Minggu, 30 Januari 2011

Kajian Transformasi Generatif pada Kalimat Majemuk Campuran dalam Bahasa Jawa

KAJIAN TRANSFORMASI GENERATIF PADA KALIMAT MAJEMUK CAMPURAN DALAM BAHASA JAWA


GITA RIYANTI
10745061


Abstrak
Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya dalam kehidupan berinteraksi sehari-hari. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai bahasa pertama dalam komunikasi sosial dari berbagai lapisan masyarakat Jawa.
Tulisan ini memfokuskan kajian transformasi generatif pada pola kalimat majemuk campuran dalam BJ. Analisis transformasi generatif (TG) apabila diterapkan dalam kalimat majemuk campuran dalam bahasa Jawa (BJ), menghasilkan dua jenis proses, yaitu proses penambahan yang terjadi pada Ukara Camboran Sematan (Ucamse), dan proses penghilangan yang terjadi pada Ukara Camboran Raketan (Ucamra).


Kata kunci: kalimat majemuk campuran, bahasa Jawa, transformasi generatif.


1. Pendahuluan
Bahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena dengan bahasa seseorang dapat menyampaikan maksud dan keinginan kepada orang lain. Dengan kata lain bahwa bahasa seseorang dapat berkomunikasi dan beradaptasi dengan manusia lain, seperti yang dikatakan oleh Kridalaksana (1983:45) bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer, yang digunakan oleh para kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa bersifat manusiawi, artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki oleh manusia. Untuk menguasai bahasa manusia harus belajar, tanpa belajar manusia tidak akan mungkin berbahasa.
Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sebelum mengenal bahasa Indonesia sebagian besar bangsa Indonesia mempelajari dan menggunakan bahasa daerah dalam interaksi kehidupan masyarakat. Ucapan dan cara penyampaian ide-ide dipengaruhi kebiasaan yang lazim digunakan oleh masyarakat itu. Bahasa daerah tetap dipelihara oleh negara sebagai bagian kebudayaan yang hidup.
Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan yang universal mempunyai peranan penting sehingga melalui bahasa dapat dilihat tinggi rendahnya suatu bangsa. Komunikasi dengan menggunakan bahasa merupakan pemahaman dan pemberian respon yang kita berikan dapat berupa kalimat perintah, berita, pertanyaan, jawaban, dan lain-lain. Namun ada orang yang beranggapan bahwa kompetensi penggunaan bahasa seakan-akan dicapai dengan sempurna melalui keturunan dan warisan saja.
Pandangan ini keliru karena kemampuan penguasaan dan penggunaan bahasa harus melalui latihan-latihan baik mengenai pengucapan maupun mempergunakan bahasa dengan baik dan benar. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambag bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1984:16).
Di lain pihak ada komunikasi dilakukan dengan tulisan. Hal tersebut berarti kompetensi menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan kemampuan memakai apa yang dicoba. Jadi relevansi bahasa terhadap pemikiran manusia sangat erat sekali. Sesuai dengan kodrat manusia maka kerangka karangan pemikirannya tetap berkembang, sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya sehingga perkembangan bahasa juga ikut serta di dalamnya. Bukti yang nyata adalah ilmu pengetahuan dengan perkembangan tidak mungkin diterapkan tanpa bahasa.
Bahasa Jawa (yang selanjutnya disingkat BJ), merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya dalam kehidupan berinteraksi sehari-hari. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai bahasa pertama dalam komunikasi sosial dari berbagai lapisan masyarakat Jawa.
Sesuai dengan latar belakang yang telah disebutkan, maka muncul pertanyaan yaitu bagaimana proses transformasi generatif yang terjadi pada kalimat majemuk campuran dalam bahasa Jawa?


2. Kajian Pustaka
Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis.
Kajian pustaka yang digunakan dalam tulisan ini adalah kalimat dan aliran transformasional. Adapun berbagai hal yang menyangkut kalimat dan aliran transformasional akan dijelaskan dalam subbab di bawah ini.
2.1 Aliran Transformasional
Aliran transformasional yang dimaksudkan adalah teori linguistik transformasi generatif. Teori ini dikemukakan oleh Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Syntactic Structure pada tahun 1957, yang kemudian dikembangkan karena adanya kritik dan saran dari berbagai pihak, yaitu bukunya yang kedua berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965 (Chaer, 2007:363-364).
Nama yang dikembangkan untuk model tata bahasa yang dikembangkan oleh Chomsky ini adalah Transformational Generative Grammar, tetapi dalam bahasa Indonesia lazim disebut tata bahasa transformasi generatif. Menurut Chomsky salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri atas deretan bunyi yang mempunyai makna.
Oleh karena itu, tata bahasa harus dapat menggambarkan hubungan bunyi dan arti dalam bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Setiap tata bahasa, menurut Chomsky, harus memenuhi dua syarat, yaitu: (1) kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat; dan (2) tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Kaidah transformasi memerikan tiga piranti kalimat, yaitu struktur batin, struktur lahir, dan transformasi itu sendiri (Pangaribuan, 2008:106). Struktur batin merupakan bentuk representasi suatu kalimat sebelum mengalami perubahan apapun. Struktur lahir merupakan tampilan kalimat sebagaimana ditemukan dalam tuturan penuturnya. Transformasi merupakan kaidah yang menjelaskan proses perubahan dari struktur batin ke struktur lahir. Atau dapat dikatakan bahwa transformasi generatif itu merupakan proses atau kaidah perubahan dari struktur dalam, menjadi struktur luar atau permukaannya, baik dalam penambahan, pengurangan (penghilangan), permutasian, maupun pergantian.
Penulisan tata bahasa transformasi generatif menurut Chomsky memiliki beberapa syarat, yaitu:
a. formal
Tata bahasa itu harus formal, artinya setiap aturan tata bahasa apapun harus mengenai rekaman atau transkripsi hakikat ucapan bahasa. Jadi yang diteliti adalah gerakan mulut, hakikat bunyi, transkripsi fonetik maupun fonetis, dan lain-lain.
b. eksplisit
Eksplisit ialah apabila setiap aturan tata bahasa apapun harus mempunyai satu tafsiran saja, sehingga tidak menimbulkan beberapa tafsiran. Tampaklah dengan jelas dalam keeksplisitan tata bahasa harus diperhatikan adalah kemampuan untuk membedakan kalimat mana yang termasuk ke dalam unsur kalimat dan mana di luar kalimat, dan mengetahui perbedaan-perbedaan, persamaan-persamaan di antaranya. Dengan demikian yang diharapkan dari deskripsi yang bersifat eksplisit ini adalah agar setiap pemakai bahasa dapat membuat, membedakan kalimat-kalimat dari bahasa yang belum pernah didengar sebelumnya.
c. praktis
Suatu tata bahasa harus praktis, yaitu setiap aturan tata bahasa apapun harus besar dan dapat menghasilkan bentuk-bentuk gramatis dengan hanya mempergunakan aturan itu semata-mata, tanpa memerlukan bantuan tindakan-tindakan lain. Untuk mengetahui apakah suatu bentuk itu merupakan suatu kalimat atau tidak, maka diperlukan kamus atau berkonsultasi dengan informan untuk mengetahui apakah suatu bentuk itu berarti atau tidak.
d. general
Kridalaksana (1984:57) menyatakan, “Generatif ialah dengan sejumlah kaidah dan dengan satuan-satuan yang terbatas mampu menghasilakn unsur secara tidak terbatas”. Maka dapat disimpulkan bahwa setiap aturan tatabahasa apapun harus berlaku untuk semua tatabahasa, baik yang diketahui, atau yang belum diketahui. Hal ini sesuai dengan analisis linguistik yaitu meramalkan fakta-fakta suatu bahasa. Gagasan Chomsky, bahwa tata bahasa itu haruslah menghasilkan semua kalimat-kalimat gramatis yang mungkin ada dalam bahasa.
e. ekonomis
Suatu tatabahasa itu harus ekonomis, yaitu bahwa aturan-aturan tatabahasa itu diusahakan sedikit mungkin.
Dalam kajian transformasi generatif biasanya digunakan suatu tanda-tanda tertentu untuk menerangkan prosesnya. Tanda tersebut disebut juga tanda kategori. Tanda kategori yang digunakan dalam tulisan ini dalam kaitannya dengan penggunaan BJ adalah:
Atr = Atribut
G = Gatra (Frase)
GA = Gatra Aran (Frase Benda)
GK = Gatra Kriya (Frase Kerja)
Gg = Geganep (Pelengkap)
Int = Inti
J = Jejer (Subjek)
L = Lesan (Objek)
P = Panerang (Keterangan)
Pangg = Panggandheng (Kata Hubung)
SD = Struktur Dalam
SL = Struktur Luar
TG = Transformasi Generatif
TK = Tembung Kriya
UG = Ukara Gatra (Klausa)
UGI = Ukara Gatra Inti
UGA = Ukara Gatra Anak
UC = Ukara Camboran (Kalimat Majemuk)
W = Wasesa (Predikat)
Pemakaian tanda-tanda ini diharapkan dipilih salah satu simbol-simbol tersebut, agar jangan menimbulkan kebingungan bagi pembaca.


2.2 Kalimat
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap (Chaer, 2007: 240). Pengertian lain dari kalimat adalah rangkaian kata yang dapat memberikan sebuah maksud yang utuh (Sasangka, 2008:165). Jadi bisa dikatakan bahwa kalimat adalah makna gagasan satu bab atau lebih yang dibentuk dari susunan kata-kata. Atau secara sederhana dapat didefinisikan bahwa kalimat ialah kesatuan kumpulan kata yang mengandung pengertian. Kalimat merupakan kesatuan bentuk pendukung bahasa yang sangat penting, karena kalimat dapat menentukan isi bahasa.
Kalimat dilihat dari bahasa lisan atau saat diucapkan memiliki ciri-ciri: (a) ada intonasi, (b) disisipi dengan jeda dalam setiap kata, dan (c) diakhiri dengan intonasi yang menandai bahwa kalimat tersebut telah selesai diucapkan. Jadi kalimat dapat dikatakan sebagai salah satu jenis aturan sintaksis yang lengkap, yang bukan sebagai bagian dari aturan sintaksis yang lain yang lebih panjang, dan memiliki ciri irama yang tuntas, yang menerangkan bahwa kalimat tersebut sudah selesai.
Sedangkan dalam bahasa tulis yaitu dalam huruf Latin, kalimat memiliki ciri-ciri: (a) diawali dengan huruf besar dan diakhiri dengan tanda baca, (b) dalam penulisan huruf (aksara) Jawa diawali dengan penulisan tanda adeg-adeg (]]), dan diakhiri dengan tanda baca yaitu pada lingsa (titik), pada lungsi (koma), pada pangkat (tanda petik), dan lain-lain.
Struktur kalimat dalam BJ tidak jauh berbeda dengan struktur dalam bahasa Indonesia. Kalimat sederhana dalam BJ hanya terdiri atas sebuah subjek (J), dan sebuah predikat (W). Selain itu juga terdapat objek (L), pelengkap (Gg), dan keterangan (P). Struktur kalimat baku dalam BJ menurut Sasangka (2008:168) terdiri atas lima jenis, yaitu: (a) J-W, (b) J-W-L, (c) J-W-Gg, (d) J-W-L-Gg, dan (e) J-W-P. Yang kemudian dapat diperluas menjadi J-W-L-P; J-W-Gg-P; dan J-W-L-Gg-P.
Perbedaan yang paling menonjol diantara kalimat tunggal dan kalimat majemuk adalah:
a. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terbina dari satu klausa saja, yaitu mempunyai satu konstituen subjek dan satu konstituen predikat.
b. Kalimat majemuk adalah kalimat sempurna yang terdiri atas lebih dari satu klausa.
Kalimat majemuk dalam BJ disebut dengan ukara camboran (cambor=campur). UC memiliki arti kalimat yang terdiri atas dua klausa (yang dalam BJ disebut dengan UG) atau lebih (Sasangka: 2008:198). UC setidaknya harus memiliki predikat (W) lebih dari satu, bisa dua, atau tiga, bahkan lebih. UC biasanya disertai kata hubung (Pangg) di salah satu klausanya. Contoh UC dalam BJ antara lain:
(1) Adhik teka nalika aku lagi sinau
‘Adik datang ketika saya sedang belajar’
(2) Bapak dhahar lan ibu masak
‘Ayah makan dan ibu masak’
Kedua kalimat tersebut merupakan UC, karena J dan W dalam kalimat tersebut lebih dari satu. Kalimat (1) terdapat dua buah subjek (J), yaitu adhik dan aku, dengan predikat (W) dua pula, yaitu teka dan sinau. Begitu pula dalam kalimat (2), terdapat dua buah subjek (J), yaitu bapak dan ibu, dengan dua buah predikat (W), yaitu dhahar dan masak.
Sasangka (2008:198) membagi UC menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Ukara camboran sajajar (Kalimat majemuk setara)
Ukara camboran sajajar (yang selanjutnya disingkat Ucamsa) atau kalusa koordinatif yaitu kalimat yang terdiri atas dua kalusa atau lebih. Klausa-kalusa tersebut digabung menjadi satu dengan menggunakan kata hubung atau tanda koma diantara klausa satu dan lainnya. Klausa yang ada dalam Ucamsa semuanya merupakan klausa inti. Ucamsa menghasilkan gabungan kalimat yang memiliki tataran yang sama atau sejajar.
Ucamsa dalam BJ ditandai dengan kata hubung: lan (dan), sarta (serta), nanging (tetapi), ning (tapi), dene (sedangkan), wondene (sedangkan), banjur (kemudian), terus (lalu), utawa (atau), utawi (atau), lajeng (lalu), miwah (dengan), tur (dan), saha (dan), malah (lalu), apa (atau), dan nuli (kemudian). Panggandheng dalam Ucamsa disebut koordinator.
Contoh Ucamsa dalam BJ dapat dilihat dalam kalimat berikut.
(3) Priyanta seneng tembang macapat, nanging dheweke ora bisa nembangake.
‘Priyanta senang lagu macapat, tetapi dia tidak bisa melagukannya.’
(4) Mbak Puji iku pinter tur ayu.
‘Mbak Puji itu pintar dan cantik.’
Kalimat (3) dan (4) memiliki dua buah predikat (W) dengan sebuah subjek (J), yang dihubungkan dengan kata nanging dan tur. Ketiga contoh kalimat tersebut memiliki dua buah klausa yang masing-masing klausa merupakan klausa inti (koordinat). Masing-masing klausa dalam Ucamsa bisa berdiri sendiri tanpa bergantung kepada klausa lainnya.
Ucamsa apabila dijelaskan dalam bentuk bagan akan terlihat seperti di bawah ini.


b. Ukara camboran sungsun (Kalimat majemuk bertingkat)
Ukara camboran sungsun (yang selanjutnya disingkat Ucamsu) adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih, tetapi antara klausa satu dan lainnya ada yang menguasai dan ada yang dikuasai. Klausa yang menguasai disebut UG babon atau klausa inti atau biasa disebut induk kalimat, sedangkan klausa yang dikuasai disebut UG pang atau klausa anak atau biasa disebut anak kalimat. Klausa anak selalu bergantung kepada klausa inti, tetapi klausa inti tidak bergantung kepada klausa anak. Klausa inti bisa berdiri sendiri, tetapi klausa anak tidak bisa berdiri sendiri menjadi kalimat.
Ucamsu disebut juga klausa subordinatif. Klausa dalam Ucamsu tidak berada dalam tataran yang sejajar, namun klausa-klausa dalam Ucamsu saling berpangkatan atau bertingkat-tingkatan. Dengan kata lain, Ucamsu terdiri atas dua buah klausa yang disusun dengan cara bertingkat antara klausa inti dan klausa anak.
Ucamsu ditandai dengan kata hubung: sabab (sebab), karana (karena), jalaran (karena), sanadyan (walaupun), nalika (ketika), rikala (ketika), yen (jika), menawa (kalau), awit (sejak, ketika), kanthi (dengan), mula (sehingga, jadi), kaya (seperti), amarga (karena), saupama (seupama), karo (dengan), kalihan; kaliyan (dengan), manut (sesuai, berdasar), dan miturut (sesuai, berdasar). Apabila kata hubung tersebut ditambahkan di depan klausa inti, klausa tersebut dapat berubah menjadi klausa anak. Fungsi yang bisa diisi oleh klausa anak yaitu sebagai keterangan (P), objek (L), pelengkap (Gg), dan subjek (J). Sedangkan fungsi yang tidak bisa diisi oleh klausa anak adalah predikat (W).
Contoh penerapan Ucamsu terdapat dalam kalimat berikut.
(5) Dalan desa kuwi kaaspal amarga antuk pambiyantu saka kabupaten.
‘Jalan desa itu diaspal karena memperoleh bantuan dari kabupaten.’
(6) Sanajan yuswane wis sepuh, semangate nyambut gawe ora gelem kalah karo sing enom.
‘Walaupun umurnya sudah tua, semangatnya bekerja tidak mau kalah dengan yang masih muda.’
Kalimat (5) dan (6) terdiri atas dua buah klausa dimana klausa inti dihubungkan dengan klausa anak melalui kata hubung amarga dan sanajan. Klausa anak didahului dengan kata hubung, sehingga klausa anak tidak bisa berdiri sendiri. Sedangkan klausa inti tidak didahului dengan kata hubung, sehingga apabila tidak terdapat klausa anak, klausa inti tetap bisa berdiri sendiri.
Ucamsa apabila dijelaskan dalam bentuk bagan akan terlihat seperti di bawah ini.


c. Kalimat majemuk campuran
Kalimat majemuk campuran (yang selanjutnya disingkat KMC) terdiri atas tiga klausa atau lebih, di mana ada yang dihubungkan secara koordinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif (Chaer, 2007:246). Jadi kalimat majemuk ini merupakan campuran dari kalimat majemuk koordinatif dan kalimat majemuk subordinatif. Oleh karena itu, ada juga yang menyebut kalimat macam ini dengan nama kalimat majemuk campuran (KMC).
Contoh penerapan KMC dalam BJ dapat dilihat dalam kalimat berikut.
(7) Ibu sare amarga bapak kerja lan pakaryan ing omah wis rampung kabeh.
‘Ibu tidur karena ayah bekerja dan pekerjaan di rumah sudah selesai semua.’
(8) Pak Amir ngetokake dhompet, banjur jupuk dhuwit limangewu kanggo bayar becak.
‘Pak Amir mengeluarkan dompet, kemudian mengambil uang limaribu untuk membayar ongkos becak.’
Kalimat (7) dan (8) memiliki tiga buah klausa yang memiliki tataran koordinat dan subordinat. Kalimat (7) memiliki susunan kalimat klausa inti yang memiliki tataran subordinat dengan klausa anak yang diawali dengan kata hubung amarga. Sedangkan klausa anak bertataran koordinatif yang ditandai dengan kata hubung lan.
Kalimat (8) bertataran koordinatif yaitu klausa inti 1 dan klausa inti 2 yang ditandai dengan kata hubung banjur. Sedangkan klausa inti 2 bertataran subordinatif di mana klausa inti 2 memiliki klausa inti dan klausa anak yang dihubungkan dengan kata hubung kanggo.
KMC apabila dijelaskan dalam bentuk bagan akan terlihat seperti di bawah ini.


atau


Tulisan ini memfokuskan kajian transformasi generatif pada pola kalimat majemuk campuran dalam BJ. Adapun pembagian kalimat majemuk campuran dalam BJ terdapat dua jenis kalimat majemuk campuran, yaitu Ukara Camboran Sematan, dan Ukara Camboran Raketan.


3. Metodologi Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif deskriptif yang berarti menjabarkan hasil penelitian secara rinci dan tersusun uraian, sehingga mendapatkan gambaran yang jelas tentang hasil penelitian (Aminuddin, 1990:159). Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif yang berarti suatu metode yang digunakan untuk penelitian yang berdasarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam fenonema yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan berupa paparan (Sudaryanto dalam Aminuddin, 1990:62).
Secara umum kajian ini menggunakan pendekatan tata bahasa Transformasi Generatif (TG). Secara metodologis, TG dapat diamati pada dua tataran yaitu kepadanan deskriptif dan kepadanan eksplisit (Pangaribuan, 2008:43). Kepadanan deskriptif memerikan hakikat objrk bahasa yang dikaji. Dalam hal ini biasanya dijelaskan mengenai seluk-beluk bahasa yang dilacak, esensinya, dan kelayakannya untuk diteliti. Sedangkan kepadanan eksplanatif menjelaskan hubungan fenomena dengan penuturnya. Dalam hal ini, kepadanan eksplanatif menjelaskan proses-proses batin penutur yang mendasari perilaku bertutur dan tuturan yang muncul dalam bahasa.


4. Hasil dan Pembahasan
Bab ini membicarakan analisis kalimat majemuk campuran dalam BJ yaitu Ukara Camboran Sematan (Ucamse) dan Ukara Camboran Raketan (Ucamra). Dalam kajian ini analisis Ucamse dan Ucamra menggunakan teori transformasi generatif (TG). Sehingga diharapkan dapat melengkapi lagi pembicaran tentang kalimat majemuk khususnya kalimat majemuk campuran dalam BJ.
4.1 Ukara Camboran Sematan
Ukara camboran sematan (yang selanjutnya disingkat Ucamse) adalah klausa yang disematkan di kalimat lainnya. Walaupun disematkan di kalimat lain, sebenarnya kalimat tersebut hanya menjadi atribut frasa benda, di mana dalam BJ disebut gatra aran (GA). Ucamse ditandai dengan penggunaan relator sing atau kang, dan Ucamse berfungsi menerangkan subjek (J), predikat (W), objek (L), dan/atau pelengkap (Gg). Dalam Ucamse dikenal istilah relator, yaitu kata pengganti kata benda yang berada di sebelah kiri relator tersebut. Ucamse sebenarnya termasuk di dalam kalimat majemuk bertingkat (Ucamsu). Analisis TG digunakan untuk mengkaji Ucamse sehingga bisa dilihat bagaimana SD dan SL yang terdapat dalam Ucamse.
Contoh Ucamse yang terdapat dalam BJ antara lain:
(9) Bocah sing pinter kae anake Pak Marwan.
‘Anak yang pinyang itu ananya Pak Marwan.’
(10) Bu Dasimah kagungan putri kang ayu rupane.
‘Bu Dasimah memiliki anak perempuan yang cantik wajahnya.’
Kata yang dicetak tebal yaitu sing pinter (9), dan kang ayu rupane (10) termasuk klausa yang beratribut frasa benda (GA). Atribut yang berwujud klausa dalam kalimat (9) tersebut menerangkan inti frasa benda (GA), yaitu menerangkan bocah yang ada di sebelah kanannya. Kata sing merupakan relator klausa sematan dan kata pinter merupakan poros klausa tersebut, atau atribut inti frasa benda (GA) yang menjadi subjek dalam kalimat tersebut berupa klausa sematan. Atau bisa dikatakan bahwa klausa sematan pada kalimat (9) menjadi atribut yang menerangkan inti kata benda yang menjadi objek (L) kalimat.
Apabila kalimat (9) digambarkan menjadi bagan akan tampak seperti gambar di bawah ini.


Sedangkan pada kalimat (10) termasuk atribut berupa klausa, yaitu klausa sematan. Atribut tersebut menerangkan inti frasa benda (GA), yaitu menerangkan putri yang ada di sebelah kanannya. Kata kang merupakan relator, sedangkan ayu rupane merupakan poros klausa, atau atribut inti frasa benda (GA) yang menjadi objek (L) dalam kalimat (10) berwujud klausa sematan. Dengan kata lain, klausa sematan pada kalimat (10) menjadi atribut yang menerangkan inti kata benda yang menjadi objek (L) kalimat.
Secara bagan, kalimat (10) akan tampak seperti bagan di bawah ini.


Kajian TG terhadap kalimat (9) dan (10) adalah sebagai berikut:
SD : Danang anake Pak Marwan. (9)
        Bu Dasimah kagungan putri jenenge Diah. (10)
SL : Bocah sing pinter kae anake Pak Marwan. (9)
       Bu Dasimah kagungan putri kang ayu rupane. (10)
Kedua kalimat tersebut secara umum dalam TG mengalami proses penambahan. Proses penembahan merupakan suatu proses unsur yang masuk pada sesuatu unsur yang telah ada penambahan, biasanya berupa unsur yang belum ada pada struktur tersebut. Proses penambahan ini secara umum terjadi apabila hasil transformasi itu diharapkan lebih jelas dalam memberikan gambaran tentang maksud dan tujuan penulis atau pengujar. Penambahan ini mempunyai struktur yang telah ada pada umumnya berupa kata tanya, partikel yang mampu memperjelas maksud dari pengujar kata tersebut.
Kata Danang mengalami penambahan menjadi Bocah sing pinter kae. Kata Danang dalam SD hanya tersusun atas sebuah kategori saja yaitu kata benda, kemudian mengalami penambahan menjadi Bocah sing pinter kae yang terdiri atas dua kategori yaitu kata benda (Bocah) dan kata sifat (sing pinter kae). Sehingga SL yang muncul menjadi Bocah sing pinter kae.
Frasa jenenge Diah mengalami penambahan menjadi kang ayu rupane. Frasa jenenge Diah mengacu pada kata Diah yang di dalam SD hanya tersusun atas sebuah kategori saja yaitu kata benda, kemudian mengalami penambahan menjadi kang ayu rupane yang terdiri atas dua kategori yaitu kata sifat (kang ayu) dan kata benda (rupane). Sehingga SL yang muncul menjadi kang ayu rupane.


4.2 Ukara Camboran Raketan
Ukara camboran raketan (yang selanjutnya disingkat Ucamra) muncul karena adanya kata-kata yang sama makna, kategori, dan fungsi dalam sebuah kalimat. Baik dalam Ucamsa maupun Ucamsu banyak ditemui kasus terjadi pengulangan kata-kata yang sama maknanya. Oleh sebab itu, untuk mengurangi munculnya kata yang berulang-ulang dengan cara menggabungkan fungsi dalam kalimat tersebut, muncullah Ucamra.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini.
(11) a. Aku percaya ^ kowe ora salah. (^ = manawa, yen)
  ‘Saya percaya ^ kamu tidak salah.’ (^ = ‘bahwa, jika’)
b. ^ Panganen roti kuwi. (^ = kowe)
  ‘^ Makanlah roti itu.’ (^ = ‘kamu’)
(12) a. Mangga diunjuk ^. (^ = tehe, wedange, sirupe)
  ‘Silakan diminum^.’ (^ = ‘tehnya, kopinya, sirupnya’)
b. ^ seneng kenal karo kowe. (^ = aku)
  ‘^ senang mengenalmu.’ (^ = ‘aku, saya’)
Kalimat (11) menunjukkan penggabungan kata dilihat dari pembentukan kalimat. Fungsi yang menempati penghubung dalam kalimat (11a) adalah kata menawa atau yen yang memiliki kategori sebagai kata hubung. Struktur kalimat menawa atau yen bisa diartikan klausa yang dihubungkan dengan kata percaya bisa didahului kata hubung menawa atau yen. Sedangkan pada kalimat (11b) bisa diartikan subjek kalimat perintah yaitu tersusun atas kata ganti orang kedua atau bisa dihubungkan dengan kata kowe sebagai subjeknya.
Sedangkan kalimat (12) menunjukkan penggabungan kata dilihat dari keadaan atau kejadiannya. Struktur kalimat yang digabung tidak bisa dilihat dari penulisnya, tetapi dari keadaan atau kejadiannya. Struktur kalimat yang digabungkan dalam kalimat (12a) bisa teh, kopi, maupun sirup, atau jenis minuman lainnya. Seseorang yang berada dalam keadaan tersebut pasti suda mengerti jenis minuman yang disuguhkan. Dalam kalimat (12b), kata aku, merupakan pilihan kata bahwa kata tersebut digunakan di depan orang yang diajak bicara.


Kajian TG terhadap kalimat (11) dan (12) adalah sebagai berikut:
SD : Aku percaya yen kowe ora salah. (11a)
       Kowe panganen roti kuwi. (11b)
       Mangga diunjuk sirupe. (12a)
       Aku seneng kenal karo kowe. (12b)
SL : Aku percaya kowe ora salah. (11a)
       Panganen roti kuwi. (11b)
       Mangga diunjuk. (12a)
       Seneng kenal karo kowe. (12b)
Secara umum, keempat kalimat tersebut dalam TG mengalami proses penghilangan atau pengurangan dalam SLnya. Proses penghilangan yang dimaksud di sini adalah proses yang merubah konstituen dengan menghilangkan konstituen yang identik. Penghilangan ini dapat terjadi dan berlaku jika si pendengar maupun pembaca dapat mengerti dengan segera apa yang dihilangkan.
Kalimat (11a) mengalami penghilangan pada kata hubung yaitu pada kata yen karena kata tersebut konstituen yang identik dan tidak ada pengaruhnya dalam pemaknaan apabila dihilangkan, bahkan menjadikan kalimat tersebut efektif untuk diucapkan. Kalimat (11a) dalam SD tersusun dari lima fungsi yaitu subjek (J), predikat (W), penghubung (Pangg), objek (L), dan pelengkap (Gg). Kemudian mengalami penghilangan pada kata hubung sehingga hanya terdiri atas empat fungsi yaitu subjek (J), predikat (W), objek (L), dan pelengkap (Gg). Walaupun mengalami penghilangan pada salah satu fungsi tidak menyebabkan perubahan makna dalam kalimat tersebut.
Sedangkan pada kalimat (11b), proses penghilangan terjadi pada subjeknya yaitu pada kata kowe. Kata kowe pada SD memiliki fungsi subjek, kemudian dihilangkan sehingga pada SL tidak muncul lagi. Kata kowe pada SL dihilangkan tidak merubah makna asal dari kalimat (11b), dan menjadikan kalimat perintah tersebut lebih efektif walaupun tanpa subjek (J).
Kalimat (12a) mengalami penghilangan pada objeknya (L). Karena walaupun tanpa diucapkan, lawan bicara telah mengerti apa yang diucapkan oleh penutur. Demikian pula pada kalimat (12b), proses penghilangan terjadi karena lawan bicara telah mengerti apa maksud dari penutur. Proses penghilangan pada kalimat (12b) terdapat pada kata aku yang memiliki fungsi sebagai subjek (J). Sehingga kalimat (12a) dan (12b), kata sirupe pada objek (L) dan kata aku pada subjek (J) dalam SD, hilang dalam SL.

5. Simpulan
Analisis transformasi generatif (TG) apabila diterapkan dalam kalimat majemuk campuran dalam bahasa Jawa (BJ), menghasilkan dua jenis proses, yaitu proses penambahan yang terjadi pada Ukara Camboran Sematan (Ucamse), dan proses penghilangan yang terjadi pada Ukara Camboran Raketan (Ucamra).
Proses TG yang terjadi pada Ucamse ditandai dengan kata sing atau kang, yang memiliki fungsi untuk menjelaskan fungsi yang ditambah. Dalam Ucamse dikenal adanya atributif sematan yang merupakan atribut yang disematkan untuk memperjelas fungsi yang ditambah dalam kalimat. Sedangkan proses TG yang terjadi pada Ucamra ditandai dengan menghilangnya kata yang memiliki konstituen yang sama dengan konstituen lainnya. Atau dengan kata lain, pengurangan terjadi apabila kata tersebut tidak merubah makna dasar dari sebuah kalimat.


DAFTAR PUSTAKA


Aminuddin (Ed). 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: YA3.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.
___________________. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.
Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia, Jakarta: Nusa Indah.
Pangaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sasangka, Sri Satriya Tjatur Wisnu. 2008. Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua.

1 komentar: