Minggu, 30 Januari 2011

Kalimat Tunggal dalam Bahasa Kutai Dialek Tenggarong

Oleh : Irine Prabasiwi
10745049
Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Indonesia memiliki banyak dan beragam bahasa daerah. Setiap bahasa daerah juga memiliki berbagai macam dialek. Dialek dalam bahasa Kutai ada tiga, yaitu dialek Tenggarong, dialek Kota Bangun, dan dialek Muara Ancalaong. Dialek yang paling banyak dan popular pada masyarakat umumnya ádalah dialek Tenggarong. Selain dialek, setiap bahasa memunyai tata bahasa. Yang paling tampak dalam tata bahasa ádalah kalimat. Kalimat yang paling mudah untuk dipelajari dan dianalisis adalah kalimat tunggal. Kalimat tunggal memiliki subjek yang umumnya adalah kata benda dan predikat yang jenisnya kata kerja (verba), kata benda (nomina), kata bilangan (numeral), frasa preposisional, dan verba aktif dan pasif. Sejauh ini, karena bahasa Kutai dialek Tenggarong hampir mirip dengan bahasa Melayu, maka struktur-struktur kalimatnya juga hampir sama dengan bahasa Indonesia.
Kata Kunci : kalimat tunggal, bahasa Kutai, dialek
Tenggarong
1. Pendahuluan
1. 1 Latar Belakang
Komunikasi merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Dengan komunikasi seseorang dapat menyampaikan maksud kepada orang lain dan menerima maksud yang disampaikan orang lain agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Komunikasi memungkinkan tiap orang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Komunikasi juga memungkinkan tiap orang untuk mempelajari kebiasaan, adat-istiadat, kebudayaan serta latar belakangnya masing-masing.
Salah satu sarana komunkasi adalah bahasa. Menurut Keraf (2004:1), “bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.” Bahasa yang dimaksud dalam pernyataan di atas adalah bahasa yang hanya digunakan oleh manusia, bukan binatang atau makhluk hidup lainnya. Walaupun binatang mengeluarkan suara untuk menyampaikan maksud kepada binatang lain atau manusia yang ada di sekitarnya seperti kucing yang mengeong, anjing yang menggonggong, dan ayam yang berkokok tetap saja itu bukan bahasa karena bukan ujaran yang keluar dari alat ucap manusia. Suara-suara yang keluar dari binatang merupakan sarana untuk berkomunikasi antara binatang tersebut dengan lingkungannya.
Bahasa tubuh atau body language sesungguhnya juga bukan bahasa. Bahasa tubuh memang dilakukan oleh manusia, namun tetap saja bukan bahasa karena organ yang digunakan bukan alat ucap, melainkan organ tubuh lainnya. Meski bukan termasuk bahasa, bahasa tubuh merupakan sarana komunikasi sesama manusia. Ada juga pihak-pihak tertentu dapat mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya sudah lama telah dipergunakan untuk mengadakan komunikasi antara anggota masyarakat. Jika dibandingkan dengan bahasa, alat komunikasi ini mengandung banyak kelemahan. Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada menggunakan media ini.
Menurut Chaer (2006:3), “Setiap bahasa sebenarnya mempunyai ketetapan atau kesamaan dalam hal tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, dan tata makna. Tetapi karena berbagai faktor yang terdapat di dalam masyarakat pemakai bahasa, maka bahasa menjadi tidak seragam benar.” Setiap daerah di Indonesia mempunyai bahasa daerah yang berbeda-beda dan ada pula yang memiliki kemiripan dari tingkatan fonologi sampai struktur sintaksis dan semantiknya. Kemiripan-kemiripan yang terjadi bisa disebabkan oleh faktor sejarah hubungan antara daerah-daerah di Indonesia sehingga terjadi pencampuran budaya yang berkembang menjadi budaya baru yang juga berpengaruh ke dalam bahasanya.
Suku Kutai atau masyarakat Melayu Kutai Tenggarong adalah salah satu suku asli yang telah lama mendiami wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantantan Timur. Kebudayaan Kutai berawal sejak berdirinya Kerajaan Kutai pada abad IV yang merupakan kerajaan Hindu pertama di Nusantara dengan rajanya yang pertama Kudungga dan yang terkenal Mulawarman. Suku Kutai terbagi lagi menjadi empat subetnis: Kutai Tenggarong yang tinggal di daerah Tenggarong (Kutai Kartanegara), Kutai Kota Bangun yang tinggal di daerah Kota Bangun (Kutai Kartanegara), Kutai Muara Ancalong yang tinggal di daerah Muara Ancalong (Kutai Timur), dan Kutai Muara Pahu yang tinggal di daerah Muara Pahu (Kutai Barat).
Daerah Kutai dulunya dihuni oleh lima puak, yaitu puak Pantun, puak Punang, puak Pahu, puak Tulur Dijangkat, dan puak Melani. Puak merupakan golongan atau kelompok orang yang masih satu keturunan yang mendiami kawasan tertentu. Puak lebih kecil cakupannya daripada suku. Puak juga merupakan salah satu unsur yang membentuk suatu suku. Kelima macam Puak ini tersebar di seluruh daerah Kutai. Puak Pantun menempati daerah sekitar Muara Ancalong (Kutai Timur) dan Muara Kaman (Kutai Kartanegara). Puak Punang menempati daerah sekitar Muara Muntai (Kutai Kartanegara) dan Kota Bangun. Puak Pahu menempati daerah sekitar Muara Pahu dan Kutai Barat. Puak Tulur Dijangkat menempati daerah sekitar Barong Tongkok (Kutai Barat) dan Melak (Kutai Barat). Puak Melani menempati daerah sekitar Kutai lama dan Tenggarong.
Puak Pantun, Punang, Pahu, dan Melani tumbuh dan berkembang menjadi suku Kutai yang memiliki bahasa sama namun beda dialek. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008:324), “dialek adalah variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai (misal bahasa dari suatu daerah tertentu, kelompok sosial tertentu, atau kurun waktu tertentu).” Suku Kutai adalah suku asli daerah Kutai yang terdiri dari Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kutai Kartanegara. Suku Banjar dan Bugis merupakan suku pendatang yang datang secara bergelombang ke daerah Kutai sehingga kelompok Melayu yang menempati daerah Kutai terdiri atas suku Kutai, Banjar, dan Bugis.
Keturunan puak Tulur Dijangkat tumbuh dan berkembang menjadi suku Dayak. Mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya dan membentuk kelompok suku masing-masing yang sekarang dikenal sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing, Busang, Bukat, Ohong, dan Bentian.
Bahasa Kutai adalah bahasa Melayu yang hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan suku Kutai. Suku Kutai mendiami alur sepanjang Sungai Mahakam dan pupulasinya terbesar di wilayah bekas Kabupaten Kutai dahulu yang sekarang terbagi menjadi tiga kabupaten karena adanya otonomi daerah. Kabupaten tersebut terdiri dari Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Kutai Timur.
Bahasa Kutai umumnya dan berkembang dalam bentuk penuturan (percakapan) dan sastra dalam bentuk puisi dan pantun. Sangat sedikit bukti-bukti tertulis yang dihasilkan dalam bahasa Kutai, terlebih lagi pada periode pemerintahan Sultan Kutai Kartanegara. Produk tertulis pada zaman itu kebanyakan berbahasa Melayu namun aksara Jawi karena bahasa Melayu tidak mempunyai aksara.
Bahasa Kutai terbagi menjadi tiga dialek berdasarkan morfologi penuturnya, yaitu dialek Tenggarong, dialek Kota Bangun, dan dialek Muara Ancalong. Dalam penelitian ini yang menjadi pokok kajian adalah bahasa Kutai dialek Tenggarong, khususnya tentang kalimat tunggal oleh masyarakat penutur bahasa Kutai yang tinggal di Tenggarong yang masih termasuk dalam kawasan Provinsi Kalimantan Timur. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008:1024), “kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu klausa.”
Komunikasi dan transportasi di Tenggarong tergolong lancar. Apalagi setelah dibangunnya Jembatan Mahakam II yang menghubungkan antara Tenggarong dan Tenggarong Seberang yang dapat mempermudah perjalanan ke Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur yaitu Samarinda. Kedudukan Tenggarong sebagai kota kecil tempat pariwisata memiliki dialek tersendiri yang dapat memengaruhi dialek-dialek di sekitarnya atau yang terjadi adalah bahasa Kutai dialek Tenggarong dipengaruhi oleh dialek-dialek yang ada di sekitarnya.
Setiap bahasa memiliki keunikan yang berbeda dengan bahasa lainnya. Keunikan yang ada dalam sebuah bahasa dapat dilihat dari berbagai tataran linguistik yaitu semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi. Dari beberapa keunikan tersebut yang paling mudah untuk diamati adalah dari tataran fonologi dan morfologi. Hal itu disebabkan kedua tataran linguistik tersebut memiliki struktur yang sederhana sehingga membuat orang yang melihat akan mudah untuk memahami dengan cepat.
Bahasa Kutai dialek Tenggarong mempunyai banyak keunikan, dari tataran fonologi bunyi “u” walaupun terletak pada akhir suku kata tertutup masih diucapkan [u]. Dalam tataran morfologi bahasa Kutai juga mempunyai banyak keunikan, yaitu kata-katanya yang dinilai aneh oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Dari struktur sintaksisnya memang tak jauh berbeda dengan struktur sintaksis dalam bahasa Indonesia, tapi banyak hal unik yang membedakannya dengan struktur sintaksis dalan bahasa Indonesia dan penelitian ini hanya difokuskan pada jenis kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong yang juga memiliki keunikan tersendiri.
1.2. Masalah
1.2.1 Ruang Lingkup Masalah
Bahrah dalam Depdiknas (2008:7) mengatakan bahwa bahasa Melayu Kutai banyak persamaan dengan bahasa Melayu (bahasa Indonesia). Walaupun memiliki banyak persamaan, kontribusi bahasa Kutai dialek Tenggarong ke dalam bahasa Indonesia masih sedikit.
Kalimat memang sering dibahas dalam dunia linguistik Indonesia karena ruang lingkupnya yang besar. Sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda jika berada pada kalimat yang berbeda pula. Kalimat diidentikkan dengan konteks yang menyertai pemaknaan suatu kata. Dalam sebuah kalimat ada banyak unsur yang membuat kalimat tersebut khas dan merupakan ciri dari sebuah bahasa tertentu. Kalimat terdiri atas dua macam yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal jauh lebih mudah dipelajari daripada kalimat majemuk karena lebih sedikit yang dibahas. Seorang pemelajar bahasa Kutai dialek Tenggarong akan lebih mudah memahami bahasa Kutai dialek Tenggarong lewat kalimat tunggal setelah memelajari struktur fonologis dan morfologisnya.
Topik “Kalimat Tunggal Bahasa Kutai dialek Tenggarong” dipilih karena: a) kalimat tunggal sangat sering dijumpai dalam percakapan sehari-hari masyarakat Kutai Tenggarong, b) penelitian terhadap kalimat tunggal sangat jarang dilakukan dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong, c) keterbatasan waktu, dana, dan tenaga sehingga penelitian ini hanya difokuskan pada kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong sangat banyak, tetapi karena pengaruh waktu, lingkungan sosial, dan kondisi masyarakat yang terus berkembang menyebabkan adanya perubahan dalam bahasa maupun perilaku masyarakatnya. Ada beberapa kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong yang sering digunakan dan sebagian lagi sudah jarang digunakan, bahkan tidak dikenal oleh penutur bahasa Kutai dialek Tenggarong generasi sekarang. Penelitian ini hanya terbatas pada kalimat tunggal yang sering digunakan oleh penutur bahasa Kutai dialek Tenggarong. Kalimat tunggal yang sering digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Kutai dialek Tenggarong adalah (1) kalimat tunggal berpredikat verbal, (2) kalimat tunggal berpredikat adjektival, (3) kalimat tunggal berpredikat nominal (termasuk pronominal), (4) kalimat tunggal berpredikat numeral, (5) kalimat tunggal berpredikat frasa preposisional, dan (6) kalimat tunggal berpredikat verba aktif dan pasif.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah yang dibahas adalah sebagai berikut.
  1. Bagaimana kalimat tunggal berpredikat verbal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
  2. Bagaimana kalimat tunggal berpredikat adjektival dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
  3. Bagaimana kalimat tunggal berpredikat nominal (termasuk pronominal) dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
  4. Bagaimana kalimat tunggal berpredikat numeral dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
  5. Bagaimana kalimat tunggal berpredikat frasa preposisional dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
  6. Bagaimana kalimat tunggal berpredikat verba aktif dan pasif dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong?
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1. Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat verbal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
  2. Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat adjektival dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
  3. Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat nominal (termasuk pronominal) dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
  4. Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat numeral dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
  5. Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat frasa preposisional dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
  6. Menghasilkan deskripsi tentang kalimat tunggal berpredikat verba aktif dan pasif dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap pengajian pemahaman tentang penggunaan kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
1.5.2 Manfaat Praktis
Selain manfaat teoritis, manfaat praktis yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1. Diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat Kutai di Tenggarong, masyarakat umum, dan peneliti lain tentang kalimat tunggal dalam kalimat bahasa Kutai dialek Tenggarong.
  2. Diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat Kutai di Tenggarong tentang pentingnya melestarikan budaya melalui penggunaan kalimat, terutama kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
  3. Diharapkan penelitian ini dapat diteliti lebih lanjut lagi.
2 Kajian Pustaka
2.1 Sintaksis
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti ’dengan’ dan kata ’tattein’ yang berarti ’menempatkan’. Jadi, secara etimologi istilah sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Menurut Chaer (2007:206) mengatakan bahwa dalam sintaksis yang dibahas adalah (1) struktur sintaksis, (2) satuan-satuan sintaksis, dan (3) hal-hal lain yang berkenaan dengan sintaksis.
Struktur sintaksis mencakup masalah fungsi, kategori, peran sintaksis, dan alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur sintaksis tersebut. Satuan-satuan sintaksis biasanya berupa kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Secara umum, analisis tentang kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong ini masih menggunakan pengembangan teori strukturalis.
2.2 Kalimat
Menurut Kridalaksana (2001:92) menyatakan bahwa kalimat memunyai tiga pengertian, yaitu satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa; klausa bebas yang menjadi bagian kognitif percakapan, satuan proposisi yang merupakan gabungan klausa, dan satu klausa yang membentuk satuan yang bebas seperti jawaban minimal, seruan, dan salam; konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu klausa atau lebih yang ditata menurut pola tertentu, dan dapat berdiri sendiri sebagai satu satuan.
Pendapat Harimurti tentang kalimat di atas dapat disimpulkan menjadi sesuatu yang penting atau yang menjadi dasar kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final, sebab konjungsi hanya ada kalau diperlukan. Konstituen dasar itu biasanya berupa klausa. Jadi, jika pada sebuah klausa diberi intonasi final, maka terbentuklah kalimat. Dari rumusan itu, bisa juga disimpulkan bahwa konstituen dasar itu bukan saja berupa klausa, melainkan bisa juga berupa kata atau frase. Hanya mungkin status kekalimatannya yang tidak sama. Kalimat yang konstituen dasarnya berupa klausa tentu saja menjadi kalimat mayor atau kalimat bebas. Untuk konstituen yang dasarnya berupa kata atau frase tidak dapat menjadi kalimat bebas, melainkan hanyalah menjadi kalimat terikat.
2.3 Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal, menurut Kridalaksana (2001:95) adalah kalimat yang terjadi dari satu klausa bebas; misalnya Ia membaca buku. Yang dimaksud dengan klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen yang berupa kata atau frase dan yang berfungsi sebagai predikat (sedangakan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan). Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi klausa ini, fungsi subjek juga merupakan unsur yang bersifat wajib muncul dalam sebuah klausa. Unsur-unsur yang lain seperti objek, pelengkap, dan keterangan bersifat tidak wajib hadir. Jika konstruksi kamar mandi dibandingkan dengan konstruksi adik mandi, maka dapat dikatakan konstruksi kamar mandi bukanlah sebuah klausa karena hubungan komponen kamar dan komponen mandi tidaklah bersifat predikatif. Sebaliknya, konstruksi adik mandi adalah sebuah klausa karena hubungan komponen nenek dan komponen mandi bersifat predikatif; adik adalah pengisi fungsi subjek dan komponen mandi adalah pengisi fungsi predikat.
Sebuah konstruksi disebut kalimat jika pada konstruksi tersebut diberikan intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi adik mandi baru disebut kalimat jika diberi intonasi final, entah berupa intonasi deklaratif, intonasi interogatif, maupun intonasi interjektif. Jika belum diberi intonasi, maka konstruksi adik mandi itu masih berstatus klausa.
Klausa memang berpotensi menjadi kalimat tunggal karena di dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Frase dan kata memang juga memunyai potensi untuk menjadi kalimat jika diberi intonasi final, tetapi hanya kalimat minor, bukan kalimat mayor. Yang berpotensi untuk menjadi kalimat mayor adalah klausa.
Syarat wajib kalimat tunggal adalah adanya fungsi subjek dan predikat. Subjek pada umumnya adalah kata benda, sedangkan predikat bervariasi. Kalimat tunggal memiliki predikat yang jenisnya kata kerja (verba), kata benda (nomina), kata bilangan (numeral), frasa preposisional, dan verba aktif dan pasif.
3. Pendekatan dan Metode Penelitian
Pada dasarnya penelitian tentang kalimat tunggal dalam Bahasa Kutai dialek Tenggarong ini berkaitan dengan suatu gejala yang sifatnya alamiah karena data yang diperoleh secara langsung dari lingkungan nyata di Kota Tenggarong, dalam situasi yang berjalan apa adanya. Data penelitian ini diperoleh melalui pengamatan langsung dengan peralatan buku catatan, alat tulis, dan MP4, maka pemaparannya dideskripsikan seperti apa adanya. Setelah data terkumpul, dianalisis dan hasilnya berbentuk deskripsi yang tidak berupa angka-angka dan koefisien hubungan antar variabel.
Dari data dan informasi ini selanjutnya ditarik makna atau konsepnya. Langkah berikutnya adalah memelajari penggunaan kalimat tunggal, kemudian dicatat, dianalisis, ditafsirkan, dan terakhir disimpulkan dari penelitian tersebut. Dengan melihat kenyataan-kenyataan di atas, maka penelitian tentang kalimat tunggal dalam Bahasa Kutai dialek Tenggarong ini memiliki ciri (1) menggunakan latar alamiah, (2) manusia sebagai alat (instrumen), (3) metode kualitatif, (4) analisis data secara induktif, (5) teori dari dasar, (6) deskriptif, (7) lebih mementingkan proses daripada hasil, (8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, (10) desain yang bersifat sementara, dan (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Ciri penelitian ini tergolong ke dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2009:8-13).
Menurut Djajasudarma (1993:10), “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya.” Penelitian kualitatif lebih menekankan kemampuan atau kualitas peneliti mengamati kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya agar bisa mengungkap dan mengupas lebih dalam tentang sesuatu yang diteliti. Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif karena penelitian kuantitatif hanya didasarkan dengan angka-angka, presentase, dan penghitungan statistik agar dapat melakukan penghitungan data secara akurat. Tanpa penelitian kualitatif, penelitian bahasa atau ilmu-ilmu sastra tidak bisa dipahami oleh masyarakat bahasa, sebab angka-angka hanya digunakan untuk memahami jumlah tertentu. Hadirnya angka-angka dan penggunaan statistik dalam penelitian kualitatif bukan sesuatu yang tidak mungkin karena dapat membantu penyajian data dan penganalisisan data, tetapi angka-angka dan penggunaan statistik ini hanya berfungsi sebagai alat pembantu saja dan bukan sesuatu yang diutamakan.
Ditinjau dari segi waktu penelitian ini dapat digolongkan dalam penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada waktu sekarang. Menurut Moleong (2009:11), “Peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya. Hal itu hendaknya dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu.” Dalam penelitian ini tidak ada perlakuan khusus yang diberikan dan data yang diperoleh adalah data dalam bentuk asli. Hal itu dilakukan untuk menjaga kemurnian dalam proses sampai hasil penelitian.
Penelitian ini ditinjau dari segi tempat termasuk penelitian lapangan atau Field Research. Menurut Moleong (2009:26), “ide penting penelitian lapangan adalah peneliti berangkat ke ‘lapangan’ untuk mengadakan pengamatan tentang sesuatu fenomena dalam suatu keadaan alamiah (in situ).” Dikatakan demikian karena penelitian ini tidak dilakukan di tempat tertutup semacam laboratorium, perpustakaan atau tempat-tempat tertutup lainnya, tetapi dilakukan pada masyarakat yang tinggal di Kota Tenggarong, Kalimantan Timur.
Dari uraian di atas maka penelitian tentang Kalimat Tunggal dalam Bahasa Kutai dialek Tenggarong ini dapat disebut penelitian kualitatif deskriptif, penelitian lapangan, dan penelitian murni. Dikatakan demikian karena penelitian ini memiliki ciri: (1) menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, (2) penelitian dilakukan di lapangan, (3) penelitian dilakukan pada saat sekarang, dan (4) bertujuan mengembangkan teori.
Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu metode penelitian lapangan dan metode deskriptif. Agar peneliti dapat secara langsung mengamati, mendengar, dan selanjutnya mencatat serta merekam tentang kalimat dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong, maka digunakan metode penelitian lapangan. Dengan metode ini, peneliti terjun langsung ke daerah penelitian, yaitu ke Kota Tenggarong agar dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai keadaan alam, budaya, masyarakat, karena semua ini sangat besar peranannya dalam penelitian.
Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang memang hidup pada penutur-penuturnya, sehingga dihasilkan potret paparan seperti adanya. Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah memperoleh deskripsi tentang kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong, maka metode yang digunakan metode deskripsi. Penelitian ini dilakukan berdasarkan fakta yang ada pada penutur-penutur bahasa itu. Dalam penelitian ini tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan, semua data dikumpulkan, selanjutnya disusun, dianalisis, ditafsirkan, sehingga ditemukan hasil yang berupa gambaran objektif tentang kalimat tunggal dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong, Kalimantan Timur.
4. Hasil Analisis Data dan Pembahasan
Kalimat tunggal bahasa Kutai dialek Tenggarong secara umum memiliki kesamaan dengan kalimat tunggal bahasa Indonesia, yaitu terdiri atas satu klausa. Satu struktur klausa di dalam kalimat tunggal bahasa Indonesia menurut Alwi (2003:338) dapat berupa:
  1. subjek dan predikat (SP);
  2. subjek, predikat, dan objek (SPO);
  3. subjek, predikat, dan keterangan (SPK);
  4. hanya berupa predikat (P).
Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Keraf (1980:151), bila suatu kalimat tanya hanya mengandung satu pola kalimat dan perluasannya tidak membentuk pola kalimat yang baru, kalimat semacam itu disebut dengan kalimat tunggal.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam kalimat tunggal hanya ada satu subjek dan satu predikat. Di samping subjek dan predikat, di dalam kalimat tunggal juga terdapat objek dan/atau pelengkap serta keterangan. Subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan disebut juga unsur fungsi kalimat. Berikut beberapa contoh kalimat tunggal bahasa Kutai dialek Tenggarong.
  1. Anakku gerecek.
S P
’Anakku cantik’
  1. Anaknya ndengarkan carangan meknya.
S P O
’Anaknya mendengarkan pembicaraan ibunya.’
  1. Bini sida namanya Esah.
S P Pel
’Isterinya bernama Esah.’
  1. Sida mudik ke kampong.
S P K
’Beliau mudik ke kampung.’
  1. Pegi!
P
Pergi!
4.1 Kalimat Tunggal Berpredikat Verba
Kalimat tunggal dapat dibedakan lagi berdasarkan kategori predikatnya menjadi kalimat berpredikat verba, kalimat berpredikat adjektiva, kalimat berpredikat nomina (termasuk pronomina), kalimat berpredikat numeralia, dan kalimat berpredikat frasa preposisional. Kalimat tunggal berpredikat verba dapat dikelompokkan berdasarkan kemungkinan kehadiran nomina atau frasa nominal objeknya, atas kalimat kalimat taktransitif, kalimat ekatransitif, dan kalimat dwitransitif.
  1. Kalimat Tunggal Berpredikat Verba Taktransitif
Kalimat verbal dapat pula dibeedakan berdasarkan peran subjeknya atas kalimat aktif (jika subjek berperan sebagai pelaku) dan kalimat pasif (jika subjek berperan sebagai sasaran). Ada bermacam-macam verba yang masing-masing memengaruhi macam kalimat yang menggunakannya, seperti verba taktransitif, verba semitransitif, dan verba transitif; trba transitif dibagi lagi menjadi ekatransitif dan dwitransitif. Akan tetapi, kalimat yang berpredikat verba dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kalimat taktransitif, ekatransitif, dan dwitransitif. Kalimat berpredikat verba semitransitif yang objeknya ada disebut kalimat ekatransitif, dan yang objeknya tidak ada disebut kalimat transitif.
Kalimat yang takberobjek dan takberpelengkap hanya memiliki dua unsur fungsi wajib, yaitu subjek dan predikat. Pada umumnya, urutan katanya adalah subjek-predikat. Kategori kata yang dapat mengisi fungsi predikat terbatas pada verba taktransitif. Seperti halnya kalimat tunggal lain, kalimat tunggal yang takberobjek dan takberpelengkap juga dapat diiringi oleh unsur takwajib seperti keterangan tempat, waktu, cara, dan alat. Berikut adalah beberapa contoh kalimat verbal yang takberobjek dan tak berpelengkap dengan unsur tak wajib diletakkan dalam tanda kurung.
  1. Mek Rabiah lagi bejalanan.
S P
’Ibu Rabiah sedang berjalan-jalan (berpelesir).’
  1. Mbok Hami belum pegi.
S P
’Bibi Hami belum pergi.’
  1. Kaik ncangkul (kemai).
S P K
Kakek mencangkul (kemarin)’
Contoh di atas menunjukkan bahwa verba yang berfungsi sebagai predikat dalam tipe kalimat itu ada yang berkonfiks be-an pada kata bejalanan dan ada juga yang berprefiks n- pada kata ncangkul. Karena predikat dalam kalimat itu tidak berobjek dan tidak berpelengkap, verbanya disebut verba taktransitif dan kalimat seperti itu disebut kalimat taktransitif.
  1. Kalimat Tunggal Berpredikat Verba Ekatransitif
Kaliat yang berobjek dan tidak berpelengkap mempunyai tiga unsur wajib, yaitu subjek, predikat, dan objek. Predikat dalam kalimat ekatransitif adalah verba yang digolongkan dalam kelompok verba yang diikuti oleh objek tunggal (eka). Dari segi makna, semua verba ekatransitif memiliki makna inheren perbuatan. Dalam kalimat aktif urutan kata dalam kalimat ekatransitif adalah subjek, predikat, dan objek. Tentu saja unsur tak wajib, seperti keterangan tempat, waktu, dan alat dapat ditambahkan pada kalimat ekatransitif. Frasa nominal yang berfungsi sebagai objek dapat dijadikan subjek pada padanan pasif kalimat aktif transitif itu. Berikut beberapa contoh kalimat ekatransitif.
    1. Kaiknya mbeli tigu manok.
S P O
’Kakeknya membeli telur ayam.’
    1. Kanak tu ngalak jambu.
S P O
’Anak itu mengambil jambu.’
    1. Etam nanam nyiur kemai.
S P O K
Kita menanam kelapa kemarin.’
  1. Kalimat Tunggal Berpredikat Verba Dwitransitif
Verba transitif dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong secara semantis mengungkapkan hubungan tiga wujud. Dalam bentuk aktif, wujud itu masing-masing merupakan subjek, objek, dan pelengkap. Verba itu dinamakan verba dwitransitif. Perhatikan beberapa contoh berikut.
    1. Aminah lagi molah jajak.
S P O
’Aminah sedang membuat kue.’
    1. Aminah lagi molahkan jajak.
S P O
’Aminah sedang membuatkan kue.’
    1. Aminah lagi molahkan anaknya jajak.
S P O Pel.
’Aminah sedang membuatkan anaknya kue.’
Pada kalimat (1) kita mengetahui bahwa yang membuat jajak adalah Aminah. Dengan ditambahkan sufiks -kan pada verba dalam kalimat (2), kita dapatkan adanya perbedaan makna yang melakukan perbuatan membuat adalah Aminah, tetapi jajak itu bukan untuk dia sendiri meskipun tidak disebut siapa orang yang dibuatkan jajak tersebut. Pada kalimat (3) orang itu secara eksplisit disebutkan, yaitu anaknya. Pada kalimat (3) kita ketahui bahwa ada dua nomina yang terletak di belakang verba predikat, yaitu anaknya dan jajak. Kedua nomina itu masing-masing berfungsi sebagai objek anaknya dan pelengkap jajak. Objek dalam kalimat aktif berdiri langsung di belakang verba, tanpa preposisi, dan dapat dijadikan subjek dalam kalimat pasif. Sebaliknya, pelengkap dalam kalimat dwitransitif itu berdiri di belakang objek jika objek itu ada.
4.2 Kalimat Tunggal Berpredikat Adjektiva
Predikat dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong dapat berupa adjektiva atau frasa adjektival, seperti pada contoh berikut.
(1) Etam ni lah tuha.
Kita ini sudah tua.’
(2) Tajong tu dah lawas beneh.
Kain sarung itu sudah lama sekali.’
(3) Betisku dah ndik tapi kejok lagi.
Kakiku sudah tidak terlalu kaku lagi.’
(4) Baskom ku lerak belerai.
Baskomku rusak sekali.’
Pada contoh kalimat diatas, frasa lah tuha, dah lawas beneh, dan dah ndik tapi kejok berfungsi sebagai predikat pada tiap kalimat. Kalimat yang berpredikat adjektiva/frasa adjektival dapat pula disebut kalimat statif. Di bawah ini adalah kalimat-kalimat berpredikat adjetival/ frasa adjektival yang lazim digunakan dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong.
(5) Jajakku penyek.
Kueku penyet.’
(6) Aer ni maseh mahamong.
Air ini masih hangat.’
(7) Tundun pisang tu pore bener.
Sisir pisang itu besar sekali.’
(8) Tegaknya sida mahut beneh ngelehnya.
Tampaknya beliau sudah benar-benar sangat capek (lelah )’
(9) Kemanaanku belum kehe.
Keponakanku belum pulih.’
4.3 Kalimat Tunggal Berpredikat Nomina
Kalimat tunggal berpredikat nomina, memiliki nomina (termasuk pronomina) atau frasa nominal sebagai predikat. Kalimat yang predikatnya nomina sering pula dinamakan kalimat persamaan atau kalimat ekuatif. Perhatikan beberapa contoh di bawah ini.
  1. Anak tu adikku.
S P
’Anak itu adik saya.’
  1. Urang laki tu gurunya.
S P
’Laki- laki itu gurunya.’
  1. Adul dengsanakku.
S P
’Adul saudaraku.’
Pada contoh di atas tampak bahwa predikatnya berupa nomina, yaitu adikku, gurunya, dan dengsanakku. Secara semantis nomina yang berfungsi sebagai subjek memiliki acuan yang sama dengan nomina yag berfungsi sebagai objek. Nomina yang pronomina yamg acuannya bersifat deiksis mewajibkan kehadiran artikel penentu (definate) tu, seperti yang terlihat pada kalimat (1) dan (2), sedangkan pada kalimat yang bersubjek nomina nama diri tidak mewajibkan kehadiran artikel penentu seperti pada kalimat (3).
4.4 Kalimat Berpredikat Numeralia
Kalimat berpredikat numeralia adalah kalimat yang predikatnya diisi oleh numeralia. Struktur kalimat numeralia adalah subjek yang diisi oleh frasa nomina atau pronomina diikuti oleh predikat yang diisi numeralia. Perhatikan beberapa contoh di bawah ini.
  1. Pitisnya sedeket maha
S P
Uangnya hanya sedikit.’
  1. Lawang rumah ni lima
S P
Pintu rumah ini lima.’
  1. Anaknya tujuh (urang).
S P
’Anaknya tujuh (orang ).’
Pada contoh di atas tampak bahwa pedikat yang berupa numeralia tak tentu sedeket tidak dapat diikuti oleh penggolong, sedangkan predikat yang berupa numeralia tentu, seperti tujuh dapat diikuti penggolong urang ­(3).
4.5 Kaimat Tunggal Berpredikat Frasa Preposisional
Kalimat tunggal juga dapat dibentuk dengan mempredikatkan frasa preposisional. Perhatikan contoh berikut.
  1. Gasing ni cagar sida.
’Gasing ini untu beliau.’
  1. Mana mek awak? Mun dik salah sida ke huma.
Mana ibu mu?Kalau tidak salah beliau ke ladang.’
  1. Jemoran pakaian sida maseh di amber.
’Jemuran pakaian mereka masih di depan rumah.’
Ketiga kalimat di atas yang dicetak tebal menunjukkan bahwa frasa cagar sida, ke huma, dan di amber adalah frasa preposisional yang berkedudukan sebagai predikat. Karena jumlah preposisi yang ada dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong terbatas, variasi kalimat berfrasa preposisional yang dapat diproduksi sebagai pengisi fungsi predikat juga terbatas yaitu cagar + nomina (N) dan ke/di + nomina lokatif. Perhatikan contoh-contoh lain penggunaan frasa preposisional pengisi fungsi predikat di bawah ini.
  1. Sida motok kayu ni cagar selamatan.
’Mereka memotong kayu bakar ini untuk hajatan.’
  1. Kami mancing di higa batang.
’Kami memancing di samping jamban.’
  1. Sida busu ngan embok dah ke benua.
’(Mereka) paman dan bibi sudah ke kampung.’
4.6 Kalimat Tunggal Berpredikat Verba Aktif dan Pasif
Fungsi predikat sebagai unsur sintaksis dalam sebuah kalimat merupakan konstituen pokok yang disertai konstituen subjek di sebelah kiri dan jika ada konstituen objek, pelengkap, dan/atau keterangan di sebelah kanan. Predikat kalimat biasanya berupa frasa verbal atau adjektival. Sementara itu, pengertian pasif dalam kalimat menyangkut (a) macam verbal yang menjadi predikat, (b) subjek dan objek, dan (c) bentuk verba yang dipakai.
Kalimat pasif dapat dibentuk dengan cara memasifkan kalimat aktif. Perhatikan kalimat-kalimat aktif berikut.
  1. Keroan kanak njala ruan hambat tadi.
’Sekumpulan anak menjala ikan gabus tadi pagi.’
  1. Mbok Salihah mbawa sekresek menan.
’Bi Salihah membawa setas plastik mainan.’
  1. Hamid ngangkit sekarong beras.
’Hamid mengangkat sekarung beras.’
  1. Aku dah nepas baju itu.
’Aku sudah mencuci baju itu.’
  1. Sida hendak motok baner di higa temposo tu.
’Beliau hendak memotong akar kayu di samping gundukan tanah itu.’
  1. Aku ngalak pitis tu kemai.
’Aku mengambil uang itu kemarin.’
Selanjutnya, pemasifan dalam bahasa Kutai seperti halnya di dalam bahasa Indonesia, dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu (a) menggunakan verba berprefiks di- dan (b) menggunakan verba tanpa prefiks di-.
Cara pertama dapat dilakukan sebagai berikut.
  1. Tukarkan posisi fungsi subjek dengan objek.
  2. Gantilah prefiks nasal dengan prefiks di- pada fungsi predikat.
  3. Tambahkan kata olek sebelum fungsi subjek yang sudah dipindahkan menempati posisi objek.
Berikut penerapan cara pertama pada kalimat aktif menjadi kalimat pasif seperti pada contoh di bawah ini.
    1. Kalimat aktif : Keroan kanak njala jukut ruan hambat tadi.
S P O K
Tahap-tahap penafsiran dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
  1. Jukut ruan njala keroan kanak hambat tadi.
O P S K
  1. Jukut ruan dijala keroan kanak hambat tadi.
O P S K
  1. Jukut ruan dijala ngan keroan kanak hambat tadi.
O P S K
Dengan demikian, pemasifan kalimat tersebut secara sempurna menjadi seperti berikut ini.
  1. Jukut ruan dijala ngan keroan kanak hambat tadi.
’Ikan gabus dijala oleh sekelompok anak tadi pagi.’
Dengan cara yang sama, kita dapat memasifkan contoh-contoh kalimat aktif di atas menjadi kalimat pasif berikut ini.
  1. Sekresek plastik dibawa ngan mbok Herma.
’Sekantung plastik oleh Bibi Herma.’
  1. Sekarong beras diangkit ngan Hasan.
’Sekarung beras diangkat oleh Hasan.’
Contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa kemunculan ngan dalam sebuah kalimat pasif bersifat mana suka. Namun, jika sebuah kalimat memuat predikat yang berupa verba atau frasa verbal yang tidak dengan serta merta diikuti oleh pelengkap, bentuk ngan selalu hadir. Kalimat di atas mengindikasikan bahwa keberadaan kata ngan cenderung bersifat mana suka. Namun, jika verba predikat tidak diikuti dengan pelengkap pelaku, hal itu akan menuntut kemunculan ngan. Dengan demikian, jika kalimat berikut dimodifikasi sedemikian rupa, keberadaan bentuk ngan menjadi unsur wajib dalam kalimat tersebut.
  1. Jukut ruan dijala tulak hambat sampai ke merian ngan keroan kanak.
’Ikan gabus dijala sejak pagi sampai sore oleh sekumpulan anak.’
Teknik pemasifan kalimat dengan memanfaatkan cara pertama biasanya dilakukan jika subjek kalimat berupa nomina atau frasa nominal. Namun jika subjeknya berupa pronomina persona, pemasifan akan dilakukan dengan menggunakan cara yang lain pula (selanjutnya dibahas dalam cara kedua). Berikut ini disajikan kalimat-kalimat pasif yang dibentuk dengan menggunakan cara pertama beserta variasinya.
  1. Pais sepat belum lagi dipolahnya, hari dah hujan.
Pais ikan sepat belum sempat dibuatnya, hujan sudah turun.’
  1. Nasi bekepor dikaut Aminah, lalu diandaknya di pinggan seng.
Nasi jerangan (tanakan) diambil Aminah, lalu diletakkannya di piring
seng.’
  1. Bila nasi dah dijerang, jukut dah ditunu, cabek dah dipirik, baru hak
urang besedia.
Jika nasi sudah dijerang (tanak), ikan sudah dibakar, cabai sudah
dihaluskan, barulah bisa berhidang untuk makan.’
  1. Mpolor pisang ditetak sida kan lading.
Batang pisang dipotong beliau dengan pisau.’
  1. Bunyi Herman empai awak disanggul keroan kanak di parak temposo, di
higa pondok Su Husein.
Kata Herman besok kamu akan dicegat sekumpulan anak di dekat
gundukan tanah, di samping pondoknya Paman Husein.’
  1. Kanak halus baru kawa dibuek mun nya dah naik ayun.
Anak kecil baru boleh diayun jika ia telah melalui upacara naik ayun.’
Adapun teknik pemasifan kalimat dengan menggunakan cara kedua adalah sebagai berikut.
a. Pindahkan Objek (O) ke awal kalimat.
b. Tinggalkan prefiks nasal pada Predikat (P) (kembalikan ke bentuk
infinitifnya).
c. Pindah ke Subjek (S) ke tempat yang tepat sebelum verba.
Berikut ini penerapan kaidah pemasifan cara kedua tersebut.
(16) Aku dah nepas baju tu.
S P O
’Aku sudah mencuci baju itu.’
Secara berurutan cara kedua kita terapkan pada kalimat di atas menjadi kalimat yang ada di bawah ini.
a). Baju tu aku dah nepas.
b). Baju tu aku dah tepas.
c). Baju tu dah aku tepas.
Dengan pola yang sama, kita dapat membentuk kalimat pasif lainnya, seperti contoh di bawah ini.
(17) Puhun pisang Su Ijai awak tebang.
Pohon pisangnya Paman Ijai kamu tebang.’
Jika subjek kalimat aktif berupa pronomina persona ketiga atau nama diri yang relatif pendek, pemasifannya dapat dibentuk dengan cara pertama atau kedua secara mana suka seperti pada contoh berikut.
(18) Sida hendak motok kayu di higa temposo tu.
Beliau hendak memotong kayu di samping gundukan tanah itu.’
(18a) Kayu di higa temposo tu hendak dipotok ngan sida.
Kayu di samping gundukian tanah itu hendak dipotong oleh beliau.’
(18b) Kayu di higa temposo tu hendak sida potok.
Kayu di samping gundukan tanah itu hendak beliau potong.’
Pronomina aku yang dipakai dalam kalimat pasif dengan menggunakan cara kedua cenderung dipendekkan menjadi ku- seperti dalam kalimat di bawah ini.
(19) Pitis tu kualak kemai.
Uang itu kuambil kemarin.’
(20) Rumah tu dah kulego.
’Rumah itu sudah kujual.’
Di bawah ini disajikan contoh kalimat pasif yang dibentuk dengan cara kedua di atas.
(21) Ataw betutu nya besar tu awak bungkus kan daun pisang, lalu bertus.
Usus ikan betutu yang besar itu kamu bungkus dengan daun pisang,
lalu dibakar.
(22) Mahut nyamannya mun jukut pija kendia ni awak sanga kan bawang
rambut.
Sangat enak sekali jika ikan kendia kering ini kamu goreng dengan
bawang kucai.’
(23) Cabe ngan belimbing tunjuk tu kupirik di atas cowek.
Cabai dan belimbing tunjuk itu kuhaluskan di atas cobek.’
Jika dalam kalimat pasif terkandung pula pengertian bahwa perbuatan tersebut, yang dinyatakan oleh verba mengandung unsur yang taksengaja, maka bentuk prefiks yang dipakai untuk verba tidak lagi di-, melainkan te-. Perlu dicatat bahwa meski perubahan bentuk prefiks verba dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong serupa dengan yang terjadi dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa Kutai dialek Tenggarong hanya dikenal prefiks te- bukan ter-. Perhatikan kalimat yang dipasifkan dengan menggunakan prefiks te- seperti pada contoh di bawah ini.
(24) Ikik dijagur ngan kakaknya.
Ikik ditinju oleh kakaknya.’
(24a) Ikik tejagur ngan kakaknya.
Ikik tertinju oleh kakaknya.’
(25) Baya nya melihat urang tu ditampar, he..eh.. diam maha nya.
Begitu ia melihat orang itu ditampar, eh dia malah diam saja.’
(25a) Baya nya melihat urang tu tetampar, he..eh.. diam maha nya.
’Begitu ia melihat orang itu tertampar, eh dia malah diam saja.’
Berikut ini adalah beberapa kalimat pasif yang mengandung verba dengan prefiks te- yang bermakna tidak sengaja.
(26) Baya mek kanak tu encedok aer, nya tetojok kayu hanyut.
Ketika ibu anak itu mengambil air, ia tertusuk kayu hanyut.’
(27) Ya tegak itu hak mun urang bisu, tetijak paku gin ndik nya meraong.
Ya begitulah orang bisu, terinjak paku pun ia tidak berteriak.’
(28) Sida tekelijik, baya ndengar urang rame bemerconan.
’Beliau terkejut, ketika mendengar banyak orang bermain petasan.’
(29) Ya tu hak gara-gara tesepak batu pas main bal, betisnya kenjak setempik.
’Ya itulah akibat tertendang batu pada saat bermain sepak bola, kakinya
pincang sebelah.’
Selain makna ketaksengajaan, verba te- juga dapat bermakna perbuatan yang sudah terjadi secara alamiah, tanpa memedulikan siapa yang melakukan perbuatan tersebut (verba te-) sehingga seolah-olah perbuatan itu memang harus demikian adanya. Sebagai contoh, perhatikanlah kalimat berikut.
(30) Banyak beneh kayu hanyut nya tekait di jamban.
Banyak sekali kayu, pas hanyut yang tersangkut di jamban.’
(31) Lawang pondok etam ne dah tekeleweng dah waktunya etam ganti.
Pintu rumah kita ini sudah terlepas, pas sudah waktunya kita ganti.’
(32) Hai leh puasa tegak ni, ndak tejelepok rasanya nyawa ni bejalan pas
langat tengah hari.
Wuah saat berpuasa seperti ini, mau terjatuh rasanya saya ini saat
berjalan pas terik siang hari.’
Ketiga contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa verba tekait, tekeleweng, dan tejelepok tidak menunjukkan unsur sengaja atau tak sengaja. Selanjutnya, penutur pun tidak mempermasalahkan siapa yang menyangkutkan kayu itu, yang melepaskan pintu itu, atau yang menjatuhkan saya. Bentuk kalimat pasif lainnya dapat pula bermakna adversatif, yaitu bentuk yang mengandung makna bahwa ada hal yang tidak menyenangkan terkait dengan verba kalimat tersebut. Verba kalimat pasif dengan makna adversatif dibentuk dengan mengombinasikan prefiks di- dan afiks ke-an. Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
(33) Awak alak aja jukut pija tu, tapi jangan sampai ketahuan.
(33a) Awak alak aja jukut pija tu, tapi jangan sampai ditahu urang.
’Kamu ambil saja ikan kering itu, tapi jangan sampai diketahui orang.’
(34) Gubang ni maseh baik asal ndik ketamaan aer.
(34a) Gubang ni maseh baik asal ndik ditamai aer.
Sampan ini masih baik jika tidak dimasuki air.’
Kalimat di atas menunjukkan bahwa ketahuan dan ketamaan adalah verba yang memuat makna tidak menyenangkan bagi awak dan gubang jika verba tersebut terjadi. Berdasarkan contoh-contoh kalimat aktif dan pasif di atas, dapat diketahui bahwa predikat kalimat aktif secara potensial berprefiks nasal n-, m-, ng-, dan –ny, atau be-, sedangkan predikat kalimat pasif berprefiks di- atau te- yang diikuti ngan secara mana suka.
5. Simpulan
Kalimat dapat dibagi atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal bahasa Kutai dialek Tenggarong secara umum memiliki kesamaan dengan kalimat tunggal bahasa Indonesia, yaitu terdiri atas satu klausa. Kalimat tunggal dapat dibeda-bedakan lagi berdasarkan kategori predikatnya, yaitu meliputi (1) kalimat tunggal berpredikat verbal, (2) kalimat tunggal berpredikat adjektival, (3) kalimat tunggal berpredikat nominal (termasuk pronominal), (4) kalimat tunggal berpredikat numeral, (5) kalimat tunggal berpredikat frasa preposisional, dan (6) kalimat tunggal berpredikat verba aktif dan pasif.
Daftar Rujukan:
Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasilonal.
Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik. Bandung: PT Eresco.
Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas. Ende: Nusa Indah.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Flores: PT Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik: Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

3 komentar:

  1. kamus kutai ad di playstore nih gan , membantu bngt sm gua
    https://play.google.com/store/apps/details?id=com.pandawacode.kamuskutai

    BalasHapus
  2. Kalau permisi, bahasa kutainya apa ya, gan?

    BalasHapus