jika ada konstituen objek, pelengkap,
dan/atau keterangan di sebelah kanan. Predikat kalimat biasanya
berupa frasa verbal atau adjektival. Sementara itu, pengertian pasif
dalam kalimat menyangkut (a) macam verbal yang menjadi predikat, (b)
subjek dan objek, dan (c) bentuk verba yang dipakai.
Kalimat pasif dapat dibentuk dengan cara memasifkan kalimat aktif.
Perhatikan kalimat-kalimat aktif berikut.
- Keroan kanak njala ruan hambat tadi.
’Sekumpulan anak menjala ikan gabus tadi pagi.’
- Mbok Salihah mbawa sekresek menan.
’Bi Salihah membawa setas plastik mainan.’
- Hamid ngangkit sekarong beras.
’Hamid mengangkat sekarung beras.’
- Aku dah nepas baju itu.
’Aku sudah mencuci baju itu.’
- Sida hendak motok baner di higa temposo tu.
’Beliau hendak memotong akar kayu di samping gundukan tanah itu.’
- Aku ngalak pitis tu kemai.
’Aku mengambil uang itu kemarin.’
Selanjutnya,
pemasifan dalam bahasa Kutai seperti halnya di dalam bahasa
Indonesia, dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu (a) menggunakan verba
berprefiks di-
dan (b) menggunakan verba tanpa prefiks
di-.
Cara
pertama dapat dilakukan sebagai berikut.
- Tukarkan posisi fungsi subjek dengan objek.
- Gantilah prefiks nasal dengan prefiks di- pada fungsi predikat.
- Tambahkan kata olek sebelum fungsi subjek yang sudah dipindahkan menempati posisi objek.
Berikut penerapan cara pertama pada kalimat aktif menjadi kalimat
pasif seperti pada contoh di bawah ini.
- Kalimat aktif : Keroan kanak njala jukut ruan hambat tadi.
S P O
K
Tahap-tahap penafsiran dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
- Jukut ruan njala keroan kanak hambat tadi.
O P S K
- Jukut ruan dijala keroan kanak hambat tadi.
O P S K
- Jukut ruan dijala ngan keroan kanak hambat tadi.
O P S K
Dengan
demikian, pemasifan kalimat tersebut secara sempurna menjadi seperti
berikut ini.
- Jukut ruan dijala ngan keroan kanak hambat tadi.
’Ikan gabus dijala oleh sekelompok anak tadi pagi.’
Dengan cara yang sama, kita dapat memasifkan contoh-contoh kalimat
aktif di atas menjadi kalimat pasif berikut ini.
- Sekresek plastik dibawa ngan mbok Herma.
’Sekantung plastik oleh Bibi Herma.’
- Sekarong beras diangkit ngan Hasan.
’Sekarung beras diangkat oleh Hasan.’
Contoh
kalimat di atas menunjukkan bahwa kemunculan ngan
dalam sebuah kalimat pasif bersifat mana suka. Namun, jika sebuah
kalimat memuat predikat yang berupa verba atau frasa verbal yang
tidak dengan serta merta diikuti oleh pelengkap, bentuk ngan
selalu hadir. Kalimat di atas mengindikasikan bahwa keberadaan kata
ngan
cenderung bersifat mana suka. Namun, jika verba predikat tidak
diikuti dengan pelengkap pelaku, hal itu akan menuntut kemunculan
ngan.
Dengan demikian, jika kalimat berikut dimodifikasi sedemikian rupa,
keberadaan bentuk ngan
menjadi unsur wajib dalam kalimat tersebut.
- Jukut ruan dijala tulak hambat sampai ke merian ngan keroan kanak.
’Ikan gabus dijala sejak pagi sampai sore oleh sekumpulan anak.’
Teknik
pemasifan kalimat dengan memanfaatkan cara pertama biasanya dilakukan
jika subjek kalimat berupa nomina atau frasa nominal. Namun jika
subjeknya berupa pronomina persona, pemasifan akan dilakukan dengan
menggunakan cara yang lain pula (selanjutnya dibahas dalam cara
kedua). Berikut ini disajikan kalimat-kalimat pasif yang dibentuk
dengan menggunakan cara pertama beserta variasinya.
- Pais sepat belum lagi dipolahnya, hari dah hujan.
’Pais ikan sepat belum sempat dibuatnya, hujan
sudah turun.’
- Nasi bekepor dikaut Aminah, lalu diandaknya di pinggan seng.
’Nasi jerangan (tanakan) diambil Aminah, lalu
diletakkannya di piring
seng.’
- Bila nasi dah dijerang, jukut dah ditunu, cabek dah dipirik, baru hak
urang besedia.
’Jika nasi sudah dijerang (tanak), ikan sudah
dibakar, cabai sudah
dihaluskan, barulah bisa berhidang untuk makan.’
- Mpolor pisang ditetak sida kan lading.
’Batang pisang dipotong beliau dengan pisau.’
- Bunyi Herman empai awak disanggul keroan kanak di parak temposo, di
higa pondok
Su Husein.
’Kata Herman besok kamu akan dicegat
sekumpulan anak di dekat
gundukan tanah, di samping pondoknya Paman
Husein.’
- Kanak halus baru kawa dibuek mun nya dah naik ayun.
’Anak kecil baru boleh diayun jika ia telah
melalui upacara naik ayun.’
Adapun teknik pemasifan kalimat dengan menggunakan cara kedua adalah
sebagai berikut.
a. Pindahkan Objek (O) ke awal kalimat.
b. Tinggalkan prefiks nasal pada Predikat (P) (kembalikan ke bentuk
infinitifnya).
c. Pindah ke Subjek (S) ke tempat yang tepat
sebelum verba.
Berikut ini penerapan kaidah pemasifan cara kedua tersebut.
(16) Aku
dah nepas
baju tu.
S P O
’Aku sudah mencuci baju itu.’
Secara berurutan cara kedua kita terapkan pada kalimat di atas
menjadi kalimat yang ada di bawah ini.
a). Baju tu aku dah
nepas.
b). Baju tu aku dah
tepas.
c). Baju tu dah aku
tepas.
Dengan pola yang sama, kita dapat membentuk kalimat pasif lainnya,
seperti contoh di bawah ini.
(17) Puhun
pisang Su Ijai awak tebang.
’Pohon pisangnya Paman Ijai kamu tebang.’
Jika
subjek kalimat aktif berupa pronomina persona ketiga atau nama diri
yang relatif pendek, pemasifannya dapat dibentuk
dengan cara pertama atau kedua secara mana suka seperti pada contoh
berikut.
(18) Sida
hendak motok kayu di higa temposo tu.
’Beliau hendak memotong kayu di samping
gundukan tanah itu.’
(18a) Kayu di higa
temposo tu hendak dipotok ngan sida.
’Kayu di samping gundukian tanah itu hendak
dipotong oleh beliau.’
(18b) Kayu di higa
temposo tu hendak sida potok.
’Kayu di samping gundukan tanah itu hendak
beliau potong.’
Pronomina
aku yang
dipakai dalam kalimat pasif dengan menggunakan cara kedua cenderung
dipendekkan menjadi ku-
seperti dalam kalimat di bawah ini.
(19) Pitis tu kualak
kemai.
’Uang itu kuambil kemarin.’
(20) Rumah tu dah
kulego.
’Rumah itu sudah kujual.’
Di bawah ini disajikan contoh kalimat pasif yang dibentuk dengan cara
kedua di atas.
(21) Ataw
betutu nya besar tu awak bungkus kan daun pisang, lalu bertus.
’Usus ikan betutu yang besar itu kamu
bungkus dengan daun pisang,
lalu dibakar.
(22) Mahut nyamannya
mun jukut pija kendia ni awak sanga kan bawang
rambut.
’Sangat enak sekali jika ikan kendia
kering ini kamu goreng dengan
bawang kucai.’
(23) Cabe ngan
belimbing tunjuk tu kupirik di atas cowek.
’Cabai dan belimbing tunjuk itu
kuhaluskan di atas cobek.’
Jika
dalam kalimat pasif terkandung pula pengertian bahwa perbuatan
tersebut, yang dinyatakan oleh verba mengandung unsur yang
taksengaja, maka bentuk prefiks yang
dipakai untuk verba tidak lagi di-,
melainkan te-.
Perlu dicatat bahwa meski perubahan bentuk prefiks verba dalam
bahasa Kutai dialek Tenggarong serupa dengan yang terjadi dalam
bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong hanya
dikenal prefiks te-
bukan ter-.
Perhatikan kalimat yang dipasifkan dengan menggunakan prefiks te-
seperti pada contoh di bawah ini.
(24) Ikik dijagur
ngan kakaknya.
’Ikik ditinju oleh kakaknya.’
(24a) Ikik tejagur
ngan kakaknya.
’Ikik tertinju oleh kakaknya.’
(25) Baya
nya melihat urang tu ditampar, he..eh.. diam maha nya.
’Begitu ia melihat orang itu ditampar,
eh dia malah diam saja.’
(25a) Baya nya
melihat urang tu tetampar, he..eh.. diam maha nya.
’Begitu ia melihat orang itu tertampar, eh dia malah diam
saja.’
Berikut
ini adalah beberapa kalimat pasif yang mengandung verba dengan
prefiks te-
yang bermakna tidak sengaja.
(26) Baya mek kanak
tu encedok aer, nya tetojok kayu hanyut.
’Ketika ibu anak itu mengambil air, ia tertusuk
kayu hanyut.’
(27) Ya tegak itu hak
mun urang bisu, tetijak paku gin ndik nya meraong.
’Ya begitulah orang bisu, terinjak paku pun ia
tidak berteriak.’
(28) Sida tekelijik,
baya ndengar urang rame bemerconan.
’Beliau terkejut, ketika mendengar banyak orang bermain petasan.’
(29) Ya tu hak
gara-gara tesepak batu pas main bal, betisnya kenjak setempik.
’Ya itulah akibat tertendang batu pada saat bermain sepak bola,
kakinya
pincang sebelah.’
Selain
makna ketaksengajaan, verba te-
juga dapat bermakna perbuatan yang sudah terjadi secara alamiah,
tanpa memedulikan siapa yang melakukan perbuatan tersebut (verba te-)
sehingga seolah-olah perbuatan itu memang harus demikian adanya.
Sebagai contoh, perhatikanlah kalimat berikut.
(30) Banyak beneh
kayu hanyut nya tekait di jamban.
’Banyak sekali kayu,
pas hanyut yang tersangkut di jamban.’
(31) Lawang pondok
etam ne dah tekeleweng dah waktunya etam ganti.
’Pintu rumah kita ini sudah terlepas,
pas sudah waktunya kita ganti.’
(32) Hai
leh puasa tegak ni, ndak tejelepok rasanya nyawa ni bejalan pas
langat tengah hari.
’Wuah saat berpuasa seperti ini, mau
terjatuh rasanya saya ini saat
berjalan pas terik siang hari.’
Ketiga
contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa verba tekait,
tekeleweng,
dan tejelepok
tidak menunjukkan unsur sengaja atau tak sengaja. Selanjutnya,
penutur pun tidak mempermasalahkan siapa yang
menyangkutkan kayu itu, yang
melepaskan pintu itu, atau yang
menjatuhkan saya. Bentuk kalimat pasif
lainnya dapat pula bermakna adversatif, yaitu bentuk yang mengandung
makna bahwa ada hal yang tidak menyenangkan terkait dengan verba
kalimat tersebut. Verba kalimat pasif dengan makna adversatif
dibentuk dengan mengombinasikan prefiks di-
dan afiks ke-an.
Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
(33) Awak
alak aja jukut pija tu, tapi jangan sampai ketahuan.
(33a) Awak alak aja
jukut pija tu, tapi jangan sampai ditahu urang.
’Kamu ambil saja ikan kering itu, tapi jangan sampai
diketahui orang.’
(34) Gubang ni
maseh baik asal ndik ketamaan aer.
(34a) Gubang ni maseh
baik asal ndik ditamai aer.
’Sampan ini masih baik jika tidak
dimasuki air.’
Kalimat
di atas menunjukkan bahwa ketahuan
dan ketamaan
adalah verba yang memuat makna tidak menyenangkan bagi awak
dan gubang
jika verba tersebut terjadi. Berdasarkan contoh-contoh kalimat aktif
dan pasif di atas, dapat diketahui bahwa predikat kalimat aktif
secara potensial berprefiks nasal n-,
m-, ng-,
dan –ny,
atau be-,
sedangkan predikat kalimat pasif berprefiks di-
atau te-
yang diikuti ngan
secara mana suka.
5.
Simpulan
Kalimat dapat dibagi atas kalimat tunggal dan
kalimat majemuk. Kalimat tunggal bahasa Kutai dialek Tenggarong
secara umum memiliki kesamaan dengan kalimat tunggal bahasa
Indonesia, yaitu terdiri atas satu klausa. Kalimat tunggal dapat
dibeda-bedakan lagi berdasarkan kategori predikatnya, yaitu meliputi
(1) kalimat tunggal berpredikat verbal, (2)
kalimat tunggal berpredikat adjektival, (3) kalimat tunggal
berpredikat nominal (termasuk pronominal), (4) kalimat tunggal
berpredikat numeral, (5) kalimat tunggal berpredikat frasa
preposisional, dan (6) kalimat tunggal berpredikat verba aktif dan
pasif.
Daftar Rujukan:
Alwi, Hasan. 2003. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasilonal.
Chaer, Abdul. 2006. Tata
Bahasa Praktis Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik
Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode
Linguistik. Bandung: PT Eresco.
Keraf, Gorys. 1980. Tata
Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas.
Ende: Nusa Indah.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi.
Flores: PT Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus
Linguistik: Edisi
Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
kamus kutai ad di playstore nih gan , membantu bngt sm gua
BalasHapushttps://play.google.com/store/apps/details?id=com.pandawacode.kamuskutai
Kalau permisi, bahasa kutainya apa ya, gan?
BalasHapusmenambah ilmu sekali kak makasih
BalasHapusharga excavator baru 2019